Sukses

HEADLINE: Banjir Sentuh Istana Kepresidenan, Sinyal Darurat Penanganan Banjir Jakarta?

Hujan yang mengguyur Jakarta dari Senin malam hingga Selasa pagi (25/2/2020), membuat Jakarta kembali kebanjiran. Genangan air merata di lima titik Ibu Kota, termasuk Istana Kepresidenan.

Liputan6.com, Jakarta - Selasa 25 Februari 2020 menjadi hari yang melelahkan bagi Rinaldo (43). Bagaimana tidak, biasanya pegawai swasta di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, ini hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke kantor dari kediamannya di Ciledug, naik Transjakarta. Tapi hari itu, dia harus kerja keras mencari sarana transportasi yang bisa menembus ke kantornya. Alhasil, Naldo, sapaan akrab dia, butuh 4 jam lebih untuk bisa sampai kantornya.

Berangkat pukul 05.00 WIB dari halte Transjakarta Ciledug, Rinaldo sempat merasa nyaman dengan kondisi jalanan yang melenggang lancar di ketinggian menuju Kuningan, Jakarta Selatan. Cuaca hujan dan banjir di sejumlah titik di Jakarta, tidak berdampak di awal-awal perjalanan.

Sebelum akhirnya situasi berubah saat Transjakarta sudah turun dari jalan layang. Bus tak bisa sampai ke halte Latuharhari Jakarta Pusat, tempat dia biasa turun. Penyebabnya, genangan air menuju halte Latuharhari tidak memungkinan untuk diterobos bus kebanggaan warga Jakarta tersebut.

Semua penumpang pun diturunkan di halte Kuningan Madya (seberang kantor KPK lama atau Wisma Bakrie). Penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke arah Jakarta Pusat seperti Menteng, Senen, Monas, tidak bisa melanjutkan perjalanan. Petugas mengarahkan penumpang yang mau ke Jakarta Pusat, agar naik dari halte Mampang Prapatan kemudian melanjutkan dengan bus rute Jakarta Pusat via Gatot Subroto dan Semanggi.

Naldo pun mengikuti arahan petugas tersebut. Namun, masalah belum berakhir, halte Mampang Prapatan yang menjadi tujuan ternyata penuh dengan penumpang yang tidak terangkut oleh bus Tranjakarta. Kondisi halte yang berjubel tidak memungkinkan Naldo turun.

Kondisi halte sesak penumpang juga terjadi di halte sesudah Mampang Prapatan, yakni halte Duren Tiga, Imigrasi, Warung Jati, Buncit Indah, Pejaten, Jati Padang hingga Halte Deptan. Semuanya penuh dan sulit untuk turun di situ. Alhasil, Rinaldo pun bablas hingga halte terakhir Ragunan.

Dari halte Ragunan, baru dia melanjutkan perjalanan menggunakan Transjakarta rute Ragunan-Monas via Semanggi. Rinaldo turun di Halte Sarinah Jakarta Pusat dan melanjutkan perjalanan ke kawasan Cikini menggunakan ojek online. Tepat pukul 09.12 WIB dia tiba kantornya dengan kondisi lunglai kecapekan.  

"Banjir di mana-mana. Sepanjang jalan tadi dari Ragunan banyak kawasan yang tergenang, Gedung LIPI, Bendungan Hilir, dekat Stasiun Sudirman juga," ujarnya mengisahkan perjalanannya kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2020).

Hujan yang mengguyur Jakarta Senin malam 24 Februari 2020 hingga Selasa (25/2/2020) pagi, menjadi mimpi buruk bagi warga ibu kota. Banjir menggenangi sejumlah titik, merata di lima wilayah. Pusat perkantoran hingga pusat perbelanjaan tergenang. Tak cukup itu, Istana Kepresidenan, tepat Presiden Jokowi menjalankan tugasnya juga tak luput dari banjir.

Banjir Istana diketahui dari video dan foto yang diberikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dalam foto tersebut tampak air menggenang di sekitar masjid di area istana. Sementara dalam video juga terlihat air menggenang di lorong bagian luar. Untung, banjir tak berlangsung lama, sekitar pukul 07.00 WIB, genangan sudah surut.

Infografis Banjir Jakarta Sentuh Istana Negara. (Liputan6.com/Abdillah)

Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyatakan, dalam kondisi darurat banjir saat ini, mau tidak mau Istana harus dikorbankan. Pintu Karet harus terbuka. Karena kalau tidak, Banjir Kanal Barat bisa saja jebol.

Yayat mengatakan, banjir yang sempat menggenangi area istana adalah tanggungjawab Pemerintah DKI Jakarta selaku pengelolah kota. 

"Tapi sudahlah, bencana ini sudah ada di depan mata. Kalau mencari yang salah siapa, kita repot. Satu-satunya cara yang kita lakukan saat ini adalah bagaimana segera menyelesaikan bencana ini, evakuasi penyelamatan, dan sebagainya," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2020).

Yayat menyatakan, kondisi lingkungan yang parah, plus curah hujan tinggi yang jatuh pada lokasi yang paling sensitif di Jakarta, yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, membuat air hujan tak tertampung. Kondisi diperparah dengan drainase buruk yang menyebabkan air tidak maksimal mengalir jadi malapetaka banjir.

"Jadi bisa dikatakan, Jakarta sudah tidak siap lagi menampung intensitas hujan yang rata-rata di atas 100 (mm/mililiter)," katanya.

Yayat mengimbau Pemprov DKI Jakarta untuk merevisi ulang program penanggulangan banjir yang sudah dilakukan selama ini.

"Apakah program yang dijalankan bersinergi nggak dengan persoalan di lapangan sekarang. Yang dikhawatirkan program yang dilaksanakan sekarang itu nggak nyambung dengan masalah yang terjadi di lapangan sekarang," paparnya.

Sejumlah program penanganan banjir seperti melanjutkan program normalisasi harus dilakukan.

"Naturalisasi itu sebetulnya yang mana? Apakah naturalisasi tetap dijalankan? Yang saya lihat naturalisasi numpang di normalisasi sekarang ini yang di Banjir Kanal Barat. Artinya bentang alami, kan itu justru hanya sekedar pekerjaan menata bantaran Banjir Kanal Barat," ungkapnya.

Pengamat Tata Kota lainnya, Nirwono Joga menyatakan, banjir yang terulang di Jakarta saat ini menunjukkan memang tidak ada penanganan pembenahan sungai dan perbaikan saluran air yang  signifikan.

"Gubernur DKI tidak ada upaya serius pencegahan banjir. Sejak awal Januari hingga hari ini banjir. Tapi tidak ada upaya serius penanganan. Inilah yang membuat frustasi warga, terutama terdampak banjir," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2020).

Dia menyatakan, Jakarta memang rawan banjir dari dulu. Yang membedakan adalah gubernurnya serius apa tidak mengatasi banjir.

"Misal mulai dari membenahi bantaran sungai, merehabilitasi saluran air, merevitalisasi situ danau embung waduk, memperbanyak RTH baru untuk daerah resapan air. Itu yang tidak dilakukan Anies dalam dua tahun ini. Konsekuensinya ya banjirnya tidak teratasi," ungkapnya.

Nirwono menambahkan, banjir Jakarta termasuk yang sempat merendam Istana menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta. Ini akibat tidak berfungsinya optimal saluran air di sekitar istana dan kurangnya perawatan sungai.

"Saluran air sekitar (istana) harus direhabilitasi, baik dimensi lebar saluran, keterhubungan antar saluran, dan perawatannya," katanya.

Selain itu, optimalisasi halaman Istana dan lapangan Monas sebagai daerah resapan air menjadi hal yang harus dilakukan. "Sediakan kolam penampung bawah tanah. Pastikan sungai di sekitar Istana dipelihara dengan baik, bebas sampah,"pungkas Nirwono.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Fokus Penanggulangan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan enggan berkomentar banyak terkait banjir yang kembali merendam ibu kota, termasuk Istana Kepresidenan. Anies mengaku pihaknya konsen pada penanggulangan bencana di masyarakat.

"Konsen ke sana semua, sumber daya kita fokuskan ke sana. Kita siapkan, terjun semua, kegiatan Pemprov difokuskan ke lapangan, pertemuan rapat semua batal, semua turun ke lapangan," ujarnya saat meninjau pintu air Manggarai, Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Saat ini, tim dari Pemprov DKI tengah evakuasi korban di daerah-daerah yang terdampak banjir. Pos-pos evakuasi dan pos kesehatan serta memastikan pasokan kebutuhan pokok menjadi prioritas pihaknya.

"Kita siapkan di semua tempat. Saat ini jumlah RW yang terdampak masih bergerak terus. Lebih dari 200 RW dari 2.738 RW di Jakarta," katanya.

Merujuk ke data BMKG, Anies menyatakan, cuaca ekstrem di Jakarta dan sekitarnya akan terus berlanjut hingga Maret mendatang. "Kita fokus menghadapi banjir," tambahnya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini menyatakan, masyarakat bisa menghubungi 112 atau datang kelurahan jika membutuhkan bantuan karena terdampak banjir.

Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf, Juaini mengatakan, hujan dengan intensitas lebat hingga ekstrem menjadi penyebab banjir yang melanda lima wilayah DKI Jakarta, termasuk juga yang sempat menggenangi istana.

"Kalau melihat data BMKG itu curah hujan cukup tinggi diatas 200, curah hujan di beberapa titik sangat tinggi dan kebetulan tadi di pintu air Manggarai juga sempat siaga 1 pagi. Jadi kalau siaga 1 itu airnya sudah limpas dan larinya ke mana-mana ke Gunung Sahari ke Banjir Kanal Barat gitu," jelasnya.

Juaini menyatakan, begitu medapat informasi dari BMKG, semua jajaran sudah disiapkan. "Dari segala instansi, SDA, Bina Marga, Lingkungan Hidup, penanggulangan bencana sudah pada kerja. Tapi kondisinya itu kalau air sudah meluap kayak gini itu kan sungai meluap limpas, ya kita mau gimana lagi," kata dia.

Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah penanganan dan menyelamatkan korban yang belum mengungsi dari rumahnya. Pihaknya telah menurunkan 8 ribu petugas di seluruh wilayah untuk menangani kawasan-kawasan yang diterjang banjir.

"Masing-masing wilayah variasi. Satu wilayah ada yang 800 personel sampai seribuan. Kami juga menambah petugas pompa di lapangan sekitar ribuan kurang," kata Juaini, Selasa (25/2/2020)

Selain menambahkan personel untuk menangani banjir, pihaknya juga menyiagakan pompa-pompa portabel jika ditemukan pompa-pompa eksisting tidak dapat berfungsi.

"Pompa mobile yang kami siapkan ada 170-an," ujar Juaini.

Terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono membantah bahwa Istana Kepresidenan Jakarta sempat terendam banjir. Dia menyebut, bahwa itu hanya genangan air yang ingin masuk drainase.

"Air yang mau masuk drainase," kata Basuki di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Bahkan, Basuki mengaku langsung menuju Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa, pukul 06.00 WIB untuk meninjau lokasi yang dikabarkan banjir. Untuk itu, dia memastikan bahwa tidak ada banjir di Istana Presiden.

"Dimana banjirnya? Enggak ada. Saya jam 06.00 WIB disini," ujarnya.

Basuki memastikan pompa milik Kementerian PUPR yang ada di Istana bekerja dengan baik. Sehingga, Istana aman dari banjir meski curah hujan yang mengguyur Jakarta cukup tinggi sejak Senin, 24 Februari 2020 malam.

"Pompa kan saya siapin dua di sini. Aman," ucapnya.

Basuki menyatakan, banjir yang terjadi di Jakarta, Selasa ini karena disebabkan kapasitas drainasenya yang lebih kecil dari volume air dan kapasitas hujannya.

Untuk banjir Jakarta, Basuki mengaku sudah berupaya membantu pemprov DKI, di antaranya membuat pompa di Sentiong, Ancol.

"Di Ancol ada pompa, di hilirnya ada kali Sentiong tapi sekarang open makanya kalau pasang kali item banjir, sekarang sudah tender ini mau dibikin pintu, kalau air laut pasang gak bisa lagi masuk. Mudah-mudahan tahun depan sudah selesai," katanya.

Basuki menambahkan, soal ibu kota negara semua ikut bertanggung jawab, termasuk PUPR. Pihaknya minta jangan dibeda-bedakan kewenangan. Menurutnya, yang penting jangan ada duplikasi pekerjaan.

"Saya ini kan di PU sejak kepala seksi, kepala subdit, direktur, dirjen SDA. Jadi saya kenal dengan Kepala Dinas PU Provinsi, ketemu pun di lapangan, pasti di Manggarai jam 2 malam, jam 6 pagi pasti ketemu kalau pas kondisi hujan begini. Komitmen kami jangan ada duplikasi, pompa mana saja datang duluan, karena ini ibu kota negara kewenangan kan hanya untuk sistematika, tapi kondisi darurat banjir kita bersama," jelasnya.

3 dari 3 halaman

Curah Tinggi hingga Awal Maret

Hujan yang menenggelamkan sejumlah titik di Jakarta, termasuk Istana Kepresidenan, tak lepas dari tingginya curah hujan di kawasan Jakarta dan sekitarnya.  

Hujan dengan intensitas paling tinggi kali ini, terjadi di wilayah sekitar Jakarta Pusat. Sedangkan di  titik lain, hujan dengan curah rendah hingga sedang umumnya mengguyur sekitar Jakarta Utara dan Bekasi.

"Hujan hari ini intensitas tertinggi terjadi di wilayah sekitar Kemayoran, tapi umumnya terjadi di Jakarta Pusat, Jakarta Utara hingga Bekasi," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono Prabowo kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2020).

Dia menyatakan, intensitas curah hujan kali ini tidak seekstrem pada 1 Januari lalu. Kalau awal tahun 2020 durasinya hujan mencapai 19 jam. kali ini hanya beberapa jam, dari tengah malam hingga pagi ini.

Mulyono juga mengatakan, hingga awal Maret 2020, curah hujan masih berpotensi mengguyur sebagian wilayah Ibu Kota, meski intensitasnya tidak setinggi awal tahun 2020 lalu.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, pihaknya menyampaikan hasil pantauannya kepada pemerintah daerah, terlebih Pemprov DKI.

"Sudah menyampaikan hasil ini dalam pertemuan khusus, sudah ada. Jadi betul sudah disampaikan dalam koordinasi khusus tentang tren untuk kondisi ekstrem yang semakin meningkat dan intensitasnya semakin tinggi," kata Dwikorita Karnawati, di kantornya, Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Dia menyatakan, sudah melihat ada langkah-langkah yang diambil Pemprov DKI setelah menerima informasi tersebut.

"Dan upaya lanjut dari penyampaian tersebut sudah ada langkah-langkah juga. Misalnya pengendalian pompa, juga upaya untuk penghijauan," ungkap Dwikorita.

Selain di DKI, Dwi Korita menyatakan, potensi curah hujan tinggi terjadi di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT.

Selain itu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan, banjir yang menggenangi Jakarta, termasuk Istana kepresiden akibat akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.

"Pengambilan air tanah yang cukup banyak berimbas pada penurunan permukaan daratan di Jakarta sehingga menjadi salah satu penyebab banjir," kata dia, Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Ia mengatakan, jika dibandingkan 20 hingga 30 tahun lalu, daratan di ibu kota mengalami penurunan. Bahkan, pada waktu itu sebagian besar wilayah Jakarta masih berada di atas permukaan laut.

"Sekarang datanya sudah mengalami penurunan. Salah satunya karena pengambilan air tanah yang cukup banyak tadi," ujar dia.

Daratan yang lebih rendah dibandingkan permukaan laut tadi menyebabkan air sulit untuk keluar dari tanah menuju laut. Persoalan tersebut diakuinya tidak bisa dikerjakan satu lembaga saja namun harus ada kesadaran kolektif.

Kondisi itu diperparah dengan masih banyak tempat yang aliran airnya tersumbat, drainase tidak lancar, hingga sungai-sungai dipenuhi sampah akibat perilaku buruk masyarakat.

"Berdasarkan data kira-kira tujuh bulan yang lalu sejumlah sungai-sungai di Jakarta dan Bekasi dipenuhi sampah," katanya.

Pola perilaku masyarakat berpengaruh besar terhadap kondisi sungai-sungai tercemar itu. Meskipun sudah banyak komunitas yang bergerak membersihkan, namun sampah tetap saja kembali dibuang ke sungai.

"Setelah dibersihkan ada yang kembali membuang ke sungai. Akibatnya sampah itu menutupi aliran sungai dan ketika musim hujan seperti sekarang menjadi pemicu banjir," ujar dia.

Untuk mengatasi itu, Doni menyarankan agar pihak-pihak terkait memberdayakan lebih banyak lagi mesin pompa sehingga air tersebut bisa dialirkan ke laut.

Selain itu, penanaman vegetasi atau tanaman tertentu di pinggir pantai Jakarta masih diperlukan sebagai salah satu upaya mitigasi bencana karena dapat menyerap air.

"Ketika tidak ada tanaman sama sekali dan curah hujan tinggi maka langsung menerpa tanah dan akibatnya tidak ada resapan," ujarnya

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.