Sukses

Kontroversi Sepatu Super Nike Atlet Amerika Serikat di Olimpiade Tokyo 2020

Sepatu super produksi Nike yang dipakai Rai Benjamin, atlet lari gawang Amerika Serikat, di Olimpiade Tokyo 2020 disebut "seperti trampolin."

Liputan6.com, Jakarta - Digadang-gadang sebagai salah satu pertandingan abad ini, final lari gawang putra 400 meter di Olimpiade Tokyo 2020 diselimuti kontroversi. Karsten Warholm asal Norwegia memenangkan emas dengan mengalahkan rekor dunianya sendiri, membuat atlet Amerika Serikat (AS) Rai Benjamin harus puas dengan raihan medali perak.

Meski mengambil 0,76 detik dari waktu terbaik sebelumnya, Warholm menandai lawannya dan menggambarkan sepatu Benjamin "mirip trampolin," lapor The Sun, Rabu (4/8/2021). "Saya pikir itu membutuhkan kredibilitas dari olahraga kami. Saya tidak mengerti mengapa Anda harus meletakkan apa pun di bawah sepatu lari," katanya.

Sementara sepatu Puma EvoSpeed Future Faster+ memanfaatkan "teknologi baru dan revolusioner," sepatu lari Nike Benjamin memicu kecurigaan dalam beberapa tahun terakhir. Sepatu Warholm dirancang atas kerja sama dengan tim Formula Satu Mercedes, diperkuat pelat serat karbon di sol untuk memberi kekuatan ekstra, keseimbangan, dan fitur memantulkan.

"Apa yang bisa saya katakan tentang sepatu yang telah saya kembangkan dalam kolaborasi antara Puma dan tim Formula Satu Mercedes adalah kami berusaha membuatnya jadi kredibel,' ujarnya. "Ya, kami memiliki pelat karbon (di sol sepatu), tapi kami mencoba membuatnya setipis mungkin karena itulah yang saya inginkan."

"Teknologi tentu akan selalu ada di sana, tapi saya juga ingin mempertahankannya ke tingkat kita benar-benar dapat membandingkan hasil. Itu penting," imbuhnya.

Di sisi lain, sepatu Maxfly Zoom Air Nike yang dipakai Benjamin melangkah lebih jauh dengan polong udara yang "membuat setiap langkah atlet lebih jauh." Namun, fitur tersebut masih dalam pedoman yang telah diubah dunia atletik beberapa kali di tengah kontroversi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Komentar Benjamin

Tebal sol sepatu atlet cenderung di bawah 15 milimeter (mm) sebelum teknologi muncul. Ini kemudian mengarah ke 30 mm dan batas 25 mm diperkenalkan untuk pertandingan lebih dari 400 meter.

Benjamin mempertahankan penampilannya pada Selasa, 3 Agustus 2021, mengatakan, "Saya akan mengenakan sepatu berbeda dan masih bisa berlari cepat. Sejujurnya itu (sepatu lari) tidak terlalu penting pada akhirnya."

"Maksud saya, jangan salah, memang ada beberapa efisiensi di sepatu dan saya senang berlari di jalur yang bagus, tapi tidak ada seorang pun dalam sejarah yang berlari seperti yang kami lakukan sekarang," imbuhnya

"Saya tidak peduli siapa kalian, bisa jadi Kevin Young, Edwin Moses ... saya menghormati mereka, tapi mereka tidak bisa berlari seperti kami lari di pertandingan tadi," katanya.

Kontroversi "sepatu super" Nike ini telah diperluas ke banyak pertandingan yang mengarah pada pemecahan rekor. Namun, tidak setiap atlet bisa memakai produk produsen AS itu, sementara pesaingnya mungkin lambat dalam berinovasi.

Pelari Usain Bolt melihat fitur "sepatu super" tidak adil bagi mereka yang bertanding di era sebelumnya. Legenda Jamaika itu percaya ia bisa berlari lebih cepat seandainya diberi kemewahan "sepatu super."

Bolt mengatakan pada Guardian, "Saya tidak tahu pasti, tapi pasti jauh lebih cepat. Di bawah 9,5 detik pasti."

3 dari 4 halaman

Hanya Salah Satu Faktor

Terkait kehadiran "sepatu super," Presiden AAF Sebastian Coe, yang memenangkan medali emas 1.500 meter dalam pertandingan Olimpiade berturut-turut, mengaku tidak terlalu khawatir. "Teknologi adalah satu dari banyak faktor saling terkait yang harus bersama-sama mendukung (atlet) berlari dengan cepat," katanya melansir Telegraph.

Satu hal yang pasti, sambungnya, inovasi akan berlanjut. Sementara, Geoff Burns, peneliti olahraga di University of Michigan, mengatakan sebelum Olimpiade Tokyo 2020, teknologi di seluruh produsen kemungkinan akan diselaraskan untuk menetapkan tolok ukur di era baru.

Ia mengatakan pada AFP, "Olahraga masih belum sepenuhnya dikalibrasi untuk memahami apa yang baik dan apa yang hebat. Itu akan memakan lebih banyak waktu dan lebih banyak pertandingan."

"Saya pikir pada akhir tahun depan atau dua tahun dari sekarang, kita akan memiliki perasaan baik tentang apa yang benar-benar disebut kinerja luar biasa di era baru," tandasnya.

4 dari 4 halaman

Infografis Olimpiade Tokyo 2020

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.