Sukses

Stunting Bisa Naik hingga 12 Persen Jika Tidak Ada Terobosan Penanganan

menurut dokter Tan, juga harus ada kerjasama dari pemerintah, akademisi, media, organisasi masyarakat, dan juga para dunia usaha untuk mengatasi stunting.

Liputan6.com, Jakarta - Tim Ahli Habibie Institut Public Policy Government Tb Rachmat Sentika menyatakan, jumlah penderita stunting di Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga 12% bila pemerintah tidak ada terobosan penanganan. 

"Jangan hanya bicara ASI, tapi yang harus digunakan adalah pendekatan siklus hidup, tidak hanya anak, namun juga harus diperhatikan kesehatan ibu. Jangan sampai calon ibu mengalami anemia, kurang energi kronik (KEK) dan juga terkait pengetahuannya," ujarnya Senin, (21/9/2020).

Dilansir dari WHO sekitar 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh perdarahan akut dan status gizi yang buruk. Ibu yang hamil dengan status gizi yang buruk dapat menyebabkan terjadinya kekurangan energi kronis (KEK).

Sebelumnya, dokter Tan Shot Yen mengatakan, banyak ibu di Indonesia tidak siap untuk menjadi ibu. Hal itu terlihat dengan masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yaitu 30% atau sebanyak 305 kematian per 1.000 kelahiran hidup.

"Bayangkan jika ibu hamil dalam keadaan malnutrisi dan pada saat melahirkan akan beresiko tinggi mengalami pendarahan. Anak yang lahir dari ibu yang tidak siap ini akan lahir dengan berat badan lahir rendah. Lalu anak tidak disusui dengan benar, tentu punya masalah tumbuh kembang  dan  akhirnya sukses menjadi stunting,” papar Tan dalam acara “ASI dan Pangan Tinggi Gizi dalam Menghapus Stunting dari Negeri Ini” belum lama ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

DPR Harus Awasi UU Pangan

Salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah anak-anak penderita stunting di Indonesia adalah DPR harus betul-betul mengawal dan mengawasi pelaksanaan UU Pangan dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan yang menjadi petunjuk pelaksana (jutlak) dari UU tersebut. 

"Alangkah baiknya DPR mulai mengawasi dengan ketat Undang-Undang Pangan ini, utamanya terkait dengan post promotion yang dilakukan industri susu yang justru tidak baik dikonsumsi untuk balita dan anak-anak," jelas Tan.

Menurutnya, hal itu penting dilakukan mengingat  para ibu di Indonesia kelasnya tidak sama. Ada yang mudah terpesona dengan iklan yang disuguhkan, tapi ada juga yang bisa menganalisa apakah produk itu cocok untuk diberikan kepada anak-anak mereka atau tidak.

"Jadi perlu adanya jenjang literasi di negeri kita. Karenanya, penerapan UU Pangan itu menjadi sangat penting untuk diawasi,” tukasnya.

Dalam hal ini, menurut dokter Tan, juga harus ada kerjasama dari pemerintah, akademisi, media, organisasi masyarakat, dan juga para dunia usaha. Namun, dia melihat kerjasama itu selama ini menjadi tidak berimbang terutama dari para dunia usaha. 

“Dunia usaha itu seringkali secara diam-diam  membuat sebuah iklan yang mempengaruhi anak-anak kita menjadi konsumen. Padahal sudah jelas-jelas produk mereka itu dilarang untuk dikonsumsi anak-anak karena bisa mengganggu kesehatan mereka. Akibatnya, pangan sehat nusantara yang sangat cocok untuk pertumbuahan anak-anak itu tidak dikonsumsi lagi ,” tuturnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.