Sukses

Cerita Akhir Pekan: Balada Kehidupan Warga di Kawasan Wisata Konservasi

Banyaknya kunjungan wisatawan tentu ada pengaruh bagi masyarakat sekitar. Lalu, bagaimana kehidupan mereka yang tinggal di sekitar kawasan wisata konservasi?

Liputan6.com, Jakarta - Wisata konservasi sudah jadi bagian dari cangkupan besar pariwisata dalam negeri. Wisata ini adalah untuk melindungi yang sudah lama tampak atau sebagai bentuk antisipasi tempat-tempat yang tengah memperkenalkan diri.

Kawasan konservasi khususnya taman nasional memiliki begitu banyak potensi wisata yang harus dan perlu dikembangkan demi mendatangkan wisatawan yang kehadirannya dapat mensejahterakan kawasan konservasi itu sendiri maupun masyarakat yang berada di sekitar kawasan konservasi.

Kunjungan wisatawan dan berkembangnya kawasan wisata tentu ada pengaruh bagi masyarakat sekitar. Lalu, bagaimana kehidupan mereka yang tinggal di sekitar kawasan wisata konservasi, terutama di kawasan Indonesia Bagian Timur?

Sebagai sebuah kabupaten di Provinsi Papua Barat, Tambrauw memiliki potensi pariwisata yang sangat besar. Zona pariwisata ini dibagi menjadi dua, Blue Wonder dan Green Wonder.

Blue Wonder merupakan potensi pariwisata yang berada di sekitar pesisir pantai meliputi peninggalan tank perang dunia ke II, habitat burung cendrawasih, pulau dua, serta pantai Jeen Womom yang menjadi habitat terbesar penyu belimbing.

Sementara itu, Green Wonder merupakan potensi pariwisata di sekitar pegunungan yang meliputi Bukit Sontiri dengan fenomena ribuan jaring laba-laba di pagi hari, mata air panas War Aremi, pemandangan matahari terbit di distrik Miyah, panorama air terjun Anenderat, serta pengamatan Cendrawasih dan satwa lainnya.

Dengan kekayaan flora dan fauna tersebut, Tambrauw kini dijadikan sebagai kabupaten konservasi. Istilah kabupaten konservasi sendiri mulai didengungkan oleh Gabriel Asem, saat terpilih menjadi Bupati Tambrauw pada 2011.

Menurut David Sambhazy dari Dinas Pariwisata Tambrauw, masyarakat termasuk antusias dan mendukung kehadiran kawasan wisata konservasi di daerah mereka. Sebagian dari mereka juga ada yang bekerja di dalam kawasan wisata. Sayangnya, masih belum ada berbagai fasilitas pendukung yang sebenarnya sangat penting.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kurang Aliran Listrik

Alam yang cantik ternyata kurang diimbangi dengan ketersediaan listrik yang masih terbatas. "Jadi ada beberapa daerah di Tambrauw yang sudah mulai punya listrik, walau cuma malam saja menggunakan genset. Tapi sebagian wilayah justru belum mendapat aliran listrik," ungkap David, saat dihubungi Liputan6.com, 11 Oktober 2019.

Wilayah-wilayah tersebut adalah Keibar, Sausapor, Amberbaken, dan Fef. Di luar wilayah itu, Tambrauw masih gelap gulita di malam hari.

Menurut David, listrik menyala 12 jam dari pukul 18.00-06.00 WIT. Kalau di Sausapor siang ada PLTA, malam ada PLTD. Selain itu, sinyal internet masih kurang bagus dan baru ada di beberapa daerah saja.

"Kalau sinyal internet sudah masuk ke Sausapor, kalau di Fef baru pemasangan kabel optik," ujar Abraham. Untuk itu, pihaknya terus mengupayakan menambahkan beragam fasilitas dengan pihak-pihak terkait. Bukan hanya untuk kepentingan wisatawan, tapi juga untuk penduduk sekitar.

"Kita tentu berharap kemajuan kawasan wisata termasuk wisata konservasi, juga bisa mengangkat kehidupan masyarakat sekitar. Salah satunya lewat aliran listrik, yang mudah-mudahan bisa segera bertambah dalam waktu tidak lama lagi," tutur David.

Persoalan yang hampir sama juga dialami oleh masyarakat di kawasan wisata konservasi Arfak yang juga berada di Provinsi Papua Barat. Salah satu kawasan wisata konservasi di daerah ini adalah Pengunungan Arfak (Pegaf).

3 dari 3 halaman

Pemberdayaan Masyarakat Arfak

Menurut Yonas Savor dari Dinas Pariwisata Manokrawi Selatan pada Liputan6.com, 12 Oktober 2019, persoalan terbesar mereka adalah keterbatasan listrik dan akses jalan yang masih kurang. Selain itu, masih belum banyak tempat penginapan termasuk homestay.

"Tentunya kita tidak mau masyarakat di sini merasa tersisih. Kita tidak mau mereka jadi penonton di negeri sendiri maka kita utamakan pemberdayaan masyarakat sendiri," ucap Yonas.

Menurut Yonas, masyarakat suku Arfak sangat mendukung pengelolaan dan perkembangan kawasan wisata konservasi di daerah mereka. Mereka sangat ramah dan sopan saat menyapa para wisatawan yang datang baik dari dalam maupun luar negeri.

Pihak pemerintah berharap, hortikultura yang menjadi sumber penghidupan masyarakat juga bisa terdorong dengan adanya kawasan wisata. Selain tentunya, penyediaan penginapan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Ide itu sudah dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), agar ada lebih banyak homestay di sekitaran kawasa wisata Pegaf.

Meski begitu, pemerintah setempat mengakui kalau harapan untuk mengembangkan pariwisata di kawasan Pegaf itu bukan pekerjaan mudah. Alasan utamanya, kondisi yang dihadapi kini masih menjadi tantangan yang perlu menjadi perhatian mendesak. Hal itu diyakini juga jadi masalah utama di beberapa daerah kawasan wisata konservasi di Indonesia, terutama di bagian timur.

Di sisi lain, Yonas mengatakan kalau pemerintah setempat tetap optimis dengan kemajuan kawasan Pegaf dan masyarakat sekitarnya.

"Bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur seperti listrik dan transportasi termasuk prioritas utama pemerintah setempat. Kalau hal itu terwujud, tentu pariwisata setempat juga akan semakin maju dan membuat masyarakat sekitarnya semakin sejahtera," ujar Yonas menutup pembicaraan tentang balada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wisata konservasi di Pegaf.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.