Sukses

BMKG Dorong Daerah Rawan Bencana Revisi Tata Ruang Wilayah

Revisi tata ruang wilayah perlu diatur lagi untuk mencegah hilangnya banyak korban jiwa dan kerugian materil saat bencana terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - Bencana gempa tsunami dan likuefaksi yang mendera wilayah Sulawesi Tengah baru-baru ini menelan banyak korban jiwa. Lebih dari seribu nyawa melayang akibat bencana tersebut.

Guna mencegah hilangnya banyak korban jiwa dan kerugian materil dalam bencana yang mengintai kapan saja, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendorong Pemerintah Sulawesi Tengah merevisi tata ruang wilayah di kawasan rawan bencana.

"Revisi ini perlu segera dilakukan agar dampak dari kejadian yang lalu (gempa dan tsunami) tidak terulang kembali. Bukan cuma Sulawesi Tengah, tapi juga wilayah lain di Indonesia yang masuk dalam kategori rawan bencana alam," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat memantau kerentanan kegempaan di Palu, Sulawesi Tengah, Jum'at (19/10/2018).

Dalam kunjungan kerjanya, Dwikorita menyambangi sejumlah titik kerusakan akibat gempa dan tsunami antara lain Pantai Talise, Perumnas Balaroa, Palu Grand Mall, dan Grand Mercure Hotel.

Dwikorita mengatakan, penataan ruang memiliki peran besar dalam upaya mitigasi bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengatur pengendalian dan pemanfaatan sebuah kawasan, apakah layak dijadikan tempat pemukiman atau tidak.

Karena itu, kata Dwikorita, dalam perencanaan tata ruang hendaknya mempertimbangkan peta bencana, khususnya kondisi kerentanan tanah terhadap gempa, likuefaksi, dan longsoran serta banjir bandang di wilayah tersebut.

Jangan sampai, kata dia, atas dasar kebutuhan tempat tinggal penduduk atau motif ekonomi politik, wilayah yang seharusnya tidak ditinggali justru menjadi kawasan permukiman padat penduduk.

Menurut Dwikorita, perlu pengawasan ketat agar rencana tata ruang tersebut benar-benar dijadikan acuan dalam rencana pembangunan.

"BMKG juga merekomendasikan pembangunan fasilitas perlindungan tsunami di kawasan pantai Sulteng. Fasilitas tersebut untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat serta mengurangi resiko dari bencana tsunami itu," ujarnya dalam keterangan tertulis.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sulteng Rawan Gempa Tsunami

Sementara itu, Kepala Stasiun Geofisika Palu, Sulawesi Tengah Cahyo menerangkan, Sulteng khususnya Kota Palu dan Donggala adalah kawasan rawan gempa dan tsunami.

Sebelum tsunami di Donggala dan Palu September lalu, berdasarkan data yang dimiliki BMKG, di Sulawesi Tengah pernah terjadi sekurangnya lima kali gempa yang disusul oleh tsunami.

Gempa dan tsunami tersebut masing-masing terjadi pada 1921, 1927, 1938, 1968, dan 1966. Seluruh gempa berkekuatan di atas 6 magnitudo, sementara tinggi tsunami berkisar 1 hingga 15 meter.

Tsunami September lalu dipicu oleh longsoran dasar laut akibat gempa Donggala dengan jenis mekanisme gempabumi mendatar mengiri (sinistral).

"Berdasarkan bukti-bukti di lapangan diketahui bahwa patahan gempa berasal dari daratan menyilang hingga ke lautan, mulai dari Labean hingga ke ujung Teluk Palu. Patahan membelah lautan Teluk Palu menyebabkan tanah tenggelam (amblas) sehingga mengubah batimetri (kedalaman laut-red) yang asalnya dangkal berubah menjadi dalam," papar Cahyo

Cahyo mengatakan, dari hasil survei yang dilakukan BMKG setelah gempa dan tsunami menerjang, diketahui bahwa ketinggian dan jarak terjangan tsunami bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya. Hal tersebut dimungkinkan akibat kelandaian pantai dan bangunan penghalang atau keberadaan dataran tinggi.

Tim survei BMKG sendiri melakukan observasi lapangan dan wawancara di 27 titik berbeda sepanjang Teluk Palu sejak tanggal 29 September lalu. Mulai dari Donggala sebelah Barat, Kota Palu, Donggala Timur dan Utara serta Labean titik terdekat dengan pusat gempabumi.

Sebagai contoh, lanjut Cahyo, Pelabuhan Pantoloan dengan tinggi tsunami menjadi 10,2 meter menerjang hingga jarak 216 meter masuk ke daratan dari bibir pantai. Sedangkan di Tondo, Palu tinggi tsunami yang mencapai 10,7 meter mampu menerjang daratan sejauh 165 meter.

"Jarak terjangan tsunami terjauh adalah di kawasan Hotel Mercure, Palu yang mencapai 468,8 meter dari bibir pantai padahal tinggi tsunami hanya 9,2 meter," ujarnya.

Cahyo mengungkapkan, hasil survei inilah yang menjadi dasar BMKG mendorong Pemerintah Sulteng untuk merevisi Tata Ruang dan Wilayah di wilayahnya. Tidak hanya itu, BMKG berharap, Pemerintah Sulteng bisa terus berupaya meningkatkan mitigasi bencana dengan mengedukasi masyarakat setempat untuk tetap waspada dan siap menghadapi bencana.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.