Sukses

Bersembunyi di Balik Ekstradisi

Singapura merupakan salah satu tempat pelarian paling aman bagi warga Indonesia yang berperkara untuk bersembunyi. Indonesia dan Singapura sebenarnya sudah menandatangani perjanjian ekstradisi, tapi belum diratifikasi.

Liputan6.com, Jakarta: Siapa yang tak kenal Singapura? Hampir semua orang pasti mengenal salah satu negara di kawasan Asia Tenggara ini, terlebih bagi yang suka pelesiran dan belanja.

Namun, ketenaran negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya ini terkadang "dikotori" ulah segelintir orang yang tersandung masalah, terutama persoalan hukum. Negara berpenduduk lima juta jiwa ini kerap dijadikan tempat menghindari tudingan dan kejaran aparat penegak hukum.

Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan jika Singapura merupakan salah satu tempat pelarian paling aman bagi warga Indonesia yang berperkara untuk bersembunyi. Apalagi, imbuhnya, negara Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Berdasarkan catatan, beberapa warga Indonesia bermasalah yang sempat kabur ke Singapura. Sebut saja Sjamsul Nursalim (merugikan negara Rp 6,9 triliun dan US$ 96,7 juta dalam kasus BDNI), Bambang Sutrisno (Bank Surya, Rp 1,5 triliun), dan David Nusa Wijaya (Bank Sertivia, Rp 1,26 triliun).

Terakhir, Singapura juga disebut-sebut keterkaitannya dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan saksi kunci kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti. Namun, sejauh ini informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa keberadaan Nazaruddin dan Nunun di Negeri Singa Putih hanyalah untuk berobat.

Sebenarnya, bukan hanya Singapura yang sering dijadikan tempat pelarian. Negara tetangga Australia juga pernah dimanfaatkan untuk lokasi persembunyian. Andrian Kiki Iriawan, Direktur Bank Surya, misalnya. Salah satu pengemplang dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ini lari ke Negeri Kanguru [baca: Proses Ekstradisi Adrian Kiki Masih Lama].

Ekstradisi! Rupanya celah inilah yang dipakai mereka untuk bersembunyi di tempat lain, terutama jika negara tersebut tidak memiliki perjanjian semacam itu.

Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan. Atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya.

Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing. Ini berpedoman pada prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya.

Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979. Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Ketujuh negara yang telah memiliki perjanjian dengan Indonesia, antara lain Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan (belum diratifikasi), dan Singapura (belum diratifikasi).

Dalam praktiknya, Indonesia telah melakukan ekstradisi terhadap tersangka warga negara yang terlibat dalam beberapa kasus kejahatan, di antaranya Dennis Austin Standeffer, warga negara Amerika Serikat ke Filipina. Ham Sang Won, warga negara Korea Selatan. Selanjutnya Ratti Fabrizio Angelo, warga negara Italia, dan Ross Williem Mac Arthur, warga negara Australia.

Mengadakan maupun melaksanakan perjanjian ekstradisi sebetulnya bukan perkara mudah. Indonesia dalam hal ini telah mengalami berbagai kendala, baik dari negara tujuan (sistem hukum), dari pelaku maupun dari ketiadaan perjanjian ekstradisi dengan negara tertentu.

Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura misalnya. Perjanjian ini telah melalui proses diplomasi yang panjang sejak 1973 dan baru terlaksana 30 tahun kemudian, yakni pada 2007. Kendala lain bagi terlaksananya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura adalah karena mudahnya tersangka yang lari ke Singapura mengganti kewarganegaraannya dan mengalihkan hasil kejahatannya ke dalam bentuk investasi [baca: Perjanjian Ekstradisi Ditanggapi Pesimistis].

Terkait dengan seringnya Singapura yang diduga jadi pintu gerbang atau tujuan sejumlah koruptor melarikan diri, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan bahwa perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, khususnya Singapura harus segera diwujudkan. Ia menyarankan seharusnya secara resmi Indonesia bersikap mengenai hubungan bilateral antara kedua negara bertetangga ini. Sikap itu bisa berlanjut dengan perjanjian ekstradisi.

Mahfud menjelaskan, saat dirinya menjadi anggota Komisi I DPR, rencana perjanjian ekstradisi ini sebenarnya sudah disiarkan. Ini diperlukan karena banyaknya penjahat dan koruptor yang lari ke Singapura.

Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat antarkedua negara, Mahfud menilai penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura.

Ia menekankan, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena para pelaku korupsi asal Indonesia akan mendepositokan sejumlah besar uang hasil korupsinya di Singapura. Hal itu sudah pasti akan menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia.

Namun, Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, membantah ucapan Mahfud soal ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Menurut dia, perjanjian ekstradisi dan persetujuan kerja sama pertahanan sudah ditandatangani oleh kedua negara.

Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007. "Singapura berkomitmen penuh terhadap perjanjian tersebut, dan saat ini sedang menunggu Indonesia untuk meratifikasinya," katanya.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Michael Tene membenarkan keterangan Kedutaan Besar Singapura. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memang sudah ditandatangani. Namun perjanjian tersebut tidak dapat diberlakukan jika belum diratifikasi.

Menurut Tene, Indonesia belum meratifikasinya lantaran ada perbedaan posisi antara Indonesia dan Singapura dalam memandang perjanjian ekstradisi. Singapura menginginkan perjanjian ekstradisi sepaket dengan kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), sedangkan Indonesia ingin agar kedua perjanjian itu berdiri sendiri-sendiri.

Posisi indonesia saat ini adalah bersedia meratifikasi perjanjian ekstradisi, namun tidak bersedia meratifikasi kerja sama pertahanan yang dinilai masih menyimpan masalah dalam sejumlah pasalnya. Jadi, kata Ten, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura belum bisa berjalan.

Keterangan itu seolah menjelaskan penyebab pemerintah "kesulitan" mendapatkan buruannya. Selain itu, kendala lain yang terkadang menyertai upaya ini adalah munculnya aroma politis dalam kasus-kasus tertentu.

Jika memang upaya perjanjian ekstradisi tidak gampang dan penuh lika-liku, maka sudah seharusnya pemerintah meminimalkan kepergian orang yang dianggap bermasalah secara hukum. Setiap aparat hukum harus bisa membaca pola pihak-pihak yang akan diperkirakan bermasalah. Satu hal lagi, lembaga yang memang dibentuk untuk memberantas korupsi diharapkan bisa lebih berani mengambil tindakan tegas sesuai dengan kewenangannya.(IAN/ANS/dari berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.