Sukses

Ombudsman RI Temukan 397 Komisaris BUMN Terindikasi Rangkap Jabatan

Alamsyah mengatakan, Ombudsman telah menyampaikan data-data yang mereka miliki kepada presiden.

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman RI mendapatkan sejumlah isu bedasarkan perkembangan terakhir yang menjadi penyebab banyaknya fenomena rangkap jabatan pada posisi komisaris di Badan Usaha Milik Negara.

Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih menjelaskan temuan tersebut, bedasarkan hasil ivestigasi sejak 2017 hingga 2019 yang menemukan sekitar 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan. Termasuk di tahun 2020 yang diyakini Alamsyah masih terjadi.

"Di 2020 pelanggaran itu tetap terjadi. Maka kita lakukan review secara teknis kepada BUMN untuk tahun 2020, hingga menemukan beberapa perkembangan terakhir," ujar Alamsyah dalam konferensi pers daring, Selasa (4/8/2020)

Alamsyah menyebutkan terdapat lima isu yakni, pertama terkait kompetensi komisaris yang berasal dari relawan politik, kedua dominasi jajaran direksi, dan komisaris yang berasal dari Bank BUMN tertentu.

Selanjutnya, penempatan oleh anggota TNI atau Polri aktif, keempat penempatan Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN, hingga kelima adanya pengurus Partai Politik yang diangkat menjadi komisaris BUMN.

Kendati demikian, Alamsyah mengatakan, Ombudsman telah menyampaikan data-data yang mereka miliki kepada presiden. Ia berharap Ombudsman dapat segera membahasnya dengan Kementerian BUMN.

"Kami tidak ingin menelusuri siapa-siapa orangnya secara khusus, tapi semua ini akan kami dorong sebagai dasar untuk melakukan perbaikan sistem rekrutmen dan penempatan," ujarnya.

Oleh sebab itu, Ombudsman memutuskan untuk menyerahkan surat ke Presiden Jokowi dengan empat kesimpulan terkait fenomena rangka jabatan pada komisaris BUMN.

"Pertama, adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda dan cenderung meluas. Kedua, pelanggaran terhadap regulasi yang secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan pada UU, PP, dan peraturan menteri," jelasnya.

Lanjutnya, ketiga adanya rangkap penghasilan yang tidak didasarkan prinsip imbalan atas beban tambahan yang wajar dan berbasis kinerja, dan keempat sistem rekrutmen komisaris BUMN kurang transparan, kurang akuntabel, dan diskriminatif.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Minta Presiden Terbitkan Pepres

Oleh karena itu, Ombudsman meminta kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Presiden agar memperjelas batasan serta kriteria dalam penempatan struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN bedasarkan kompetensi dan terhindar dari konflik kepentingan.

"Termasuk pengaturan sistem penghasilan tunggal bagi perangkap jabatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," tutur Alamsyah.

Selain itu, memerintahkan kepada Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan terhadap peraturan menteri yang sekurang-kurangnya mengatur secara lebih jelas mengenai penetapan kriteria calon, sumber bakal calon, tata cara kewajiban, dan akuntabilitas kinerja para komisaris BUMN.

Termasuk, melakukan evaluasi cepat dan memberhentikan para komisaris rangkap jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang eksplesit bertentangan dengan hukum yang berlaku

"Jadi kalau Peraturan Presidennya sudah mengatakan jabatan ini tidak boleh merangkap, ya tidak bisa merangkap artinya," ujarnya.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.