Sukses

Budaya Patriarki Jadi Tantangan Terbesar Kesetaraan Gender di Indonesia

Pendekatan terbaik untuk mempromosikan tentang kesetaraan gender adalah berbasis budaya yang inklusif.

Liputan6.com, Jakarta Masih banyak pekerjaan rumah Indonesia untuk membereskan masalah kesetaraan gender. Banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur adanya kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki di Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut salah satunya, yakni perbedaan jumlah pengeluaran per kapita. Bila laki-laki menghabiskan Rp 15,15 juta per tahun, perempuan hanya berada di angka Rp9 juta. Perbedaan tersebut bisa dilatari perbedaan gaji dan remunerasi yang diperoleh perempuan dan laki-laki.

"Padahal, laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi sama harusnya dapat gaji yang sama dan remunerasi yang sama," ujar Wamenkeu dalam Summit on Girls - Getting Equal: Let's Invest in Girls di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Tingkat kepemimpinan perempuan profesional juga baru mencapai 47 persen. Masalah tersebut tak bisa dibiarkan karena akan berdampak negatif terhadap perekonomian negara secara keseluruhan.

Salah satu studi, yakni dari IPEC, menyebut bila bisa mencapai target G20 untuk mendorong tingkat partisipasi perempuan di sektor ketenagakerjaan, Indonesia akan mendapat tambahan tujuh juta tenaga kerja perempuan. "Dengan begitu akan ada tambahan kemakmuran bagi perempuan itu sendiri, kemakmuran untuk anak, dan kemakmuran untuk bangsa," kata Wamenkeu.

Salah satu tantangan utama dalam mengatasi masalah kesetaraan gender di Indonesia berasal dari faktor budaya patriarki yang kuat. Meski tidak selalu buruk, ia mengatakan kondisi tersebut menambah beban perempuan untuk bisa maju dan berkontribusi lebih optimal. Pendidikan karakter berkelanjutan diperlukan agar anak-anak, khususnya anak perempuan, memiliki kepercayaan diri yang kuat dan bersemangat.

"Agar mereka bisa berkembang optimal dan tumbuh jadi perempuan tangguh dan perempuan yang berkontribusi terhadap perekonomian dan membawa dunia lebih baik lagi," tuturnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadi Arus Utama Pemikiran

Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK, Ghafur Dharmaputra menambahkan, masalah kesetaraan gender bukan hanya menjadi urusan perempuan, tetapi juga lelaki. Maka itu, semestinya para lelaki lebih banyak yang berpartisipasi dan mendengarkan pembahasan tentang isu tersebut, khususnya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak.

"Di budaya kita, laki-laki lah yang kawinkan anak perempuannya. Karena itu, perkawinan anak yang direstui olah orangtuanya, itu berarti melanggar UU Perlindungan Anak," ujarnya.

Ke depan, ia berharap isu kesetaraan gender menjadi arus utama dalam pola pikir masyarakat. Dengan demikian, yang menyuarakan masalah kesenjangan tidak hanya datang dari kaum perempuan tetapi juga laki-laki.

"Kami juga mendorong agar lebih banyak perempuan di parlemen untuk suarakan kehendak perempuan, tapi tidak berarti laki-laki tidak bisa menyuarakan keinginan perempuan," katanya.

Wamenkeu menyatakan pemerintah telah berinvestasi besar dalam isu kesetaraan gender, mulai dari sebelum lahir hingga periode lansia. Ada dua aspek terbesar yang difokuskan, yakni pendidikan dan kesehatan.

Pada 2020, anggaran sebesar Rp508,1 triliun dianggarkan untuk sektor pendidikan, mulai dari tahap PAUD hingga beasiswa kuliah ke luar negeri. Pemerintah juga mengalokasikan lima persen dari total APBN sebesar Rp2.500 triliun untuk sektor kesehatan. Anggaran itu menyasar pemenuhan hak anak sejak dari dalam rahim hingga besar nanti.

"Investasi dimulai sejak ibu hamil. Pengentasan program stunting. Ketika anak masih usia dini, ada penyediaan makanan tambahan. Juga penyediaan fasilitas imunisasi bagi 1,8 juta bayi," terangnya.

Sementara itu, Dini Widiastuti, Executive Director Plan Indonesia, mengatakan investasi kepada anak perempuan semestinya tidak hanya uang, tetapi juga waktu untuk mendengarkan kebutuhan mereka. Pasalnya, kebijakan yang pro terhadap kesetaraan gender di tingkat nasional masih belum banyak diakomodasi di tingkat desa.

"Desa harus secara nyata ajak perempuan dan anak-anak muda untuk ikut ambil keputusan. Selama ini, masih didominasi kaum lelaki," katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.