Sukses

Pelesir ke Pulau Penyengat, Menilik Kembali Sejarah Nusantara dari Dekat

Pulau Penyengat menyimpan sejuta pesona, terlebih cerita kejayaan di masa lampau.

Liputan6.com, Pulau Penyengat - Denyut pariwisata Tanjungpinang, Kepulauan Riau kian menggelora. Satu di antaranya terasa dari pulau mungil bernama Pulau Penyengat yang kaya akan budaya dan sejarah peradaban Nusantara di masa lampau.

Lantas, mengapa pulau ini dinamakan demikian? Berabad-abad lalu, Pulau Penyengat dikenal jadi tempat persinggahan para pelaut untuk mengambil air tawar.

Berdasarkan legenda, nama penyengat diberi karena para pelaut yang sedang mengambil air diserang oleh semacam lebah atau yang disebut penyengat hingga memakan korban. Sejak itu, pulau ini dikenal di kalangan pelaut dan nelayan dengan sebutan Pulau Penyengat.

Untuk menuju pulau di muara Sungai Riau tersebut, satu-satunya akses adalah menggunakan kapal pompong yang berjarak sekitar 20 menit dari Tanjungpinang. Biaya yang dikenakan Rp5 ribu untuk warga lokal, dan Rp7 ribu bagi para wisatawan.

Potensi Pulau Penyengat dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pariwisata lewat kelompok sadar wisata atau Pokdarwis. Warga setempat lalu dibina dengan beragam program dan produk wisata yang ditawarkan.

Di Pulau Penyengat khususnya, ada deretan situs bersejarah yang disuguhkan dalam rangkaian wisata yang siap memberi experience tak terlupa untuk wisatawan, seperti tur Masjid Raya Sultan Riau. Menurut catatan Raja Hamzah, seorang sejarawan Pulau Penyengat menulis, sejarah pembangunan masjid pertama terbuat dari kayu.

Pada 1803, Pulau Penyengat dijadikan sebagai hadiah pernikahan seorang sultan untuk permaisurinya yaitu Raja Hamidah, maka dibuatlah istana dan kelengkapannya, salah di antaranya adalah masjid.

"Pada masa Yang Dipertuan Muda VII yaitu Raja Abdurrahman tepat pada 1 Syawal 1832, Raja Abdurrahman mengumumkan mengajak seluruh masyarakat untuk gotong royong membangun masjid," kata Nurfatilla, interpreter masjid di Pulau Penyegat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, baru-baru ini.

Raja Abdurrahman turut ambil bagian dalam pembangunan. Di sisi lain, sempat beredar kabar bahwa masjid dibangun dari putih telur. Tilla melanjutkan, pada masa pembangunan tidak ada perencanaan untuk penggunaan putih telur.

"Konon katanya cerita yang berkembang di masyarakat, masyarakat dari luar dan dalam Penyengat menyumbangkan telur untuk makan para pekerja. Saking banyak, jadi pekerja India yang didatangkan dari Singapura mereka bilang kalau di tempat kami, putih telur bisa dijadikan bahan perekat bangunan jadi berkembang seperti itu," tambahnya.

Selain Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, tur sejarah pulau mungil ini berlanjut ke Gedung Mesiu, satu-satunya gedung mesiu peninggalan Kerajaan Riau Lingga di Pulau Penyengat. Seperti namanya, gedung ini digunakan untuk menyimpan mesiu.

"Di sini tempat penyimpanan (serbuk amunisi) senapan, meria, yang dibuat pada 1832, masa Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman. Gedung bergema dibuat dengan bahan yang sangat tebal," kata Syaiful interpreter Pokdarwis Penyengat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Benteng Bukit Kursi hingga Situs Istana Kantor

Tur siap membawa rombongan ke Benteng Bukit Kursi. Benteng ini dibangun pada 1782 lebih tepatnya saat pemerintahan Sultan Mahmud Riayatsyah Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau IV.

Saat perang antara Kerajaan Riau-Johor melawan Belanda, Benteng Bukit Kursi jadi salah satu benteng pertahanan utama yang menjaga setiap kapal yang akan masuk ke pusat Kerajaan Riau Johor di hulu Sungai Riau.

"Konon cerita dulu setiap orang berperang di sini dianjurkan membaca ayat kursi supaya mental kuat dan bersemangat. Biasanya bangunan benteng tanah ke atas, di sini ke bawah ketinggian 280 meter," jelas Syaiful.

Perjalanan berlanjut ke Kompleks Makam Raja Abdurrahman Yang Dipertuan Muda Riau VII yang memerintah pada 1832 hingga 1844 Kerajaan Riau Lingga. Beliau menggantikan sang ayah, Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau VI.

Kemudian tur menyambangi Situs Istana Kantor yang merupakan bekas kediaman Raja Ali Marhum Kantor atau Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII di Pulau Penyengat. Bangunan ini berfungsi sebagai istanana, kantor tempat Raja Ali menjalankan pemerintahannya.

 
3 dari 3 halaman

Gedung Tabib hingga Rumah Raja Haji Abdullah

Lalu beranjak ke situs bersejarah bernama Gedung Tabib. Bangunan ini merupakan "rumah sakit" yang juga menjadi tempat tinggal Raja Daud Bin Raja Ahmad Bin Raja Fisabilillah.

Bukan tanpa alasan bangunan ini disebut Gedung Tabib. Adalah karena Tabib Raja Daud merupakan seorang tabib melayu yang tersohor pada zaman Kerajaan Riau Lingga.

Sebagai ahli dalam ilmu tabib atau pengobatan melayu, Raja Daud juga seorang penulis. Beliau menulis Kitab Ilmu Tabib Melayu serta menyusun beberapa syair melayu.

Perjalanan ini juga termasuk tur literasi seperti berziarah ke Makam Pahlawan Nasional, Raja Ali Haji. Beliau lahir pada 1808 di Selangor, Malaysia dan wafat pada 1873 di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Beliau juga termasyur akan karya sastra Gurindam Dua Belas dengan 12 pasal yang masing-masing berisikan petuah-petuah tentang kehidupan hingga berbakti kepada orangtua.

Beranjak ke Tapak Rusydiah Club dan Percetakan yang jadi tempat berkumpul cendekiawan sekitar 1890 bernama Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat. Pada tapak ini pernah berdiri Gedung Rusydiah Club dan Kantor Percetakan milik Kerajaan Riau Lingga yang mencetak sejumlah karya penulis Riau Lingga dari akhir abad 19 hingga dekaade pertama abad 20.

Berlanjut ke Tapak Istana Kedaton, yang awal mulanya sebagai istana Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi periode 1858 hingga 1899. Setelah beliau tiada, istana diwariskan pada anaknya, Sultan Abdulrahman Muazamsyah, sultan terakhir Kerajaan Riau-Lingga pada 1885 hingga 1911.

Lalu diakhiri ke Rumah Raja Haji Abdullah yang merupakan bangunan bekas Raja Haji Abdullah yang juga dikenal dengan Abu Muhammad Adnan atau Engku Haji Lah. Beliau adalah salah seorang cucu pujangga besar Raja Ali Haji.

Raja Haji Abdullah pernah menjadu hakim pada Mahkamah Besar Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Setelah Kerajaan Riau dihapuskan Pemerintahan Kolonial Belanda oada 1913, Raja Haji Abdullah diangkat menjadi Hakim Syariah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.