Sukses

Hukum Mati Koruptor, Komisi III: Jangan Serahkan pada Rakyat

Sudding mengingatkan pemerintah lah yang berhak menginisiasi, bukannya menyerahkan pada masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuka peluang adanya revisi Undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati koruptor. Asalkan, usulan tersebut datang dari rakyat.

Anggota komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding menilai, apabila pemerintah benar berniat untuk menghukum mati koruptor, maka pemerintah lah yang harus inisiatif mengajukan revisi UU.

"Kalau misalnya Pak Jokowi menerapkan hukuman mati koruptor, suruh minta ajukan UUnya gitu," kata Sudding di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (10/12/2019).

Sudding mengingatkan pemerintah lah yang berhak menginisiasi, bukannya menyerahkan pada masyarakat.

"Jangan melempar kepada masyarakat. Yang menginisiasi undang-undang itu kan pemerintah. Kalau Jokowi sudah merasa apa namanya mendesak memberlakukan hukuman mati ya pemerintah, presiden menginisiasi UU. Masyarakat tidak punya hak inisiasi untuk mengajukan pembahasan UU, salah Pak Jokowi,” jelasnya.

Politisi PAN itu mempertanyakan keseriusan pernyataan Jokowi tersebut. Sebab saat ini dalam UU Antikorupsi yang bisa dihukum mati hanya sebatas koruptor dana bencana alam.

"Bagaimana mau menerapkan hukuman mati koruptor sementara UUnya belum memberikan ruang untuk memberlakukan hukuman mati, hanya persoalan penyalahgunaan dana bantuan bencana alam. Hanya sebatas itu. Jadi (wacana hukuman mati) sebatas pidato (Jokowi) saja," ia menandaskan.

Sementara, Anggota Komisi III dari PPP Arsul Sani mengatakan, tidak semua kasus korupsi bisa diganjar hukuman mati. Harus ada pertimbangan besarnya kerugian negara hingga peran seseorang dalam kasus korupsi.

"Kita juga harus adil, yang dikorupsi seberapa, perannya dia apa, sebab dia masuk kasus korupsi, banyak yang nggak tahu apa-apa," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (10/12/2019).

"Contoh, misalnya dia ajudan kepala daerah, dia disuruh mengantarkan uang suap untuk DPRD, dia nggak tahu dealnya apa. Tetapi, begitu kena OTT kan dia kena juga. Dalam hukum namanya turut serta atau nggak minimal membantu melakukan. Nah yang kayak begini kan nggak mungkin juga dihukum mati ataupun dihukum berat," jelasnya.

Saksikan video di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Memungkinkan Hukuman Mati

Arsul mengakui dalam hukum Indonesia memungkinkan adanya hukuman mati bagi koruptor, tapi dengan catatan kasus bencana alam dan kasus yang terbatas.

"Jadi, rezim hukum pemberantasan korupsi kita memang memungkinkan untuk membuka untuk kemungkinan dijatuhkannya vonis pidana mati. Tapi kasus korupsi apa? Kasus yang merugikan keuangan negara saat terjadi bencana, dikorupsi uang bencana. Kemudian dalam keadaan krisis ekonomi kok masih juga dikorupsi, kan dalam terbatas," katanya.

Ia mengingatkan bahwa fokus Indonesia bukan menghukum mati koruptor tapi menambah berat hukuman.

"Hanya kemudian fokus kita bukan lagi pidana mati atau tidak, tetapi secara keseluruhan itu adalah bagaimana pemberatan terdakwa korupsi dalam hal pidana atau hukumannya itu bisa dilakukan. Karena ada kritik selama ini bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus korupsi itu ringan-ringan," ia menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.