Sukses

6 Kesaksian Agus di Sidang Sengketa Pilpres, Sosok Udung hingga Dokumen Siluman

Saksi pertama yang didengar keterangannya dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di MK ini adalah Agus Muhammad Maksum.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK kembali menggelar sidang sengketa Pilpres 2019 hari ini, Rabu (19/6/2019). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak Pemohon, yaitu Prabowo-Sandiaga.

Saksi pertama yang didengar keterangannya dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di MK ini adalah Agus Muhammad Maksum.

Ia merupakan anggota tim pemenangan pasangan capres-cawapres 02 yang bertugas meneliti Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu 2019. DPT yang disebutnya, khusus mengenai yang invalid atau tidak benar.

Hakim Aswanto pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Agus. Salah satunya terkait apakah Agus mendapatkan ancaman saat menjadi saksi di MK. Agus menjawab tidak ada ancaman.

Berikut keterangan-keterangan saksi Agus Maksum saat sidang sengketa Pilpres 2019 di MK dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

1. Mengaku Dapat Ancaman Pembunuhan

Dalam sidang di MK, saksi yang bernama lengkap Agus Muhammad Maksum dari Sidoarjo, Jawa Timur, menjelaskan, dia merupakan bagian dari tim capres yang khusus meneliti dan memberi masukan kepada KPU soal daftar pemilih tetap (DPT) di tingkat nasional. DPT yang disebutnya, khusus mengenai yang invalid atau tidak benar.

Hakim Aswanto kemudian memberi pertanyaan apakah dia mendapat ancaman? Agus lalu menjawab mendapat ancaman tersebut, tapi mengaku tidak bisa menjelaskannya.

Agus mengatakan, ancaman pembunuhan pernah diterima keluarganya sehingga tidak mau menyampaikan detailnya.

"Kapan diancam? tanya hakim yang dijawab saksi pada awal April 2019.

Hakim Aswanto kemudian bertanya, ancaman tersebut diterima sebelum atau ketika menjadi saksi sidang sengketa Pilpres 2019 di MK.

"Tidak, berkaitan DPT," kata Agus.

Hakim lalu mempertanyakan mengapa saksi yang mendapat ancaman pembunuhan tidak melapor kepada aparat keamanan. "Ini diancam keselamatan jiwa dan serius, kenapa tidak lapor?" tanya hakim

"Kami anggap tim kami bisa mengamankan, mengamankan saya maksudnya," jawab saksi.

 

3 dari 7 halaman

2. Dugaan Temukan KTP Palsu dan KK Manipulatif

Saat memberikan keterangan di MK, saksi Agus Maksum menuturkan temuan KTP palsu dan Kartu Keluarga (KK) manipulatif.

Dia mengatakan, ada temuan KTP palsu yang jumlahnya mencapai 1 juta. Dia mengaku, pihaknya mengecek langsung ke Ditjen Dukcapil mengenai temuan kode depan nomor induk kependudukan (NIK) KTP yang diduga palsu.

"Apakah benar kode 60 itu asli, Beliau (Dirjen Dukcapil) bilang tidak usah masukkan sistem karena itu sudah palsu," kata saksi Agus menjawab pertanyaan hakim Aswanto.

Dia mengaku, jumlah jumlah KTP palsu tersebut didapatnya dari DPT HP1 dan dan DPT HP2. "Karena ini palsu saya tidak cek orang, tapi cek ke Dukcapil. Dan confirm tidak ada," kata saksi .

"Ada tidak sampel warga KTP palsu ini masuk DPT? tanya hakim MK. "Ada, DPT HP2 yang kami laporkan, rinciannya kami tidak rekap, kami total 1 juta," kata dia.

Hakim lalu bertanya, 'Bagaimana mengetahui total, kalau tidak direkap? Cara apa yang saudara gunakan? tanya hakim.'

"Dari total jumlah kami bikin kriteria, dan KTP palsu kami sebut invalid 2, invalid 3, dan invalid 4 dan ada lebih 1 juta. Karena yang kami laporkan 17 juta, di antaranya ada invalid 2, invalid kode provinsi," kata dia.

Saksi juga mengatakan, ada temuan KK manipulatif. Ada 1 KK, isinya lebih 1000 orang. "Kami laporkan ada 117.333 KK di Majalengka, Magelang, Banyuwangi, dan Bogor. Di Bogor kami lapor ke Bawaslu," kata dia.

Dia menyebut, KK manipulatif ini nomor KK-nya tidak valid. Nomor KK pertama menunjukkan wilayah Bogor, tapi enam berikutnya tidak menunjukkan apa-apa karena 0. "Mestinya angka terakhir tanggal di mana KK dicatat," kata dia.

Saksi pun menyebut, KK manipulatif ini didapatnya dari DPT HP2. Temuan tersebut kemudian dilaporkan ke KPU.

"Penjelasannya KPU salah input dan diperbaiki tidak menyeluruh, lainnya kami enggak tahu, selain yang viral saja. Lalu kami cek lapangan, ke Kota Bogor dan ke rumah Pak RT setempat," kata dia.

Hakim Aswanto kemudian mengatakan bertanya, apakah orang yang di KK yang diteliti dan disebut invalid menggunakan hak pilih?

"Kan siluman, tidak ada," kata dia.

"Dari sekian itu gunakan hak pilih?" tanya hakim lagi. "Tidak tahu," kata dia.

 

4 dari 7 halaman

3. Temukan Jutaan DPT Bertanggal Lahir Sama

Saat sidang sengketa Pilpres di MK, saksi Agus juga membeberkan, selama mendata, dia menemukan ada 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang memiliki tanggal lahir yang sama.

Kejanggalan ini, kata Agus, sudah dia sampaikan ke KPU. Namun, KPU menyebut itu adalah hal yang wajar.

Sebab, kata Agus, menurut KPU jika ada penduduk yang tak tahu tanggal lahirnya, maka akan diberi tanggal lahir pada 1 Januari atau 31 Desember.

"Alasan itu kami terima, tapi kami permasalahkan jumlahnya yang banyak," kata Agus.

Bahkan, kata Agus, ada TPS yang DPT-nya memiliki 200 orang dengan tanggal lahir sama.

Selain itu, kata Agus, pihaknya juga menemukan ada 1 juta DPT yang tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), padahal setelah dicek ke Dukcapil, mereka memiliki KK dan NIK.

 

5 dari 7 halaman

4. Sebut 17,5 Juta DPT Invalid

Saksi Agus membuka kesaksian di hadapan hakim majelis hakim MK dengan persoalan 17,5 juta data pemilih yang diyakininya invalid.

Angka tersebut bersumber pada beberapa hal, seperti jumlah DPT, nomor NIK penduduk, angka kelahiran yang janggal, dan KK yang disebutnya manipulatif.

"Jumlahnya yang khusus pada 17,5 juta ini invalid di 5 provinsi ditemukan lebih dari sejuta, tapi KPU menyampaikan data 17,5 juta itu data valid," kata Agus.

Padahal, menurut Agus, sesuai konsultasi yang dilakukan bersama dinas kependudukan sipil, temuan Agus tersebut mendapat penegasan bahwa seharusnya temuan tersebut ditolak dalam sistem yang masuk ke dalam daftar pemilih.

"Jadi, DPT ini terus berubah-ubah. Harusnya 17 Maret sudah ditetapkan tapi tak jelas. KPU hanya mengoreksi via disclaimer saja," klaim keterangan saksi.

Selain itu, menurut saksi Prabowo itu, dalam DPT 17,5 juta itu juga terdapat pemilih yang ternyata di bawah umur dan berusia lebih lanjut. Namun menurut Agus, KPU hanya memberikan penjelasan salah input.

"Jadi penjelasannya KPU setelah kami mengecek, KPU merevisi hal itu salah input data," jelas Agus.

Kemudian, Agus mengutip salah satu link berita yang dikatakan salah satu komisioner KPU, Viryan Aziz. Menurut Agus, Viryan mengakui telah melakukan salah hitung dari temuannya.

"Itu memang ada (kekeliruan), tapi jumlahnya tidak signifikan. Dan ini kekeliruan terkait pengetikan dan bisa dibuktikan nanti, akan kami sampaikan pastinya," ujar Viryan pada 12 Maret 2019.

 

6 dari 7 halaman

5. Tak Tahu Apakah 17,5 Juta DPT Mencoblos atau Tidak

Saksi Agus mengaku menemukan DPT tidak valid sebanyak 17,5 juta saat sidang di MK. Di mana, ada temuan KTP dan Kartu Keluarga (KK) palsu.

Hakim Aswanto kemudian bertanya, apakah orang yang di KK yang diteliti dan disebut invalid menggunakan hak pilih?

"Kan siluman, tidak ada," kata Agus.

"Dari sekian itu gunakan hak pilih?" tanya hakim lagi. "Tidak tahu," kata dia.

Mendengar hal ini, hakim I Dewa Gede Palguna mengaku ada kejanggalan. Sebab, pada awalnya Agus mengaku DPT invalid itu tidak ada yang menggunakan hak pilih. Namun, belakangan Agus mengaku tidak tahu.

"Yang digunakan kesaktian ini tidak tahu atau yang tidak di dunia nyata tadi?" kata Palguna.

"Tidak tahu," kata Agus.

Kemudian, Komisioner KPU Hasyim Asyari kembali bertanya kepada Agus, apakah data pemilih yang invalid itu hadir saat pemungutan suara.

"Apakah bisa memastikan berapa yang hadir memilih yang 17,5 juta (DPT invalid) itu? Itukan anda punya data dan nama-nama," kata Hasyim.

"Tentu kami tidak tahu," tandas Agus.

7 dari 7 halaman

6. Muncul Sosok Udung

Saat menjelaskan soal penemuan KTP palsu dan KK manipulatif di sidang MK, saksi Agus mencontohkan, KTP invalid dan masuk DPT HP2.

"Misalnya Udung, lahir di Bandung," kata dia.

Setelah menelusuri, kata Agus, pihaknya tidak menemukan siapa Udung ini. Karena tidak ada provinsi dengan kode 10 di KTP.

"Karena tidak ada kode 10. Maka kami yakini Pak Udung tidak ada kode KTP 10. Makanya enggak perlu ngecek ke sana dan itu langsung ke dukcapil," tegas saksi.

Agus lantas menjelaskan soal kode 10 yang ada di KTP. Dia menyebut kode tersebut palsu. Kode tersebut menjelaskan asal provinsi di Indonesia.

"Jadi ini kami membaca data di DPT HP, kami yakin ini tidak akan ada di dunia nyata. Di dunia nyata kami tidak akan temukan," kata Agus.

"Maksudnya dunia nyata?" Aswanto kembali menanyakan.

"Maksudnya apakah namanya Udung punya KTP 10, kami pasti tidak menemukan, tidak ada provinsi berkode 10," kata Agus.

"Kami meyakini Pak Udung ini tidak memiliki kode 10, kalau ada pasti aneh," dia melanjutkan.

Agus kembali menjelaskan soal kode ID mulai dari Kartu Keluarga, Nomor Induk Kependudukan yang jelas menyebutkan nama, tanggal lahir, dan alamat Udung. Meski demikian, Hakim tetap mencecar Agus.

"Berarti ada di dunia nyata?" tanya Aswanto

"Tidak ada," jawab Agus.

"Loh bagaimana tidak ada?" tanya Aswanto lagi.

"Nanti kami buktikan di saksi berikutnya," ujar Agus menimpali.

Sementara itu, pihak Termohon yang diwakili Hasyim Asy'ari menanyakan data-data yang disebut pihak Saksi sebagai dokumen manipulatif dan siluman. Hasyim lantas menanyakan prosedur Saksi dalam mengecek temuan dokumen palsu dan siluman.

"Saudara mengetahui by name, itu orangnya ada atau tidak? Seperti Udung tadi," tanya Hasyim.

Agus lantas menjelaskan bahwa dia dan timnya tidak mengecek langsung alamat Udung seperti yang tertera di dokumen kependudukan. Namun, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

"Yang itu, kita ceknya Dukcapil bahwa nomor itu tidak ada," ujar Agus.

Namun, penjelasan itu justru langsung ditimpali oleh Hakim I Gede Dewa Palguna, "Jawab singkat saja, pak," tegas Palguna.

"Sudah diingatkan oleh majelis saudara cukup menjawab apa yang ditanyakan penanya," ujar Palguna.

Agus kembali menjelaskan soal Udung dan proses verifikasi lapangan. Sebab, di awal Agus memastikan bahwa Udung tidak ada di dunia nyata, sementara yang terbaru Agus menjawab tidak tahu saat disinggung apakah dipastikan Udung tersebut datang ke TPS saat pemungutan suara.

"Pasti tidak hadir karena tidak ada," kata Agus.

"Tidak, yang saudara ketahui?" tegas Palguna.

"Ya tidak tahu," jawab Agus.

"Semula Anda sebut tidak ada di dunia nyata, kemudian Anda bilang tidak tahu," kata Palguna menegaskan

"Sebentar, saya agak bingung Yang Mulia," ujar Agus lagi.

Palguna lantas kembali meminta kejelaskan Agus soal Udung, apakah Saksi tidak tahu atau tidak ada di dunia nyata soal sosok Udung ini.

"Saudara mau gunakan yang mana?" kata Palguna.

"Tidak tahu," jawab Agus.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.