Sukses

HEADLINE: Durasi Kampanye Pemilu 2024 Akan Dipangkas Jadi 90 Hari, Lebih Efektif?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat agar masa kampanye pada Pemilu 2024 dipersingkat menjadi 90 hari.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat agar masa kampanye pada Pemilu 2024 dipersingkat menjadi 90 hari. Mereka menilai, hal ini dilakukan agar kampanye lebih efisien dan tidak menimbulkan gesekan di masyarakat yang berlarut-larut.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khairunnisa Nur Agustyati mengatakan KPU harus mempertimbangkan banyak hal, misalnya apakah waktu 90 hari itu bisa memfasilitasi pemilih untuk menilai para calon. Terlebih lagi pileg tidak hanya memilih partai saja tetapi para calon anggota legislatif yang cukup banyak. 

"Kalau yang dipilih adalah waktu yang dipersingkat dibandingkan waktu Pemilu 2019 kan panjang masa kampanye nya hampir 7 bulan, bagaimana KPU bisa memfasilitasi pemilih untuk bisa mendapatkan informasi siapa caleg-calegnya, latar belakangnya, jadi harus ada inovasi," kata Khairunnisa kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa, (31/5/2022). 

Ditambah lagi, kata dia, saat masa kampanye KPU juga melakukan pengadaan logistik dan distribusi. Sehingga semakin singkat waktu kampanye, maka semakin singkat pula KPU mempersiapkan logistik.

"Kan logistik bukan sekedar distribusi saja, tapi juga pengadaan tendernya. Wilayah Indonesia kan kepulauan ya, ada di pulau, gunung, ini juga harus dipertimbangkan," kata dia.

Khairunnisa mengatakan, ada positif dan negatifnya jika masa kampanye dipangkas. Pada Pemilu 2019 lalu, masa kampanye selama 7 bulan justru menjadi ajang penyebaran disinformasi dan diselimuti narasi-narasi negatif. Akibatnya terjadi polarisasi di masyarakat bahkan sampai saat ini.

Dengan berkaca pada Pemilu 2019 lalu, kata Khairunnisa, KPU harus bersama-sama dengan Bawaslu untuk menangani disinformasi ini. Misalnya, dengan memiliki pemetaan isu.

"Kemudian, kalau sudah ada disinformasi, KPU harus bisa segera mengklarifikasi. Selama ini kalau ada berita yang dipelintir atau disinformasi, biasanya klarifikasinya terlambat, ya sudah menyebar kemana-mana," kata dia.

Selain itu, dengan masa kampanye yang singkat maka anggaran yang dikeluarkan penyelenggara pemilu bisa lebih efisien. "Itu salah satu keuntungan memotong masa kampanye," ujarnya.

Sementara sisi negatifnya, jika KPU tidak bisa memfasilitasi masyarakat, maka mereka tidak punya waktu yang cukup untuk menilai calon-calonnya. Belum lagi KPU juga harus mempersiapkan logistik dengan tengat waktu yang sedikit.

"Termasuk juga ada sengketa pencalonnya, yang biasanya prosesnya selama masa kampanye, nah kalau itu ditetapkan ada sengketa dan masa kampanye singkat, apakah itu sudah bisa selesai dalam waktu yang singkat?," ujarnya.

Sementara pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai masa kampanye yang hanya 90 hari tak masuk akal. Apalagi, pada Pemilu 2024 ini dilakukan secara serentak yaitu pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif.

Pemilu serentak ini seringkali membuat informasi yang masuk ke masyarakat tumpang tindih, sehingga seharusnya masyarakat diberi waktu yang cukup panjang untuk mempelajari dan menyerap program-program yang ditawarkan oleh para calon. 

"Harusnya 120 hari minimal. Kenapa perlu waktu, karena keserentakan pemilu itu seringkali membuat informasi yang masuk ke otak masyarakat itu kan overlapping. Di satu sisi informasi pilpres terus berdenyut tapi di saat yang bersamaan caleg-caleg juga terus berkampanye," kata Adi kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa, (31/5/2022).

Jika waktu yang diberikan untuk berkampanye sangat singkat, kata Adi, dikhawatirkan masyarakat tidak bisa membedakan calonnya berdasarkan kapasitas dan kompetensinya.

"Bisa saja karena waktu yang cukup sempit, rakyat itu cenderung asal-asalan," ujarnya.

Selain itu, juga rentan terhadap pemilu yang transaksional karena informasi terkait calon tidak memadai maka sangat mungkin suara rakyat dibarter dengan logistik.

"Mau cari calon yang ideal karena mepet, waktu untuk mencari informasi juga sangat dibatasi, ya sudah akhirnya rakyat tutup mata. Calon dianggap sama, kapasitasnya sama, kompetensinya sama, track recordnya sama. Karena calonnya sama akhirnya ketika rakyat di TPS lebih cenderung ingin menukar suaranya dengan hal-hal yang sifatnya konkrit," ucapnya.

Adi juga menilai alasan KPU mempersingkat masa kampanye untuk mencegah polarisasi masyarakat hanya akal-akalan saja. Dalam semua pemilu, kata Adi, tentu banyak masyarakat yang ribut dan terpecah. Namun, sebenarnya KPU memiliki instrumen untuk mencegah konflik terjadi. 

"Ada 11 larangan dalam kampanye, itu aja tegakkan setegak-tegaknya. Jadi KPU ini argumennya kayak politisi, kayak penguasa. Dikit-dikit polarisasi. Ya gimana, penyelenggara pemilu takut polarisasi. Emang calon nomor 1 nomor 2 nggak terpolarisasi?," ujarnya.

Hal yang ssama juga dikatakan oleh Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago. Ia menegaskan dengan memotong masa kampanye menjadi hanya 3 bulan maka tidak akan efektif. Sebab program para calon baik anggota legislatif maupun calon presiden tidak akan tersampaikan dengan baik ke masyarakat. Sehingga banyak masyarakat yang tidak paham visi misi para calon.

Ditambah lagi, kata dia, masyarakat hanya akan fokus kepada calon presiden.

"Karena besok pilpres dan pileg akan berbarengan itu orang akan lebih terfokus pada presiden dibanding caleg, sehingga banyak calon pemilih siapa calegnya, karena keterbatasan waktu kampanye, maka mereka tidak punya referensi politik yang cukup memadai, jangan sampai masyarakat nggak ngerti siapa yang akan dipilihnya," kata Pangi kepada Liputan6.com.

 

Kampanye yang Masif

Lalu apa yang harus dilakukan para calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif agar kampanye yang dilakukan berjalan efektif?

Direktur Eksekutif Perludem, Khairunnisa Nur Agustyati mengatakan, sebenarnya para caleg dan capres bisa mulai mendekati masyarakat mulai sekarang. Bukan hanya mengandalkan dengan memasang baliho, kata dia, partai dan caleg sebenarnya memiliki waktu yang panjang untuk dekat dengan masyarakat. 

"Harusnya kan waktunya panjang, selama 5 tahun bisa dimanfaatkan partai politik untuk berkampanye," ujar dia.

Sehingga meski masa kampanye sangat singkat, masyarakat sudah mengenal para calon yang akan dipilih. 

"Masa 90 hari itu kalau peserta pemilu kenal dengan pemilihnya, saya kira akan tetap bs efektif," kata dia.

Sementara Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, untuk mengatasi keterbatasan waktu kampanye ini, maka partai harus mempromosikan capres dan caleg secara masif.

"Jangan sampai masyarakat tidak paham siapa calon yang mereka pilih, kering preferensi informasi terkait yang bakal mereka pilih," ujarnya.

Selain partai, KPU dan Bawaslu juga bertanggungjawab agar semua calon bisa tersosialisasikan dengan baik, sehingga masyarakat tahu betul siapa yang nanti bakal merela pilih. "Jangan sampai memilih kucing dalam karung, rakyat ketipu," tandasnya.

Sementara Adi Prayitno mengatakan, partai, caleg, dan capres harus berkampanye 24 jam agar program yang disampaikan dapat sampai ke masyarakat.

"Bahkan mestinya kampanye 24 jam harus ditambah 2 kali lipat. Ya gimana, 30 hari aja orang nggak bisa ngapa-ngapain. Pokoknya kampanye dari pagi ketemu pagi lah," ujarnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Strategi Kampanye Parpol

Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menilai masa kampanye yang hanya 90 hari justru efektif. Sebab kampanye dapat dilakukan secara digital sehingga kendala jarak bisa diatasi.

"Respon masyarakat juga sangat bagus, termasuk yang tinggal di kampung-kampung karena sebagian besar pemilih (kota-desa) sudah terkoneksi dengan internet," kata Anis Matta kepada Liputan6.com.

Partai Gelora sendiri, kata Anies Matta akan melakukan kampanye lewat sosial media karena lebih efektif.

"Selama pandemi hampir semua kegiatan Partai Gelora berbasis digital, termasuk rekrutmen kader," ujarnya.

Sementara Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana berharap agar KPU melonggarkan kembali waktu kampanye. Setidaknya, selama 5-6 bulan agar masyarakat benar-benar bisa tersosialisasi dengan kandidat-kandidat yang maju dalam pemilu nanti.

Untuk mengatasi sempitnya masa kampanye ini, kata William, partainya akan melakukan pendekatan ke masyarakat jauh-jauh hari. Selain itu, para calon juga sudah harus memiliki karya yang bisa dirasakan masyarakat sekitar.

"Cara door to door atau digital, saya rasa semua harus dilakukan baik strategi darat dan udara. Tapi yang paling penting bertemu langsung dengan warga melalui blusukan dan temu warga, jadi semua dilakukan," ujar William kepada Liputan6.com.

Hal yang berbeda justru dikatakan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim justru menyambut baik rencana KPU yang hanya memberikan waktu 90 hari kampanye.

"Sebagai politisi yang mengikuti Pemilu sejak 1999, saya menilai waktu kampanye 90 hari sudah cukup memadai untuk para calon melakukan sosialisasi," kata Luqman kepada Liputan6.com

Ia mengatakan, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi maka para calon dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

"Waktu 90 hari itu cukup untuk kampanye. Memang ada pekerjaan rumah (PR) bagi capres dan cawapres yang semestinya berkampanye ke seluruh wilayah NKRI. Tetapi, dengan kemajuan teknologi informasi, tentu kendala geografis dan waktu, dapat di atasi dengan gampang," ujarnya.

Strategi kampanye PKB sendiri, kata Luqman akan berbeda-beda di setiap daerah. 

"Di daerah perkotaan kampanye berbasis medsos akan lebih dominan. Sedangkan di luar perkotaan, medsos akan difungsikan sebagai supporting. Kampanye konvensional digunakan di daerah yang infrastruktur IT nya masih minim, tentu masih menjadi pilihan utama," tandas Luqman.

Sementara Politikus PDIP Effendi Simbolon mengatakan masa kampanye yang hanya 90 hari tidak akan efektif. Sebab, kata dia, kampanye pemilihan presiden setidaknya dilakukan selama 1 tahun sementara pemilu legislatif dilakukan selama 6 bulan.

Effendi pun mempertanyakan ditetapkannya masa kampanye yang hanya 90 hari saja apakah hanya untuk basa-basi saja.

"Atau sudah pasrah bahwa sistem pemilu kita hanya formalitas semata? Yang dipenuhi dengan pragmatisme dan KKN dan sikap apatis dari rakyat kebanyakan?," ujar Effendi kepada Liputan6.com.

 

3 dari 3 halaman

Agar Tak Terjadi Polarisasi

Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, durasi kampanye Pemilu 2024 dipangkas dan hanya menjadi 90 hari agar pembelahan kubu masyarakat yang mendukung masing-masing calon kandidat tidak terlalu berkepanjangan.

“Pertimbangan utama masa kampanye soal pembelahan sosial atau pembelahan politik yang tidak berkepanjangan dan antisipasi keamanan dan sejenisnya. Jadi insyaallah durasi 90 hari ini tidak terlalu problematik,” ujar Hasyim saat jumpa pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin (30/5/2022).

Hasyim mengatakan, Presiden Jokowi juga mendukung langkah pemangkasan durasi kampanye Pemilu 2024. Dia meyakini, Jokowi menginginkan durasi kampanye Pemilu 2024 bisa efisien dan berkualitas demi efektifitas di tengah keterbatasan durasi masa kampanye.

“Presiden menyampaikan, kegiatan kampanye agar efisien, efektif dan berkualitas, bisa mengedukasi masyarakat dalam memperkenalkan siapa peserta pemilu apa visi misinya yang dalam durasi waktu tidak terlalu panjang,” jelas Hasyim.

Hasyim menjelaskan, KPU sudah merancang tahapan konstitusi yaitu kampanye bisa digelar selama 90 hari. Sebab, dalam durasi tersebut tedapat kaitan antara penyelenggaraan kampanye dengan pengadaan logistik.

“Karena  sistem Pemilu kita ini sistem Pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Sehingga logistik utama pemilu ada dua, surat suara dan formulir penghitungan suara di tps, di dua jenis logistik ini ada nama calon,” ujar Hasyim.

Sebagai informasi, dalam dua periode Pemilu sebelumnya, durasi kampaye berlangsung berbeda-beda. Pada Pemilu 2014, durasi kampanye ditetapkan adalah selama 15 bulan. 

Berlanjut pada Pemilu 2019, durasi kampanye berkurang hingga separuhnya atau selama 6 bulan 3 minggu. Selanjutnya, pada periode berikutnya atau Pemilu 2024, dipastikan durasi kampanye hanya akan berlangsung 3 bulan saja.

KPU dan Komisi II DPR sendiri telah menyepakati anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 76,6 triliun. Kesepakatan itu didapat dalam rapat konsinyering Komisi II.

Hasyim merinci, dari total anggaran Rp 76,6 triliun itu, sebesar Rp14,4 triliun akan dialokasi untuk Pemilu Presiden (Pilpres) putaran kedua. Menurut Hasyim, anggaran itu perlu sebagai langkah antisipasi.

“KPU tidak bisa memprediksi hasil Pemilu, sehingga sangat mungkin Pilpres berlangsung dua putaran,” kata Hasyim saat jumpa pers di Kantor KPU RI Jakarta, Senin (30/5/2022).

Hasyim menjelaskan, sistem pemilu di Indonesia sangatlah ketat. Pasangan calon harus memenangkan elektoral lebih dari separuh total jumlah suara pemilih.

“Elektoral formula dalam konstitusi kita ditentukan bahwa untuk bisa dinyatakan sebagai terpilih pasangan calon punya suara lebih dari separuh jumlah suara sah nasional, kemudian menangnya juga harus di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia dan di masing-masing provonsi menangnya minimal 20%, sehingga jika tidak tercapai harus dilakukan pilpres putaran kedua,” jelas Hasyim.

Namun demikian, Hasyim memastikan jika pada kenyataannya tidak ada putaran kedua Pilpres 2024, maka anggaran Rp 14,4 tidak akan akan dibelanjakan KPU.

“Tapi katakanlah tidak terjadi putaran kedua maka angka Rp 14,4 T ini tidak dibelanjakan,” Hasyim menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.