Sukses

Gugurnya Martir Demokrasi, Para Pengawal Surat Suara

Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sejumlah daerah meninggal saat menjalankan tugas pemungutan suara. Mereka gugur saat mengemban tugas negara.

Liputan6.com, Jakarta - Tahapan pemungutan suara Pemilu 2019 sudah digelar Rabu kemarin, 17 April 2019. Pesta demokrasi lima tahunan ini digelar serentak, antara pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) dan memilih wakil rakyat di lembaga legislatif yaitu DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Namun demikian, berita duka muncul seiring aman dan kondusifnya perhelatan Pemilu. Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sejumlah daerah meninggal saat menjalankan tugas pemungutan suara. Mereka gugur saat mengemban tugas negara. 

Tumpukan tugas dan kondisi fisik yang lemah akibat kurang tidur jadi penyebab sejumlah petugas KPPS di berbagai daerah meninggal dunia akibat kelelahan.

KPU Jawa Barat mencatat, 10 petugas KPPS-nya meninggal dunia saat atau sesudah bertugas. Mereka berasal dari Pangandaran, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta dan Ciamis.

Petugas KPPS melihat warga yang akan memasukkan surat suara dalam kotak di TPS 7 Panggung Lor, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (17/4). Para petugas mengenakan pakaian khas Nusantara untuk menghibur dan menarik warga dalam memilih di Pemilu 2019. (Liputan6.com/Gholib)

Di luar itu, ada beberapa petugas KPPS di wilayah lain yang juga terpantau meninggal akibat kelelahan setelah menghitung suara di TPS selama dua hari non-stop. Di media sosial, ungkapan berdukacita dan berbelasungkawa terhadap jasa para petugas itu disampaikan warga net dengan menyertakan tagar #MartirDemokrasi.

Rusdiono (60), petugas KPPS di TPS 97, Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor meninggal dunia setelah tak sadarkan diri usai mengantar surat suara ke kantor kecamatan pada Kamis malam.

Sebelumnya, Ketua KPPS bernama Jaenal meninggal dunia setelah sempat pingsan usai melakukan pengecekan TPS 09 di Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Rabu, 17 April 2019.

Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, Jaenal sempat berkeliling mengecek TPS yang tersebar di Desa Sukaharja. Namun, saat melakukan pengecekan di TPS 09, Jaenal jatuh pingsan hingga tak sadarkan diri. Dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Milenia Kota Bogor. Namun, pada saat menjalani perawatan di ruang IGD RS Milenia, Jaenal meninggal dunia.

Di Jakarta, Ketua KPPS 017 Tamansari, Jakarta Barat berinisial AS ditemukan meninggal dunia saat pemungutan suara Pemilu 2019.

Sebelumnya, dia pamit kepada temannya untuk tidur sejenak di dalam ruangan salah satu kantor yang dekat dengan TPS tempat ia bertugas.

"Nggak lama ditemukan tak bernyawa. Keluarga sudah suruh korban istirahat pada malam itu," ungkap Kapolsek Metro Tamansari, AKBP Ruli Indra Wijayanto.

Menurut informasi, AS memang mempunyai riwayat sakit. Ditambah kondisinya yang kelelahan. AS mengembuskan napas terakhir saat tengah menjalankan tugas. Dia sudah dimakamkan pihak keluarga.

Dua petugas KPPS di Kabupaten Bogor, Jawa Barat pingsan saat penghitungan suara. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Sementara itu, di Tasikmalaya, dilaporkan dua petugas KPPS di Tasikmalaya meninggal dunia karena sakit setelah pemungutan suara. Mereka adalah upriyanto (54) warga Kampung Ciburaleng, Desa Cidugaleun, Kecamatan Cigalontang dan Jeje (60) warga Kampung/Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras.

Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya Furkon mengatakan, keduanya diduga meninggal karena kelelahan dan memiliki riwayat penyakit. Petugas KPPS itu, kata dia, melaksanakan tugasnya dimulai dari pencoblosan hingga penghitungan perolehan suara yang rata-rata pelaksanaannya hingga pukul 04.00 WIB.

"Tentunya mereka juga kurang tidur apalagi sebelum pencoblosan para petugas juga telah sibuk mempersiapkan lokasi TPS dan lainnya," katanya. 

Selain itu, di Lampung, sebanyak tiga petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia hingga dirawat di rumah sakit selama pelaksanaan Pemilu 2019 di Provinsi Lampung. 

Tiga petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan dan ada yang dirawat karena menjadi korban pembegalan, kelelahan, dan kecelakaan," kata Ketua KPU Lampung, Nanang Trenggono, di Bandarlampung, Sabtu malam.

Dia menjelaskan tiga petugas KPPS yang meninggal dunia yakni KPPS Way Kanan atas nama Paidi yang bertugas di TPS 3 Negara Harja, Kecamatan Pakuan Ratu.

Kemudian KPPS Pesawaran atas nama Ikhwanudin Yuda Putra yang bertugas di TPS 7 Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, dan KPPS Bandarlampung atas nama Bambang Wijayanto yang bertugas di TPS 27 Kelurahan Sepang Jaya, Labuhan Ratu.

"Dua petugas KPPS Way Kanan dan Pesawaran meninggal dunia karena kelelahan, sedangkan petugas KPPS Bandarlampung meninggal dunia saat selesai melakukan pemungutan dan hitung suara di TPS dan akan membagikan honor KPPS," kata dia. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

KPU Akan Evaluasi

Terkait banyaknya petugas KPPS yang gugur saat megembang tugas negara, Komisi Pemilihan Umum hingga kini masih mendata berapa banyak petugas KPPS yang meninggal saat bertugas. KPU mengaku tugas KPPS memang berat.

"Pekerjaan penyelenggara pemilu sangat berat dan maksimal sehingga atas nama KPU, kami mengapresiasi penyelenggara pemilu level bawah,” ucap Komisioner KPU Ilham Saputra, Jumat, 19 April 2019.

Kendati belum mendapatkan data jumlah petugas yang meninggal, namun, menurut Ilham, sebagian besar petugas KPPS yang meninggal dunia karena kelelahan dan terkena serangan jantung. Ilham berjanji memberikan santunan kepada petugas KPPS yang meninggal dunia.  Tak hanya itu, mereka yang sakit karena bertugas juga akan mendapatkan perawatan medis.

"Petugas KPPS yang sakit dan meninggal, kami akan perhatikan mereka. Mereka adalah pahlawan demokrasi," ucap Ilham. 

Ketua KPU RI, Arief Budiman saat mengumumkan rilis 32 Caleg Berstatus Mantan Terpidana Korupsi, Jakarta, Selasa (19/2). Hingga kini, tercatat 81 Caleg Berstatus Mantan Terpidana Korupsi dalam Pemilu 2019.  (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, Ketua KPU RI Arief Budiman mengevaluasi sistem penyelenggaraan pemilu serentak menyusul adanya kasus yang menewaskan petugas penyelenggara Pemilu 2019 di beberapa daerah.

"Setelah pemilu selesai baru akan dilakukan evaluasi," kata Ketua KPU RI Arief Budiman saat diwawancarai wartawan di kantornya, Sabtu (20/4/2019).

Dia menuturkan KPU hingga kini masih mendata jumlah petugas KPPS di seluruh Indonesia yang meninggal dunia saat bertugas melakukan proses pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019. Menurut Arief, mayoritas petugas penyelenggara pemilu di daerah itu meninggal dunia akibat kelelahan dan terkena serangan jantung.

"Pekerjannya berat dan banyak, maka orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas," ucap dia.

Lebih lanjut dia menuturkan pihaknya akan memberikan santunan kepada para petugas KPPS yang meninggal dunia saat menjalankan tugas sebagai penyelenggara pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut mereka yang meninggal adalah para syuhada kusuma bangsa. Dia mendoakan petugas KPPS yang sakit karena kelelahan melakukan penghitungan suara di TPS.

"Kami berdukacita atas meninggalnya sejumlah petugas KPPS di beberapa tempat, kami juga turut mendoakan petugas yang sakit karena kelelahan selama bertugas di TPS, segera sembuh dan pulih seperti sedia kala," kata Tjahjo dalam keterangannya, Sabtu (20/4/2019).

Diakui Tjahjo, pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu sangat berat dan menguras tenaga. Karena itu, dia memberikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh jajaran penyelenggara pemilu.

"Keluarga besar Kemendagri dan BNPP memberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk para penyelenggara pemilu, petugas KPPS yang telah berjuang untuk kesusksesan agenda besar nasional ini, kami tahu ini merupakan pekerjaan yang tak mudah," ujar Tjahjo.

Tjahjo menyebut, petugas KPPS adalah para sukarelawan yang rela berkorban dan bekerja iklas karena kecintaannya pada negara.

Bagi Tjahjo, para petuga KPPS ini adalah syuhada kusuma bangsa, yang di dalam darahnya mengalir rasa semangat dan jiwa cinta tanah air, rela berkorban demi pengabdian kepada negara dan melayani masyarakat.

 

 

3 dari 4 halaman

Insentif yang Minim

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni mengakui beban kerja petugas KPPS memang sangat berat.

Di beberapa daerah, penghitungan suara bahkan ada yang berlangsung sampai siang hari berikutnya karena petugas kelelahan. Menurut Titi, proses pemungutan suara bahkan kini lebih memakan waktu, karena ada lima jumlah surat suara, termasuk pemilihan anggota DPRD tingkat kabupaten/kota.

Tugas yang berat itu, dinilainya tidak sebanding dengan insentif yang didapatkan. Anggota KPPS mendapat honor Rp 500 ribu, sedangkan ketua KPPS mendapat Rp 550 ribu. Honor tersebut dipotong pajak penghasilan 5 persen. Sehingga upah bersih bagi tiap anggota menjadi Rp 475 ribu dan ketua Rp 522.500.

"Insentif untuk KPPS sangat minim, ditambah lagi tidak ada jaminan terhadap asuransi kesehatan ataupun kematian akibat beban kerja yang cenderung tidak manusiawi dari sisi durasi kerja," ujar Titi saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (20/4/2019).

Menurutnya, KPU perlu mengalokasi insentif asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan bagi para KPPS. Sebab, skema Pemilu serentak lima surat suara memang tidak sesuai dengan kapasitas beban yang harus ditanggung pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu.

Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) membawa kotak suara Pemilu 2019 wilayah Kecamatan Pulogadung di Gedung KNPI, Jakarta, Kamis (18/4). Kecamatan Pulogadung memiliki tujuh kelurahan yang terdiri atas 803 TPS dan 3.212 kotak suara Pemilu 2019. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

"Ini tidak sepadan dengan kemampuan dan daya tahan kerja petugas supaya bisa bekerja efektif dan profesional. Makanya, sedari awal yang kami usulkan bukan pemilu borongan lima surat suara," kritik Titi.

Titi menyarankan, formula terbaik untuk pemilu serentak nasional adalah dengan memilih presiden, DPR, dan DPD. Lalu pemilu serentak daerah DPRD Provinsi, DRPD Kabupaten/Kota, Gubernur, dan Bupati/Wali kota. Jeda jaraknya adalah 2,5 tahun atau 30 bulan tiap penyelenggaraannya.

Adanya jeda waktu dalam pemilu menurut Titi lebih rasional. Selain itu, partai politik serta pemilih juga lebih mudah beradaptasi.

Solusi lain adalah dengan teknis pungut hitung yang semestinya bisa dibuat lebih sederhana dengan mengurangi berbagai beban pengisian formulir yang menurut Titi terlalu banyak.

"Jadi saya kira rekapitulasi elektronik menjadi sebuah keniscayaan. Selain bisa membuat hasil lebih cepat tersaji," jelas dia.

Terakhir, alokasi kursi di daerah pemilihan menurut Titi perlu dilakukan. Sebab, pemilih bisa dapat lebih rasional mengenali para calon legislatif dan beban penghitungan untuk KPPS bisa dijaga lebih wajar dan proporsional.

Titi Anggraini mengatakan, ke depan, perlu dilakukan evaluasi total terhadap skema penyelenggaraan pemilu serentak.

Skema pemilu dengan lima surat suara, ujarnya, terbukti tidak kompatibel dengan kapasitas beban yang harus ditanggung para petugas penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih.

Dari aspek teknis,  proses pungut-hitung harus dibuat lebih sederhana dengan mengurangi beban pengisian formulir yang terlalu banyak.

Rekapitulasi elektronik, ujarnya, menjadi keniscayaan yang harus dicoba ke depan, agar hasil lebih cepat tersaji dan petugas di TPS tidak perlu kelelahan dengan tumpukan formulir yang harus diisi secara manual.

 

4 dari 4 halaman

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.