Sukses

HEADLINE: Temuan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Pelanggaran HAM?

Migrant Care mengungkap temuan mencengangkan berupa kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin setelah ditangkap KPK. Diduga ada praktik perbudakan di rumah tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Temuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin Angin menggegerkan publik. Dugaan adanya praktik perbudakan modern itu terungkap sesaat setelah Bupati Langkat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adalah Migrant Care yang pertama kali mengungkap temuan kerangkeng manusia tersebut ke publik.  Migrant Care kemudian mengadukan temuan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk ditindaklanjuti.

"Kami menerima laporan dari masyarakat di Kabupaten Langkat bersamaan dengan OTT kasus dugaan korupsi, ternyata itu juga membuka kotak pandora kejahatan yang lain yang diduga pelakunya orang yang sama yaitu kepala daerah di sana yang tertangkap KPK," ujar Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah saat mengadukan kasus itu ke Komnas HAM, Jakarta, Senin (24/1/2022).

Setidaknya ada tujuh perlakuan kejam dan tidak manusiawi yang diduga terjadi di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana. Pertama, Bupati membangun kerangkeng yang menyerupai penjara di rumahnya. Kedua, kerangkeng tersebut digunakan untuk menampung pekerja sawit setelah mereka bekerja.

"Ketiga mereka tidak punya akses untuk ke mana-mana, keempat mereka mengalami penyiksaan dipukul, lebam, dan luka, kelima mereka diberi makan tidak layak hanya 2 kali sehari, keenam mereka tidak digaji selama bekerja. Ketujuh tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar," beber Anis.

Berdasarkan laporan masyarakat, ada dua kerangkeng manusia yang ditemukan di belakang rumah Bupati Langkat. Dua kerangkeng berukuran sekitar 6x6 meter itu itu menampung sekitar 40 orang. 

Di tempat yang sama, Komisiner Komnas HAM Choirul Anam meminta aparat Kepolisian untuk mengamankan lokasi kejadian, sehingga apa yang ditemukan Migrant Care terkait dugaan pelanggaran perbudakan modern di rumah Bupati Langkat, tidak hilang.

"Sehingga ketika kami datang ke sana bisa menjelaskan di mana mereka, karena itu bagian dari tugas kepolisian. Kami minta untuk seluruh informasi yang terkait bukti ini, tempatnya, saksinya, dan sebagainya tidak mengalami perubahan," kata Anam di Kantor Komnas HAM.

Komnas HAM menegaskan, kasus ini harus ditangani dengan cepat. Dalam konteks skenario hak asasi manusia, kata Anam, penanganan kasus semacam ini harus cepat, apalagi ada dugaan penyiksaan di dalamnya. 

"Kepada para pihak khususnya yang punya kewenangan, khususnya Kepolisian wilayah di sana untuk memastikan kondisinya, minimal 40 orang ini tentang keberadaannya," ujar Anam. 

Secara terpisah, Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani menuturkan, pihaknya telah mendalami informasi awal dari sejumlah pihak terkait laporan Migrant Care tersebut. Pekan ini, Komnas HAM akan mengirim tim ke Kabupaten Langkat untuk investigasi.

"Saat turun kami pasti berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Kemudian kami akan lakukan tinjauan lokasi, apakah bersama (penegak hukum lain) atau mandiri, tapi ini masih didiskusikan dalam skema perencanaan," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (25/1/2022).

Komnas HAM telah menerima bukti berupa foto dan video yang memperlihatkan kondisi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat. Namun dia menegaskan bahwa, Komnas HAM tidak punya wewenang menentukan ada tidaknya unsur pidana dalam kasus tersebut. 

"Itu ranah polisi. Tapi nanti keterangan berbagai pihak yang kami himpun akan menjadi rekomendasi Komnas HAM kepada penegak hukum. Misal kejadian tersebut secara terang dan jelas terjadi pelanggaran HAM, maka itu yang bisa menjadi landasan polisi bertindak mempersangkakan pelaku," tutur Endang.

Kendati, dia tidak menutup kemungkinan kasus tersebut bisa ditangani dengan Pasal tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). "Iya kalau fakta kuat dan ditemukan di lapangan, bisa jadi ada potensi pasal terkait dipersangkakan," kata Endang.

 

Terpisah, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak membenarkan adanya temuan kerangkeng berisi manusia di kediaman Bupati Langkat. Panca mengaku, melihat sendiri kerangkeng tersebut saat membantu KPK menggeledah rumah Bupati terkait OTT, pada pekan lalu.

"Kita mendatangi rumah pribadi Bupati Langkat, ada tempat menyerupai kerangkeng berisi tiga, empat orang, langsung kita dalami," kata Kapolda, Senin (24/1/2022).

Berdasarkan hasil pendalaman sementara, Kepolisian mendapati informasi jika orang-orang yang dikerangkeng tersebut sedang menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba. Lokasi itu diinisiasi secara pribadi oleh Terbit Rencana.

Tempat rehabilitasi yang diinisiasi Terbit Rencana sudah berlangsung sekitar 10 tahun. Orang yang sedang menjalani rehabilitasi juga dipekerjakan di kebun milik Terbit Rencana. Dia menyebut, mereka yang dipekerjakan kondisinya sudah mulai membaik.

"Dilihat kemarin itu pengguna narkoba yang baru masuk dua hari sebelum OTT. Untuk yang lainnya sedang bekerja di kebun, diladang," katanya.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron juga mengakui, pihaknya sempat melihat dua ruangan seperti kerangkeng manusia saat menggeledah rumah Bupati Langkat. Namun saat itu KPK tidak bisa berbuat banyak, karena tujuan utamanya adalah menangkap Terbit Rencana Perangin Angin.

"Karena pada saat itu tim KPK ke rumah tersebut untuk mencari bupati yang ternyata sudah tidak di tempat. KPK kemudian hanya mendokumentasikan, karena harus melanjutkan pencarian yang bersangkutan pada saat itu," kata Ghufron saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (25/1/2022).

Dia menegaskan, KPK terbuka untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum lain guna mengugkap kasus dugaan perbudakan modern ini. KPK siap memberikan keterangan dan dokumentasi yang dibutuhkan terkait temuan kerangkeng manusia itu.

"Kami sudah berkomunikasi dan berkoordinasi karena ini menyangkut prosedur hukum yang akan bernilai jika melalui prosedur hukum, sebaliknya tidak akan bernilai jika salah prosedur. Untuk itu kami memastikan hal tersebut prosedural," ujar Ghufron.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Polisi: Tempat Rehab di Rumah Bupati Langkat Ilegal

Sementara itu, Polri langsung membentuk tim gabungan dari Direktorat Kriminal Umum, Direktorat Narkoba, dan sejumlah stakeholder untuk menyelidiki temuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat. Apalagi lokasi itu diklaim sebagai tempat rehabilitasi narkoba.

Hasilnya, tempat tersebut diketahui dibangun sejak 2012 atas inisiatif sendiri Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin. Sejak berdiri sekitar 10 tahun lalu, kerangkeng manusia yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi itu tidak mengantongi izin.

"Yang jelas tempat itu ilegal. Kalau ilegal itu berarti tidak boleh," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (25/1/2022).

Berdasarkan hasil penyelidikan awal, polisi memenukan bahwa kerangkeng di rumah Bupati Langkat itu berukuran 6x6 meter yang terbagi menjadi 2 kamar, dengan kapasitas lebih 30 orang. "Tiap kamar dibatasi dengan menggunakan jeruji besi sebagai bangunan sel."

Selain pecandu narkoba, tempat tersebut juga menampung orang-orang dengan kenakalan remaja. Ramadhan menyebut, mereka diserahkan sendiri oleh keluarganya untuk dibina di rumah Bupati Langkat. Pihak keluarga juga diminta membuat surat pernyataan.

"Warga binaan semula berjumlah 48 orang, kemudian hasil pengecekan tinggal 30 orang. Sebagian sudah dipulangkan dan dijemput keluarga," tutur Ramadhan.

Namun dia belum bisa menyimpulkan ada pelanggaran HAM berupa perbudakan di rumah Bupati Langkat tersebut. Saat ini, tim gabungan yang dibentuk Polri masih mendalami temuan tersebut.

Sementara terkait para pekerja sawit yang tidak diberi upah, pihak pengelola berdalih pekerjaan itu diberikan sebagai bekal keahlian mereka setelah keluar dari tempat pembinaan. Mereka tidak diberi upah sebagaimana pekerja lainnya karena dianggap sebagai warga binaan.

"Itu semua merupakan alasan dari pengelola. Nanti kita lihat bagaimana proses penyelidikan. Masih dalam proses," katanya.

Sejauh ini, sudah ada 11 orang yang dimintai keterangan terkait temuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat tersebut. Beberapa orang yang dimintai keterangan antara lain, pengurus tempat pembinaan, warga binaan, kepala desa dan sekretaris desa setempat, hingga Kepala Dinas Sosial Kabupaten Langkat. 

"Ini dari tim masih menggali dan mempelajari. Jadi kita masih mendalami ya, kemudian menggali informasi, ya mungkin melakukan pemeriksaan tapi bukan pro justitia, masih pendalaman," ujar ramadhan.

Saat ini, sekitar 30 orang yang tersisa di kerangkeng Bupati Langkat tersebut telah dikembalikan ke keluarganya masing-masing. Kepolisian juga telah menawarkan agar anggota keluarga mereka direhabilitasi atau dibina di tempat yang legal.

"Tapi kita tidak bisa memaksa, namun orang tuanya memilih membawa ke rumahnya," katanya menandaskan.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (25/1/2022), Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah berharap agar dalih rehabilitasi narkoba tidak menyurutkan semangat Komnas HAM menginvestigasi temuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat.

Menurut dia, rehabilitasi tak bisa dijadikan alasan mempekerjakan orang di perkebunan kelapa sawit secara sewenang-wenang.

"Ada informasi dari polisi begitu (tempat rehabilitasi). Tapi mestinya tidak jadi alasan untuk mempekerjakan orang tanpa gaji dan dianiaya atas nama rehabilitasi," kata Anis merespons temuan Kepolisian.

Dia menegaskan bahwa lokasi rehabilitasi terhadap para pecandu narkoba memiliki standar khusus. Terlebih seharusnya dilakukan oleh aparat yang berwenang seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan rumah sakit khusus penanganan obat terlarang.

"Meski dia kepala daerah, kemudian dia buat penjara, itu enggak boleh. Itu abuse of power," kata Anis.

Deputi V bidang Polhukam dan HAM Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengecam praktik dugaan perbudakan yang dilakukan Bupati Langkat lewat kerangkeng manusia yang ditemukan di belakang rumahnya.

“Kantor Staf Presiden mengutuk keras adanya dugaan praktik perbudakan oleh tersangka korupsi Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin. Kami akan memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat-beratnya” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa.

Dia juga mengapresiasi langkah masyarakat yang melaporkan temuan tersebut ke Migrant Care untuk ditindaklanjuti aparat penegak hukum. “Partisipasi warga dalam penanganan dan pencegahan tindak pidana yang keji seperti ini sangat kami apresiasi,” kata aktivis perempuan yang akrab disapa Dani ini.

Dia tak habis pikir, praktik perbudakan masih saja terjadi di era modern seperti saat ini. Apalagi tindakan itu diduga dilakukan oleh seorang pemimpin daerah yang seharusnya mengayomi rakyatnya.  

“Tindakan Bupati Langkat ini melanggar berbagai perundang-undangan, baik itu KUHP, UU Tipikor serta UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Anti Penyiksaan) yang ditarifikasi Indonesia segera setelah memasuki masa reformasi 1998” jelas Dani.

3 dari 3 halaman

Tak Layak Disebut Tempat Rehabilitasi

Badan Narkotika Nasional (BNN) memastikan bahwa kerangkeng manusia yang ditemukan di rumah Bupati Langkat tidak layak disebut tempat rehabilitasi narkoba. Sebab, tempat tersebut tidak memenuhi sedikitnya dua persyaratan yang dibutuhkan untuk rehabilitasi narkoba.

"Saya katakan tempat tersebut bukan tempat rehab. Kenapa, karena minimal harus ada 2 persyaratan, persyaratan formil dan persyaratan materiil," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (25/1/2022).

Persyaratan formil meliputi perizinan-perizinan, seperti izin lokasi, izin operasi, dan izin fisik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat di tingkat provinsi. "Syarat materiil ada lokasi tempatnya, ada operator, ada pelaksananya, dokternya, psikolognya, ahli gizi, dan sebagainya."

Selain itu, tempat rehabilitasi narkoba juga harus memiliki program yang jelas, misalnya berapa lama penyalahguna akan direhabilitasi, apakah 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun. Ketentuan itu juga didasarkan pada kategori dan tingkat penyalahgunaannya.

"Apakah pengguna ganja, sabu, heroin atau jenis yang lain. Kemudian apakah yang bersangkutan pemakaian sedang, atau ringan, atau berat," tutur Pudjo.

Terkait temuan ini, dia mendorong dibentuk tim terpadu dari jajaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, BNN, Kepolisian, dan Komnas HAM untuk memeriksa kondisi riilnya di lapangan. Selain itu juga untuk memastikan keselamatan puluhan orang yang ada di dalam kerangkeng tersebut.

Sehingga jika benar orang-orang yang dikerangkeng di rumah Bupati Langkat tersebut merupakan penyalahguna narkoba, bisa dipindahkan ke tempat rehabilitasi milik pemerintah agar mendapatkan penanganan yang tepat.

Pakar Hukum Pidana Narkotika dari Universitas Bhayangkara, Slamet Pribadi mempertanyakan keberadaan kerangkeng di rumah Bupati Langkat yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi narkoba, namun tidak mengantongi izin. Terlebih tempat itu sudah beroperasi sekitar 10 tahun.

"Jangan sampai rehab ini sebagai alasan, padahal itu digunakan untuk hal-hal lain. Kalau itu balai rehab harus ada standar yang bersifat internasional, baik itu rehab medis atau rehab sosial. Kemudian seseorang yang masuk dalam ruang rehab itu harus masuk di tim assessment terpadu," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.

Dia menuturkan, bahwa rehabilitasi narkoba itu diatur dalam hukum pidana narkotika dan hukum acara pidana narkotika. Karena itu, semua upaya rehabilitasi harus melibatkan tim assesment terpadu yang meliputi dokter, psikolog, kepolisian, jaksa, hingga lembaga peradilan.

"Nah kalau ini enggak punya izin kan tidak sah. Kalau itu rehab mandiri di luar prosesnya hukum misalnya, tetep prosedur itu harus gunakan tim assessment terpadu dulu baru dia melakukan rehab medis, dilakukan rehab sosial," tutur Slamet.

Sesuai Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi medis pecandu narkotika harus dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah. Lembaga milik pemerintah atau swasta juga baru bisa melakukan rehabilitasi narkoba setelah mendapat persetujuan menteri.

"Jadi harus ada perizinan, misalnya itu daerah harus dari Dinas Kesehatan maupun Dinas Sosial sebagai bagian dari jajaran Kemenkes dan Kemesos," ucapnya.

Mantan Kepala Biro Humas dan Protokol BNN ini juga menyoroti dugaan luka lebam pada beberapa orang yang ada di dalam kerangkeng Bupati Langkat. Dia memastikan bahwa tidak ada praktik penganiayaan dalam balai rehabilitasi yang diakui pemerintah.

"Tim investigasi harus cek itu, apakah ada tim assessment terpadu sebagai pendahulu tempat yang katanya kerangkeng untuk tempat rehabilitasi. Kalau tidak ada, gawat," kata Slamet. 

Lebih lanjut, dia mengimbau kepada masyarakat umum yang ingin membawa anggota keluarganya untuk direhabilitasi narkoba atau sosial, agar memastikan bahwa lembaga yang dituju itu legal alias mengantongi izin pemerintah. Hal itu untuk mencegah peristiwa serupa terulang.

"Kedua masyarakat harus tahu cara menangani para pecandu, karena memang saya melihat di beberapa tempat (balai rehabiitasi) itu ada ruangan tapi bukan kerangkeng. Jadi kamar agar mereka tidak lari. Rehab itu kan dikurangi kebebasan supaya dia tidak terpengaruh oleh mafia narkotika," ujar Slamet Pribadi menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.