Sukses

Perkembangan Terapi COVID-19 di Indonesia

Untuk pengobatan, kata Erlina, dokter berpatokan pada dua buku. Pertama adalah Informatorium Obat COVID-19. Kemudian juga "Protokol Tatalaksana COVID-19" yang diterbitkan lima organisasi profesi yaitu PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI, dan Perdatin.

Liputan6.com, Jakarta Demi mengantisipasi penularan COVID-19, berbagai upaya terus dilakukan, termasuk penelitian obat dan vaksin guna menekan jumlah positif dan meninggal dunia. Namun sebenarnya bagaimana terapi yang diperuntukkan untuk pasien COVID-19?

Dokter spesialis Paru, dr. Erlina Burhan mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 ini fakta, lebih dari 51 ribu orang Indonesia dilaporkan terjangkit dan berbahaya, karena lebih dari 2.600 orang Indonesia yang meninggal.

"Dan yang kurang menyenangkan adalah bahwa obat spesifik untuk COVID ini belum ada. Demikian juga vaksinnya belum ada. Dan semua barangkali tahu bahwa COVID-19 ini sangat menular sehingga dibutuhkan kedisiplinan semua pihak untuk menjalani protokol pencegahan," katanya dalam acara Diskusi Publik Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid19 yang ditengahi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ditulis Kamis 2 Juli 2020.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta ini juga menjelaskan, bahwa pada kasus COVID-19 setiap orang bisa memiliki gejala yang kadang-kadang tidak khas atau bisa terjadi tanpa gejala.

"Semua sudah tahu, karena ini virus gejalanya demam, nyeri kepala, nyeri otot, gangguan penciuman, pengecapan, nyeri tenggorokan, batuk, dan sesak yang terjadi tiba-tiba. Demikian juga kalau mengenai virusnya mengenai dinding di saluran cerna akan timbul gejala mual, muntah, nyeri perut atau diare," terangnya.

Tak hanya itu, gejala COVID-19 pada organ lain juga bisa muncul seperti gangguan pada otak berupa stroke, kejang, inflamasi pada otak. Pada mata terjadi konjungtivitis, ada gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal dan neurologis.

Lalu, lanjut dia, derajat keparahan penyakit ini bervariasi 80 persen ringan, tapi 20 persen perlu perawatan di rumah sakit. "Dan yang mengkhawatirkan adalah lima persen yang butuh alat bantu napas, dan kemudian dua sampai tiga persen diantaranya meninggal dunia."

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadi seperti apa terapi COVID-19 yang dilakukan saat ini?

"Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di rumah sakit adalah foto toraks, bilamana kita tidak jelas melihat pneumonia pada pneumotoraks, kita bisa melakukan CT scan," jelasnya.

Tapi jangan lupa melakukan tes darah perifer lengkap karena dokter bisa menskrining pasien. "Di sini kita menemukan kelainan-kelainan tertentu. Dan yang paling penting sebagai goal standar adalah pemeriksaan PCR, bukan Rapid Test," kata dokter yang mendapatkan gelar spesialis di Universitas Indonesia pada 2004 lalu ini.

Untuk pengobatan, kata Erlina, dokter berpatokan pada dua buku. Pertama adalah Informatorium Obat COVID-19 yang diterbitkan BPOM. Kemudian juga "Protokol Tatalaksana COVID-19" yang diterbitkan lima organisasi profesi yaitu PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI, dan Perdatin.

Bagaimana dengan pasien yang belum terkonfirmasi?

"Kalau pasiennya masuk sebagai PDP atau suspect, lalu belum keluar nilai hasil swab. Kalau memang pasiennya (mengalami gejala) sedang dan berat, ini akan kita tatalaksana sesuai COVID sampai terbukti bukan COVID," ungkapnya.

Perkembangan Terapi COVID-19

"Karena kita belum ada obat yang spesifik, maka pemberian obat-obatnya adalah berdasarkan empiris, pengalaman dari negara-negara lain dan juga expert. Jadi saat emergensi, kita ada beberapa pilihan, yaitu azitromisin, pemberian klorokuin yang fosfat maupun hidroksiklorokuin," katanya.

Beberapa opsi untuk terapi :

- Azitromisin

- Klorokuin fosfat / Hidroksiklorokuin

- Antivirus: Oseltamivir, Favipiravir, Kombinasi lopinavir + ritonavir, Remdesivir

Beberapa pilihan terapi lain (HostModifiers/Immune-Based Therapy):

- Stem cell therapy

- Plasma convalescent therapy

- Inhibitor IL-6 (Tocilizumab,Sarilumab, Siltuximab)

- Inhibitor IL-1 (Anakinra)

- Interferon

- Human immunoglobulin

- Imunomodulator lainnya

- Steroid

"Kita tawarkan sesuai dengan ketersediaan yang ada, yaitu Oseltamivir, Favipiravir atau avigan, kemudian aluvia yaitu kombinasi lopinavir dan ritonavir, demikian juga yang baru masuk yaitu Remdesivir," jelas Erlina.

Namun demikian pada kondisi tertentu--ketika pasien yang tidak merespons obat-obatan standar ini maka saat ini ada beberapa pilihan.

"Meskipun masih uji klinik, kita coba dengan stem cell therapy, plasma convalescent therapy, Inhibitor interleukin-6. Kemudian juga pemberian Human immunoglobulin dan imunomodulator, dan terakhir adalah steroid. Nah, khusus untuk immunomodulator ini banyak sekali sekarang obat-obat memang yang ditawarkan, ya," katanya.

"Kalau di rumah sakit kita masih menggunakan vitamin C saja atau multivitamin. Tapi di luaran sekarang ditawarkan berbagai macam herbal atau jamu. Tapi tentu saja saya kira perlu uji klinis, ya," katanya lagi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.