Sukses

Merawat Rumah Cendrawasih Lewat Trip Mengamati Sang Burung Surga

Keindahan burung surga ini dapat diamati di Isyo Hill Jayapura yang menjadi habitat 30 spesies cendrawasih dan burung lainnya.

Liputan6.com, Jakarta - Papua, pulau paling Timur di Indonesia ini menyimpan banyak kekayaan yang dapat digali. Tidak hanya bahan tambang, tapi kekayaan budaya hingga kekhasan alamnya juga tiada tandingan. Bayangkan saja, Anda dengan leluasa di hutan bisa melihat burung Cendrawasih menari dengan indah di langit.

Burung Cendrawasih memang sudah melekat dengan Papua. Itu karena Papua menjadi rumah bagi 30 spesies burung yang disebut burung surga ini dari total 42 spesies yang ada. Sisanya tersebar di Halmahera dan Australia. Ditambah lagi dengan dua spesies yang endemik, yakni Cendrawasih Merah dan Cendrawasih Botak.

Seolah memiliki sihir, pesona keindahan burung dengan nama ilmiah Paradisaeidae ini tak terelakkan. Rasa takjub atas burung ini dulu sempat membuat bangsawan dari Eropa menjadikan bulunya sebagai hiasan topi atau mahkota. Tak heran, hingga kini orang masih penasaran dan ingin melihat Cendrawasih.

Namun, seiring dengan perkembangan infrastruktur, habitat Cendrawasih yang berada di hutan mulai terkikis. Hal ini membuat pengamatan hanya dapat dilakukan di area tertentu. Salah satunya adalah Isyo Hill's Bird Watching di Kampung Rephang Muaif, Jayapura.

Didirikan oleh Alex Waisimon, penduduk asli Papua sejak 2015. Tempat ini kini banyak dikunjungi oleh wisatawan yang ingin melihat berbagai spesies burung. Tempat ini berdiri karena hati Alex yang tergerak melihat banyaknya penebangan hutan ilegal yang dapat merusak kelestarian alam.

"Merasa terpanggil untuk pulang kampung, bangun kampung dengan sistem the new hunting. Bikin ecotourism untuk mereka lihat cendrawasih yang terkenal itu, dan pohon-pohon yang berusia 500 tahun tanpa menebang dan memburunya," ujar Alex pada perbincangan Mari Cerita (MaCe) Papua di Kuningan City, Jakarta Selatan, Rabu, 11 September 2019.

Kedekatannya dengan alam membuat Alex tidak tahan saat melihat ada hewan yang dikurung di kandang. Alex juga miris melihat adanya kerusakan hutan yang semakin parah. Hal ini itu memotivasinya untuk semakin semangat mendirikan ekowisata.

"Burung harus mempunyai sebuah rumah. Rumah itu adalah hutan dan alam. Kalau rusak, maka binatang tersebut tidak punya tempat untuk berteduh, berdiam, mencari makan," lanjut Alex pada Liputan6.com.

Usaha penyelamatan ini tidak sia-sia. Buktinya, lebih dari 750 spesies burung dan fauna lainnya seperti reptil, kupu-kupu dan mamalia kini memiliki habitat yang aman untuk ditinggali. Jika Anda berkunjung ke sini, hanya dalam waktu 10 menit saja, Anda sudah bisa melihat delapan jenis burung. Tempat ini menjadi surga bagi para pengamat dan fotografer alam, terutama burung.

Untuk meningkatkan daya tarik ekowisata Isyo Hill ini, Alex memberdayakan masyarakat lokal untuk membantu wisatawan yang hadir. Pemandu yang disediakan akan membawa pengunjung dan menjelaskan burung-burung yang mereka lihat. Selain itu, Alex juga menyediakan fasilitas seperti tempat penginapan, makan dan minum.

Harga yang ditawarkan jika Anda berminat bermalam di rumah burung surga ini adalah Rp1,3 juta, sudah termasuk tempat penginapan, pemandu dan makanan. Jika hanya ingin berkunjung setengah hari, biaya tiket masuk adalah Rp200 ribu bagi wisatawan domestik dan Rp300 ribu untuk wisatawan mancanegara.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Persiapan yang Harus Dilakukan

Burung Cendrawasih adalah burung yang muncul saat pagi hari. Karenanya, Anda sudah harus berangkat ke hutan sejak pukul 04.00. Hal ini bertujuan agar Anda tidak kehilangan momen dan bisa melihat keberagaman burung lebih banyak.

Ady Kristanto, Senior Biodiversity Officer Flora Fauna Indonesia sekaligus fotografer Indonesia Wild Life Photography juga mengatakan bahwa pengamatan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Baik pengamat maupun fotografer harus membekali dirinya dengan berbagai persiapan.

"Kalau foto ya siapkan lensa tele untuk foto jarak jauh ya. Terus kita juga tidak bisa foto secara langsung dan dekat, yang ada kabur. Jadi, biasanya kita nutupin diri pakai daun," tutur Ady dalam kesempatan yang sama.

Ady juga menambahkan bahwa semua fotografer alam harus mengetahui habitat dan perilaku objek yang akan difoto terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk memudahkan fotografer mendapatkan momen yang pas.

Salah satu kebiasaan burung Cendrawasih adalah terbang dan menari sekitar pukul 06.00. 'Tarian' ini dilakukan burung jantan untuk memikat burung betina, terlebih saat musim kawin. Musim kawin mereka biasanya terjadi pada awal musim hujan. Tempat tinggal setiap jenis burung ini juga berbeda-beda.

"Ada mainnya di bawah, di pucuk pohon dengan tanpa ada sama sekali rerimbunan pohon, kalau Cendrawasih merah, dia butuh rerimbunan pohon. Perbedaannya karena perilaku, pola bikin sarang kemudian makannya," lanjut Ady.

Persiapan lainnya yang harus disiapkan adalah perlengkapan pribadi untuk menunjang kehidupan di sana. Namun, salah satu hal yang wajib dibawa adalah lotion anti-nyamuk.  "Kalau masuk hutan banyak nyamuk ya. Jadi di bawa saja itu," ucap Alex.

Selain memerhatikan perbekalan pribadi, pengunjung juga harus menaati sejumlah aturan di Isyo Hill. Salah satunya adalah tidak boleh berisik, agar burung tidak kabur karena merasa ada gangguan. Selain itu, untuk mencegah sampah, Alex mengatakan bahwa pengunjung dilarang membawa botol plastik sekali pakai dan tidak boleh membuang tisu dan sampah lainnya di hutan. (Novi Thedora)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.