Sukses

Akhir Kisah Setya Novanto di Kasus E-KTP

Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan, Setya Novanto akhirnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus e-KTP. Bagaimana kisahnya?

Liputan6.com, Jakarta - Raut wajah Nurul Arifin terlihat agak tegang. Irama suaranya sedikit gugup saat menjawab pertanyaan awak media terkait respons Golkar atas penetapan tersangka Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya tidak berani berkomentar banyak, masih kaget, masih kaget," kilah Nurul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.

Perasaan serupa diungkapkan Agung Laksono yang kala itu tengah berada di negeri jiran. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu bahkan mempertanyakan keabsahan berita soal Setya Novanto jadi tersangka.

"Itu berita betul? Saya masih di airport Kuala Lumpur, baru mau pulang ke Jakarta ini. Betul itu? (Jika) memang begitu, itu suatu berita yang mengejutkan buat saya," ucap Agung saat dihubungi Liputan6.com dari Jakarta, Senin (17/7/2017).

Senin malam itu memang menjadi momen tak terlupakan bagi Partai Golkar. Ini menyusul langkah KPK yang telah menetapkan sang bos, Setya Novanto sebagai tersangka atas kasus e-KTP. Keputusan KPK ini diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR, sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.

Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman dari pelanggar pasal tersebut berupa pidana penjara seumur hidup.

Penetapan tersangka ini menjadikan kisah Setya Novanto berakhir dalam kasus e-KTP. Pria kelahiran 62 tahun lalu itu telah berulang kali disebut dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Irman merupakan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, sedangkan Sugiharto adalah Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemendagri

Dalam dakwaan kasus e-KTP, Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar dan Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa di lingkungan Kemendagri, dianggarkan mendapat bagian sebesar Rp 574 miliar dalam megakorupsi tersebut. Jumlah yang sama juga disebutkan telah dialokasikan untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.

Alasan Setya Novanto dan Anas Urbaningrum diberikan jumlah besar karena keduanya dianggap perwakilan dari dua partai besar saat itu, serta dapat mengawal proyek yang akan digulirkan di gedung dewan.

Setya Novanto pun telah mondar-mandir ke KPK beberapa kali. Dia memenuhi panggilan penyidik sebanyak 3 kali. Sementara satu kali dia absen lantaran mengaku kesehatannya menurun.

Dalam pemeriksaan tersebut, dia mengklarifikasi segala hal yang terkait dengan isu yang menerpanya dalam kasus e-KTP. Hal yang sama juga diungkapkan dalam persidangan pada Kamis 6 April 2017. Dia yang dihadirkan sebagai saksi terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto menyangkal telah menerima aliran dana proyek e-KTP senilai Rp 5,9 Triliun tersebut.

"Tidak pernah, Yang Mulia," ucap Setya Novanto.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Nasib di Golkar dan DPR

Usai ditetapkan tersangka, para petinggi Partai Golkar menggelar rapat internal di kediaman Setya Novanto. Mereka yang hadir di antaranya Idrus Marham, Nurdin Halid, Mahyudin, dan Nurul Arifin, Misbakhun dan Priyo Budi Santoso.

Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dalam keterangannya usai pertemuan itu menegaskan tak ada suksesi dalam kepemimpinan. Partai Golkar tak akan menggelar Munaslub untuk mencari pengganti Setya Novanto.

"Saya tegaskan tidak ada Munaslub," ucap Idrus di kediaman Setya Novanto, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017) malam.

Hal itu dikuatkan Nurdin Halid. Ketua DPP Partai Golkar tersebut menegaskan Setya Novanto tetap memimpin partai berlambang beringin hingga adanya keputusan inkrach dari pengadilan.

"Pak Novanto pada sampai saatnya, kita menghargai asas praduga tak bersalah, tetap jadi Ketua Umum (Golkar)," ujar Nurdin Halid.

Sedangkan terkait kedudukannya sebagai Ketua DPR, menurut Nurdin hal itu sudah tertera dalam Undang-Undang MD3. Golkar akan tetap mengikuti mekanisme yang ada.

"DPR juga ada mekanismenya, ada undang-undang juga yang mengatur. Partai Golkar sangat patuh terhadap segala tatanan, norma serta aturan yang berlaku," ucap Nurdin di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/7/2017).

Namun begitu, kursi DPR yang diduduki Setya Novanto nampaknya tak tergoyahkan. Sesuai dengan putusan dalam rapat pimpinan, DPR RI akan tetap dikomandoi oleh Setya Novanto.

"Pimpinan DPR RI tetap seperti sekarang ini," ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (18/7/2017).

Menurut dia, keputusan ini diambil berdasarkan hasil rapim bersama dengan pimpinan DPR lainnya yaitu Fahri Hamzah, Taufik Kurniawan, Agus Hermanto, dan Ketua DPR sendiri Setya Novanto.

"Kami tadi rapim di dalam untuk menyamakan bagaimana kita bisa lihat situasi ini dari sisi perundang-undangan yang ada dan aturan mekanisme yang ada di DPR," ucap Fadli.

Menurut dia, sesuai Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), hal tersebut dapat dilakukan. Jika ada legislator yang terjerat kasus hukum, sampai ada putusan hukum tetap, dia tetap menjadi anggota DPR

"Tetap menjadi anggota DPR sampai proses hukum itu ada keputusan akhir atau inkrach dan persoalan di pimpinan sejauh tidak ada perubahan dari fraksi dan parpol yang mengusung, maka tidak akan ada perubahan juga dalam konfigurasi di pimpinan DPR RI," jelas Fadli.

3 dari 3 halaman

Setelah Setya Novanto, Siapa Lagi?

Bertempat di gedung DPR, Setya Novanto menggelar jumpa pers menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka. Ia berjanji akan menjadi warga negara yang baik dengan mengikuti proses hukum.

"Untuk itu, saya menghargai proses hukum yang ada, sebagai warga negara yang baik, saya akan mengikuti dan taat pada proses hukum dan saya sampai hari ini belum menerima putusan tersebut," ujar pria yang akrab Setnov ini, Selasa 18 Juli 2017.

Novanto secara tegas membantah menerima uang Rp 574 miliar seperti yang disebutkan dalam dakwaan Jaksa KPK. Dia pun mengutip pernyataan mantan anggota Partai Demokrat Nazaruddin yang menyebut, kalau dirinya tidak terlibat korupsi e-KTP.

"Tapi khusus pada tuduhan saya telah menerima Rp 574 miliar, kita sudah lihat dalam sidang Tipikor 3 April 2017, dalam fakta persidangan saudara Nazar keterlibatan saya dalam e-KTP disebutkan tidak ada, dan sudah bantah tidak terbukti menerima uang itu," sambung dia.

Novanto pun berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang menyerang dirinya, terutama dalam kasus proyek e-KTP. "Saya mohon betul-betul, jangan sampai terus dilakukan penzaliman terhadap diri saya," tegas Ketua Umum Partai Golkar itu.

Meski Setya Novanto menyangkal hal itu, KPK mengaku telah memiliki dua bukti kuat untuk menjadikannya sebagai tersangka. Keputusan itu sesuai janji KPK yang akan mengumumkan tersangka baru e-KTP dalam bulan Juli ini.

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, setelah Setya Novanto, KPK akan terus membidik anggota DPR lain yang disebut dalam surat tuntutan terdakwa Irman dan Sugiharto. Jumlah itu, kata dia, cukup banyak yang disebutkan dan akan diproses lebih lanjut.

Kita tunggu saja siapa lagi yang akan ditetapkan dalam kasus e-KTP ini.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.