Sukses

HEADLINE: Demokrat Kirim Sinyal Koalisi, untuk Prabowo atau Jokowi?

Sinyal Demokrat merapat ke kubu Gerindra mencuat usai pertemuan SBY dan Prabowo. Akankah koalisi dua partai ini terwujud?

Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Selasa (24/7/2018) malam, semakin memperjelas arah koalisi partai berlambang bintang mercy itu.

Walau belum mencapai kesepakatan akhir soal koalisi, SBY sudah melontarkan isyarat kuat bergabung dengan Prabowo. SBY juga tegas menyebut jalan terbentuknya koalisi bersama poros Prabowo lebih mungkin terjadi dibanding berkoalisi dengan Jokowi. 

"Secara prinsip sudah sepakat berkoalisi. Selanjutnya tim akan menyusun kerangka koalisi dan menyusun kerangka awal Indonesia lima tahun ke depan," kata Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (25/7/2018).

Dia mengatakan, pertemuan pada Selasa malam dilakukan untuk menjajaki koalisi lantaran Demokrat tak mendapat kejelasan dari koalisi pengusung Presiden Jokowi.

"Kami memang serius komunikasi politik dengan Gerindra, karena di koalisinya Pak Jokowi sampai hari ini kami tidak pernah mendapatkan kejelasan," kata Ferdinand.

Dia mengungkapkan, dari beberapa kali pertemuan, SBY dan Jokowi tak menghasilkan poin-poin kesepakatan awal untuk berkoalisi menghadapi Pilpres 2019.

"Sehingga kami sebagai partai harus mengambil langkah politik," tegas Ferdinand.

Penegasan ini tentu tak lepas dari ungkapan SBY yang mengatakan upaya menjalin koalisi dengan Jokowi tak mudah dan punya banyak rintangan.

"Pak Jokowi juga berharap Demokrat di dalam. Namun, saya menyadari banyak sekali rintangan dan hambatan untuk koalisi itu," ujar SBY dalam jumpa pers usai bertemu Prabowo di kediamannya Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa malam.

SBY kembali menyinggung soal yang sama pada Rabu malam, usai bertemu dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Dia mengatakan, tawaran koalisi dari Jokowi sangat dia hargai.

"Semangatnya baik. Saya mengetahui Pak Jokowi sungguh-sungguh mengajak Demokrat koalisi di pemerintahan. Kalau ada yang bilang SBY kena PHP, tidak. Pak Jokowi sungguh-sungguh ajak kami ke dalam," kata SBY di kediamannya, Rabu (25/7/2018).

Dia mengaku Jokowi memastikan parpol koalisinya akan menerima jika Demokrat masuk ke dalam koalisi. Kepastian itu dia minta lantaran hubungannya dengan Megawati masih memiliki jarak.

"Setiap bertemu Pak Jokowi, saya bertanya, apakah kalau Demokrat berada di koalisi, partai koalisi bisa terima kehadiran kami. Beliau menjawab ya bisa, karena presidennya saya. Itu terus terang merupakan pertanyaan saya. Karena melihat realitas hubungan Ibu Mega dengan saya belum pulih, jadi masih ada jarak, masih ada hambatan," kata SBY.

Karena hal itu, Ferdinand menyatakan Demokrat menutup peluang kemungkinan berkoalisi dengan barisan Jokowi. Ferdinand menyebut hal itu sudah dipertegas SBY.

"Iya kan, sudah jelas tadi malam dijelaskan meski dengan bahasa yang halus," ujar Kepala Divisi Hukum dan Advokasi DPP Demokrat itu.

Kendati demikian, adagium "tak ada yang abadi di politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi" tampaknya tetap berlaku saat membaca peta koalisi jelang Pilpres 2019.

Batas pendaftaran calon presiden yang dibuka 4 Agustus hingga 10 Agustus 2018 membuat kemungkinan adanya perubahan peta politik, bisa saja terjadi di menit-menit akhir. 

Pengamat politik Dimas Okky Nugroho mengatakan, kemungkinan adanya perubahan arah politik Demokrat ke kubu Jokowi di last minute pendaftaran cawapres bisa saja terjadi. Namun demikian, perubahan suara sangat tergantung dari tawaran dan apa yang akan didapatkan Demokrat bila bergabung dalam koalisi Jokowi.

"Politik ini masih sangat terbuka. Tapi kan ini persoalan siapa mendapatkan apa. Tentu dalam tempo 10 hari ini, sangat mungkin Demokrat bisa saja tetap melakukan tawar-menawar dengan Jokowi, walau terlihat serius merapat ke Prabowo," ucap Dimas kepada Liputan6.com, Rabu (25/7/2018) malam.

Dia menilai tersendatnya pembahasan koalisi antara kubu Demokrat dengan Jokowi lebih karena posisi tawar Demokrat yang terlalu tinggi. Apalagi, SBY masih menginginkan agar putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi bakal cawapres.

"Dalam konteks ini hal yang wajar. Namun, kalau tawarannya terlalu tinggi, seperti menyodorkan AHY menjadi menko atau cawapres, tentu berat bagi Jokowi. Apalagi ada enam partai koalisi yang sejak awal jadi pendukung Jokowi," ucap dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Politik 2 Kaki SBY ?

Sementara itu, Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya menyebut, pertemuan SBY dan Gerindra belum menunjukkan hasil final untuk berkoalisi di Pilpres 2019.

Yunarto menilai hal tersebut berdasarkan pernyataan SBY yang mengaku telah berkomunikasi selama setahun terakhir dengan Jokowi, meskipun mendapatkan beberapa kesulitan dalam komunikasi keduanya.

Apalagi saat ini, kata dia, sudah tidak dimungkinkan tercipta poros ketiga, usai pernyataan dukungan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin kepada Jokowi.

"Saya lihat itu masih terjemahan politik dua kaki SBY dengan mengatakan secara tidak langsung, saya bisa bergabung dengan Prabowo, dan saya juga bisa bergabung dengan Jokowi. Karena pernah ada komunikasi bersama Pak Jokowi, juga bisa mengatakan hubungan kita bisa diperbaiki," kata Yunarto kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (25/7/2018).

Politik dua kaki yang dilakukan SBY, menurut Yunarto, bukanlah hal baru. Sebelumnya pada saat Pilpres 2014, Partai Demokrat memilih untuk netral atau tidak akan bergabung secara formal dengan koalisi Jokowi atau Prabowo. Selanjutnya, pada 2017, SBY dan Prabowo pernah melakukan pertemuan di Cikeas dengan suguhan nasi goreng. Pertemuan tersebut dikenal dengan sebutan diplomasi nasi goreng.

Dia melanjutkan, selang beberapa hari setelah pertemuan tersebut, SBY mengutus putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY untuk bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara guna memberikan undangan peresmian The Yudhoyono Institue.

"Jadi belum melihat position yang jelas dari pertemuan kemarin masih jauh dari kesepakatan final. Ibarat Piala Dunia, ini masih perempat final, apa pun masih bisa terjadi masih jauh dari arah kepastian," jelas Yunarto.

Namun, dugaan adanya permainan politik dua kaki ini dibantah kubu Gerindra. Wasekjen DPP Partai Gerindra Andre Rosiade mengaku yakin dengan komitmen SBY untuk tetap dalam barisan pendukung Prabowo.

Dia mengatakan komitmen SBY itu terlihat dari kesepakatan mengenai pembentukan tim kecil antara Demokrat dan Gerindra untuk menindaklanjuti pembahasan koalisi.

"Jadi tidak perlu ada lagi yang diragukan dari pernyataan Pak SBY kemarin malam. Tinggal menunggu proses waktu saja. Hari ini kan selanjutnya Pak SBY bertemu Pak Zulkilfi Hasan," ucap Andre kepada Liputan6.com. 

Mengenai akan munculnya kekhawatiran kubu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merasa kehadiran Demokrat akan memperkecil peluang kader PKS menjadi pendamping Prabowo, Andre memastikan hal tersebut tidak akan terjadi.

"Kedatangan Pak Prabowo itu untuk konsultasi. Dan dipastikan kedatangan ke Demokrat bukan untuk tinggalkan PKS. Karena untuk pembahasan cawapres akan dibicarakan bersama," kata dia. 

Saksikan Video PIlihan Berikut Ini: 

3 dari 3 halaman

Koalisi Jokowi Terbuka

Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Pramono Anung mengatakan, sebagai partai utama pengusung Jokowi, pihaknya sangat terbuka menjajaki koalisi bersama Partai Demokrat. Dia membantah adanya hambatan atau penghalang yang membuat koalisi Demokrat dan Jokowi sulit terwujud. 

Pramono justru menilai hambatan datang dari SBY sendiri selaku Ketua Umum Demokrat. "Kalau kemudian ada rintangan, rintangan itu diselesaikan," ujar Pramono di Gedung Sekretariat Kabinet, Jakarta, Rabu (25/7/2018).

Pramono menuturkan, Jokowi selama ini sudah menjalin komunikasi yang baik dengan SBY. Jokowi juga beberapa kali menggelar pertemuan terbuka dan tertutup dengan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono.

Bahkan, sebelum mengundang enam ketua umum partai politik (parpol) makan malam bersama di Istana Bogor, Jokowi sudah menyampaikan harapan kepada SBY agar komunikasi yang sudah berjalan baik selama ini bisa direalisasikan di pilpres tahun depan.

"Tapi sampai hari H ketika pertemuan ketua-ketua umum partai yang ada di Istana Bogor, itu belum terjadi," ucap Pramono. 

Dia menduga, hambatan upaya menggalang koalisi dengan Demokrat justru datang dari SBY sendiri.

"Berbagai upaya sudah dilakukan. Artinya mungkin rintangannya ada di Pak SBY sendiri. Saya enggak tahu apa yang terjadi dengan beliau. Tapi mungkin barrier-nya ada pada beliau," kata Pramono.

Sekretaris Kabinet ini menegaskan, PDIP tidak menghalang-halangi Demokrat bergabung dengan koalisi Jokowi. PDIP menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi untuk menentukan sikap hendak bergabung dengan partai apa saja di Pilpres 2019.

Senada dengan Pramono, Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Romi merasa heran dengan pernyataan SBY yang menyebut banyak halangan untuk mendukung Jokowi di Pilpres 2019.

Dia menuturkan, Ramadan lalu, SBY menyatakan siap mendukung Jokowi. Bukan hanya itu, dia juga mengungkapkan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah disiapkan untuk menduduki salah satu pos kabinet.

"Saya tidak paham. Karena Ramadan lalu, SBY sudah menyampaikan langsung akan mendukung Jokowi. Bahkan pos kabinet sudah disiapkan untuk AHY," ungkap Romi kepada Liputan6.com, Rabu (25/7/2018).

Dia menegaskan, pos kabinet untuk AHY tersebut adalah hasil buah kesepakatan antara SBY dan Jokowi saat Ramadan. Meski demikian, Romi mengatakan tetap menghormati pilihan SBY, karena itu bagian dari haknya.

"Itu yang sudah disepakati Ramadan lalu ketika SBY bertemu Jokowi. Kalau kemudian sekarang mengambil posisi lain, tentu itu hak SBY," tegas dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.