Sukses

Wakil Ketua KPK Sebut Denda Rp 1 M untuk Koruptor Tak Masuk Akal

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menilai, seharusnya yang direvisi oleh pemerintah dan DPR adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menilai, seharusnya yang direvisi oleh pemerintah dan DPR adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Bukan UU KPK.

Menurut dia, UU Tipikor yang sekarang berlaku tak memberi jera bagi koruptor. Pada UU Tipikor, hukuman denda yang dijerat kepada para koruptor maksimal Rp 1 miliar. Dia mengatakan jumlah denda tersebut sangat mudah dikeluarkan oleh para koruptor.

"Kalau Rp 1 miliar untuk perusahaan besar, ya kacang (kecil) itu. Jadi kalau mau benar, hukuman badan maksimum 10 tahun misalnya, tetapi dendanya Rp 100 miliar. Itu lebih pas," ujar Laode Syarif di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Laode Syarif membeberkan beberapa kasus yang ditangani oleh KPK. Dia menuturkan, dari beberapa pengadaan dan proyek pemerintah yang dilaksanakan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN, aliran dana yang menjadi bancakan mencapai 25 persen.

"Selama saya di KPK, memang khususnya yang sering saya lihat khususnya yang tertangkap tangan, kami melihat catatan itu 10 sampai 15 persen (uang dikorupsi). Kami pernah melihat sampai 25 persen, untuk internal pemerintah 10 persen, mengamankan aparat penegak hukum 10 persen, untuk mengamankan auditor 5 persen, jadi tinggal 75 persen yang dipakai untuk membangun," kata Laode Syarif.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Masuk Akal

Syarif kemudian kembali membahas soal revisi UU KPK. Terhambatnya investasi di Indonesia menjadi salah satu alasan pemerintah dan DPR merevisi UU nomor 30 tahun 2002. Menurut Syarif, alasan tersebut tak masuk akal.

"Apa yang mennghalangi investasi di Indonesia? Ya nomor satu itu korupsi. Mengapa mereka (investor) tidak mau datang ke Indonesia? makanya men-dismantle anticorruption agency seperti KPK itu tidak sesuai dengan logika sebenarnya," kata Syarif.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.