Sukses

HEADLINE: Penetapan Pahlawan Nasional, Kenapa Gus Dur Tak Masuk?

Presiden menetapkan empat Pahlawan Nasional baru. Bagaimana nama-nama kandidat diseleksi?

Liputan6.com, Jakarta - Empat tokoh ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid, Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Prof. Drs. Lafran Pane. 

Jasa keempat sosok tersebut sama sekali tak diragukan. Namun, sejumlah orang bertanya-tanya, mengapa bukan Gus Dur atau tokoh lain yang mendapatkan penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia itu?

Penetapan Pahlawan Nasional tahun 2017 ini melalui prosedur yang berlapis. Sembilan nama direkomendasikan Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) ke Dewan Gelar. Lalu keputusan diserahkan ke pemerintah.

Wakil Ketua Dewan Gelar, Jimly Asshiddiqie, mengatakan semua rekomendasi TP2GP diseleksi ketat pihaknya.

"Semangatnya persatuan nasional, agar setiap daerah ada tokoh yang diberi gelar secara resmi," kata dia menjelaskan salah satu kriterianya, ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/11/2017).

Selain unsur kedaerahan, ada kriteria lain yang digunakan Dewan Gelar. Menurut Jimly, kriteria itu lebih bersifat pertimbangan politik nasional.

Ia mengilustrasikan bila ada potensi polemik saat seorang tokoh menjadi Pahlawan Nasional. Dalam kasus semacam itu, Dewan Gelar memilih mengurungkannya menjadi Pahlawan Nasional.

Namun, hal itu tak berarti mengecilkan peran TP2GP. Jimly mengatakan TP2GP lebih fokus pada teknis sejarah. Pertimbangan Dewan gelar, ucap Jimly, memiliki kriteria yang lebih luas.

Ia juga menjelaskan Dewan Gelar juga tidak mau royal memberikan gelar Pahlawan Nasional.

"Bangsa kita sudah jadi negara yang paling banyak gelar pahlawan," ucap Jimly. Dengan tambahan empat tokoh, total, Indonesia memiliki 173 Pahlawan Nasional.

Dewan Gelar yang beranggotakan tujuh orang itu juga tidak asal menetapkan pilihan. Diskusi antara mereka berlangsung tiga kali sebelum diambil keputusan untuk diserahkan ke Presiden Jokowi.

Jimly mendeskripsikan perbincangan mereka cukup alot. Setiap orang punya ego dan pendapatnya masing-masing.

Dewan Gelar sendiri memberikan prioritas bagi tokoh yang wafat puluhan, bahkan ratusan tahun silam untuk dianugerahi Pahlawan Nasional.

Untuk nama Gus Dur dan Soeharto, memang tidak ada pembicaraan dalam proses penentuannya.

"Nama-nama itu setiap tahun muncul. Kami ingin dahulukan yang sudah dua abad meninggal seperti Malahayati atau dari NTB yang punya peran luar biasa besar dan yang pertama mewakili pahlawan di daerahnya," kata Jimly.

Nama Malahayati sendiri sudah digunakan sebagai nama jalan dan nama kapal perang TNI AL. "Tapi negara belum mengakuinya. Selain juga kami prioritaskan di daerah dulu yang belum ada pahlawannya, karena selama ini gelar pahlawan bertumpuk di Jawa," ujar Jimly.

Sejarawan Asvi Warman Adam mempertanyakan mengapa Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lafran Pane ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tahun 2017 ini.

Bukan berarti meragukan kepahlawanan Lafran Pane. Namun menurut dia, ada tokoh lain dari Yogyakarta yang lebih dulu diusulkan jadi pahlawan nasional.

"Sudah ada calon dari Yogyakarta yang sudah diajukan lebih lama, Sugondo Djojopuspito," kata Asvi ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/11/2017). Sugondo diusulkan sejak 1978. Namun, usulan itu belum diterima.

Menurut Asvi, Sugondo punya peran besar saat memimpin Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

 

Asvi menilai, Presiden Jokowi ingin merangkul semua kalangan, termasuk HMI. Hal tersebut juga terlihat dari pemilihan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid.

Keterwakilan tiap daerah, menurut dia, juga jadi pertimbangan pemerintah. "Dari NTB diangkat, karena sebelumnya belum ada yang dari sana," kata Asvi.

Sementara, sejarawan Mochammad Iskandar menilai, penetapan gelar pahlawan sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Bahkan, ada berapa kasus, penetapan gelar pahlawan tak melewati "prosedur" formal.

"Misalnya saat Bu Tien Soeharto ditetapkan jadi pahlawan," papar Iskandar.

Ibu Tien Soeharto atau RA Siti Hartinah Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1996, hanya tujuh bulan setelah wafat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Uji Rekam Jejak

Pahlawan Nasional adalah gelar istimewa. Mereka yang menyandang predikat itu tentu saja bukan orang sembarangan.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, ada beberapa kriteria penetapan Pahlawan Nasional. 

"Mereka yang menyandang gelar Pahlawan Nasional tidak hanya yang berjasa di medan perang, tapi juga di bidang lain yang gaung dan manfaatnya dirasakan secara nasional," terang Khofifah dalam keterangan tertulis, Kamis (9/11/2017).

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial Hartono Laras, memaparkan latar belakang keempat pahlawan nasional yang ditetapkan tahun ini.

Ia mengatakan, TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan seorang nasionalis pejuang kemerdekaan.

Dia juga dai, ulama, dan tokoh pendidikan emansipatoris. Zainuddin lahir di Nusa Tenggara Barat, 19 April 1908 dan wafat 21 Oktober 1997.

Ia adalah pendiri organisasi Islam Nahdatul Wathan (NW), yang berarti 'kebangkitan Tanah Air'. Organisasi ini menjadi organisasi Islam terbesar di Lombok, yang memberikan perhatian kepada pendidikan dan agama.

Sementara Laksamana Malahayati adalah tokoh pejuang asal Nanggroe Aceh Darussalam. Malahayati lahir pada 1550 dan wafat pada 1615. Pejuang perempuan ini dimakamkan di Krueng Raya, Aceh Besar.

Malahayati adalah laksamana perempuan pertama, tidak hanya di Nusantara, tapi juga di dunia. Ia membentuk pasukan "Inong Balee", yang terdiri atas janda prajurit Aceh.

Pada 1559, Malahayati memimpin armada laut berperang melawan Belanda dan berhasil menewaskan Cornelis De Houtman. Di Tahun 1606, Malahayati bersama Darmawangsa Tun Pangkat (Sultan Iskandar Muda) berhasil mengalahkan armada laut Portugis.

Laksamana Malahayati telah diabadikan sebagai nama kapal perang jenis perusak kawal, berpeluru kendali kelas Fatahillah milik TNI AL dengan nomor lambung 362.

Dari Kepulauan Riau, muncul nama Sultan Mahmud Riayat Syah. Dia lahir di Sulu Sungai Riau, Agustus 1760 dan wafat pada 12 Januari 1812.

Pada rentang tahun 1782 hingga 1784, Sultan berhasil mengalahkan Belanda yang ingin menanamkan pengaruhnya di Riau dalam Perang Riau I. Kapal Komando Belanda Malaka's Walvaren berhasil diledakkan.

Di tahun 1784, Sultan kembali memimpin perang melawan Belanda yang dipimpin Pieter Jacob van Braam di Tanjung Pinang. Sultan Mahmud menolak ajakan Belanda untuk berdamai.

Ia menerapkan startegi gerilya laut, untuk mengacaukan perdagangan Belanda di Selat Melaka dan Kepulauan Riau. Pada 1811, Sultan Mahmud mengirimkan bantuan kapal perang lengkap guna melawan ekspansi Belanda ke Sumatera Timur, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Dari empat nama Pahlawan Nasional Terbaru, Lafran Pane bisa dibilang paling kontemporer. Ia tokoh asal Yogyakarta. Lafran Pane lahir di Sipirok 12 April 1923 dan wafat di Yogyakarta 24 Januari 1991.

Lafran Pane dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda. Ia memprakarsai pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947. HMI secara konsisten menolak gagasan negara Islam yang digagas oleh Maridjan Kartosoewiryo, pendiri gerakan Darul Islam.

Lafran Pane menjadi salah satu tokoh utama penentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.

Prosedur Rumit

Sejarawan Mochammad Iskandar pernah empat tahun menjadi anggota TP2GP pada periode 2007-2011. Usulan tokoh menjadi pahlawan nasional dilakukan secara berjenjang.

Ia mengatakan, ada beberapa kriteria yang akan dikaji oleh TP2GP. Iskandar menyebut calon Pahlawan Nasional itu harus dikenal masyarakat, melakukan tindakan luar biasa, dan tidak pernah menyerah pada penjajah selama hidupnya. Pengusul juga harus membuat biografi tokoh yang diusulkan.

"Tujuannya untuk membuktikan riwayatnya, pengusul membuat biografi tokoh secara akademik," kata dia.

Iskandar menuturkan, TP2GP biasanya mulai bekerja di bulan Mei, atau selambatnya pada Juni. Rekomendasi pada Dewan Penghargaan masuk menjelang hari Pahlawan 10 November.

Mereka membahas semua calon yang diajukan daerah-daerah. Perdebatan biasanya berkutat seputar beberapa isu. Yang pertama adalah cakupan peran nasional tokoh yang diusulkan.

Pernah, kata Iskandar, suatu daerah mengusulkan nama yang bahkan tidak dikenal sejarawan. Hal lain adalah mengenai tindakan luar biasa yang dilakukan si tokoh.

Saat masih menjadi anggota TP2GP, pernah ada usulan mengangkat nama Sarwo Eddie. Perdebatan pun muncul di internal tim. Iskandar mengatakan Sarwo punya andil penumpasan G30S. Hal itu memang tidak terbantahkan.

Yang jadi persoalan, atas dasar apa Sarwo berperan memberantas PKI?

Anggota TP2GP ada yang beranggapan tindakan Sarwo merupakan arahan Soeharto yang kala itu menjabat Pangkostrad.

Yang terakhir akan diuji adalah bukti data yang diajukan pengusul. Aspek ini akan dikaji serius.

"Pernah ada yang mengajukan Pahlawan Nasional itu terbalik, ternyata dia (yang diusulkan) menyerahkan kerajaannya ke Belanda," kenang Iskandar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.