Sukses

HEADLINE: Belum Teruji Klinis Obati Kanker, Bagaimana Lindungi Bajakah dari Eksploitasi?

Bak idola baru, bajakah kini jadi buah bibir dan ramai dicari warga setelah viral diberitakan berpotensi jadi obat kanker.

Liputan6.com, Jakarta - Bak idola baru, bajakah kini jadi buah bibir dan ramai dicari warga setelah viral diberitakan berpotensi jadi obat kanker.

Berdasarkan temuan tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya dalam ajang lomba ilmiah internasional World Invention Creativity Olympic (WICO) 2019 di Korea Selatan, bajakah digadang-gadang dapat mengobati kanker. Studi awal mengenai potensi bajakah dalam mengobati kanker payudara itu diganjar hadiah utama, medali emas.

Tak hanya berhenti pada apresiasi dan ungkapan rasa bangga terhadap keberhasilan tiga pelajar asal Kalimantan itu saja, banyak warga yang kemudian mencari tahu lebih lanjut mengenai bajakah. Mereka ingin pula merasakan langsung khasiatnya.

Tak lama berselang, akar itu pun ramai diperjualbelikan di toko-toko herbal di Palangkaraya maupun secara daring. Peredarannya meningkat tajam. Harganya melonjak, per kilo atau per batangnya dibanderol ratusan ribu rupiah.

Bajakah yang kabarnya didapat dari pedalaman hutan Kalimantan mulai diburu. Perdagangannya yang diduga semakin tinggi dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi lingkungan. 

 

Resep Obat Keluarga

Adalah Yazid Rafi Akbar, salah seorang dari tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya yang ikut serta dalam ajang WICO 2019, yang mencuatkan gagasan studi terhadap bajakah.

Bagi keluarga Yazid, bajakah merupakan bahan ramuan herbal yang tak asing. Mereka telah merasakan khasiatnya sejak 40 tahun lalu. Menurut ayah Yazid, Daldin, anggota keluarga mereka ada yang terbebas dari kanker setelah meminum ramuan itu.

"40 tahun lalu, salah satu keluarga besar kami ada yang divonis kanker. Dari situlah awal mula ditemukan ramuan ini," kata Daldin pada Liputan6.com, Sabtu (17/8/2019).

Yazid kemudian meminta izin Daldin untuk meneliti kandungan herbal tersebut. Dia telah memendam penasaran sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu Daldin belum memberi izin karena menganggap sang putra belum cukup dewasa. Daldin sadar, bajakah akan dicari orang setelah mereka tahu manfaatnya.

Prediksi Daldin terbukti, kini bajakah dikenal luas. Banyak orang ingin merasakan khasiatnya atau menangguk untung dari menjualnya. Demi mencegah eksploitasi terhadap bajakah, Daldin dan Yazid menutup rapat informasi mengenai penemuannya itu.

Menurut Yazid, temuannya akan manfaat bajakah, baru sebatas karya ilmiah berdasarkan pengalaman empiris, perlu penelitian lebih lanjut.

"Jadi, nenek saya kena kanker payudara, dicoba menggunakan obat bajakah akhirnya sembuh dan sehat sampai sekarang," ucap dia.

Hasil uji laboratorium menunjukkan, bajakah memang mengandung antioksidan. Namun, Yazid berpesan agar berhati-hati menggunakan bajakah karena banyak jenisnya. Menurutnya, ada lebih dari 100 jenis bajakah di Indonesia. Tak semuanya berpotensi mengobati kanker.

"Kita tahu kayu bajakah banyak jenis. Berhati-hati pengunaan. Gak semua jenis kayu bajakah bisa buat (mengobati) kanker," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bajakah, Obat Tradisional Dayak Sejak Dahulu Kala

Bajakah, dalam bahasa Dayak berarti akar-akaran. Hal itu diterangkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) RI Siswanto. "Bajakah dalam bahasa Dayak artinya akar-akaran. Jadi bajakah bukan nama spesies tanaman. Bajakah atau akar-akaran secara indigenous dipakai untuk berbagai keperluan, termasuk pengobatan secara tradisional," ujarnya ketika dihubungi Health-Liputan6.com.

Informasi mengenai bajakah juga didapat dari warga setempat. Markus, warga Tamiang Layang (43) mengatakan, tanaman bajakah tumbuh di beberapa wilayah hutan gambut atau rawa, yang banyak dijumpai di Kabupaten Barito Timur, Kalteng. Menurutnya akar tersebut terdiri dari beragam jenis.

"Ada beraneka jenis bajakah atau wakai, di antaranya simawuket, kararaya, katatau tampirik, tuba dan kalawit. Semuanya ada di wilayah hutan di Barito Timur. Yang saat ini viral jenis kalawit," kata Markus dikutip Antara.

Ada dua jenis akar bajakah, akar yang menancap ke dalam tanah seperti pasak bumi, sintuk madu, saluang belum laki dan perempuan, dan penawar seribu, serta ada pula akar yang menjalar di permukaan tanah, merambat atau naik ke atas pepohonan, seperti kalawit.

Akar kalawit memiliki sifat menjalar dan merambat ke atas pepohonan seperti layaknya tali tambang bergelantungan. Aneka akar-akaran sudah menjadi obat khas suku Dayak dari zaman nenek moyang.

"Air akar tersebut sudah menjadi konsumsi kami ketika berburu di pegunungan di hutan. Karena susah menemukan air maka kami minum air akar tersebut dengan memotongnya," katanya.

Markus mengingatkan, harus berhati-hati saat mengambil bajakah atau wakai. Tidak boleh langsung ditebang dan diminum karena jika ternyata itu adalah wakai tuba maka mengonsumsi airnya akan membuat sakit bahkan meninggal dunia.

Wakai tuba lebih digunakan untuk menangkap ikan, karena menimbulkan efek pening pada ikan, hingga kemudian hilang kesadaran, lalu muncul ke permukaan.

3 dari 4 halaman

Proses Panjang untuk Resmi Menjadi Obat Kanker

Perlu proses dan penelitian panjang untuk bajakah bisa menyandang sebutan obat kanker. Kepala Balitbang Kemenkes Siswanto mengatakan bahwa penelitian bajakah sebagai obat kanker yang dilakukan para pelajar SMAN 2 Palangkaraya masih sangat awal.

"Langkah pengembangan berikutnya masih panjang dan harus urut," kata Siswanto.

Menurutnya, langkah pertama untuk mengetahui apakah bajakah mampu menghambat sel kanker, yakni dengan mencari bahan kimia aktif yang berperan dalam proses tersebut. Kemudian, zat aktif tersebut haruslah diisolasi kemudian dilakukan uji in-vitro terhadap sel kanker.

Tahap berikutnya adalah menguji bahan aktif penghambat kanker itu dalam percobaan pada hewan yang diberi sel kanker. Jika berhasil, barulah peneliti boleh melakukan uji klinis pada manusia.

"Untuk uji pada manusia, harus gandeng industri farmasi, supaya bahan uji diproduksi secara CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Baru lakukan uji fase satu, uji farmakokinetik dan farmakodinamik," Siswanto menambahkan.

Setelah uji klinis pada manusia pun penelitian belum selesai. Jika sudah terbukti terdistribusi menuju jaringan dan mampu menghambat kanker, uji klinis memasuki tahap kedua. Gunanya adalah untuk pembuktian efikasi pada sampel pasien kanker dengan jumlah terbatas.

"Setelah uji fase dua terbukti, baru masuk uji fase tiga untuk melihat efektivitas pada jumlah pasien yang lebih banyak. Kalau fase tiga sudah lolos, barulah bisa diproduksi secara ekonomi untuk dimintakan izin edar BPOM," Siswanto menjelaskan.

Lebih lanjut, Siswanto mengakui bahwa bajakah memang dipakai untuk berbagai keperluan, termasuk pengobatan tradisional.

Direktur Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Ina Rosalina turut urun komentar. Ina berpendapat studi awal mengenai potensi bajakah ini pun patut diapresiasi. Studi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi besar di bidang hayati.

"Salah satu bentuk kekayaan itu antara lain tanaman berkhasiat obat," ujar Ina pada Health-Liputan6.com.

Ina mengatakan, banyak informasi mengenai khasiat obat yang bersumber dari masyarakat maupun pendidikan dan penelitian.

"Tugas kita sebagai anak bangsa adalah menggali potensi tersebut, tentunya melalui kaidah ilmiah yang berlaku," kata Ina menegaskan.

 

4 dari 4 halaman

Berpotensi Dieksploitasi

Temuan akan khasiat bajakah yang berpotensi mengobati kanker menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa pihak, terutama pemerintah daerah serta organisasi lingkungan hidup. Dikhawatirkan informasi mengenai khasiat bajakah akan memicu eksploitasi terhadap tumbuhan tersebut serta hutan Kalimantan demi tujuan komersil.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan khawatir, tingginya perdagangan bajakah membuat eksploitasi akar tersebut bertambah besar. Hal itu tentu saja berdampak buruk terhadap lingkungan. Hal itu diungkap oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.

"Sesuatu yang diambil secara besar-besaran tentu akan berdampak terhadap lingkungan, karena keberadaannya tidak lestari lagi," katanya, dikutip Jawa Pos.

Dikhawatirkan eksploitasi akar juga akan merambah hingga pegunungan seperti Pegunungan Meratus. Sebab, di lokasi tersebut juga terdapat jenis tanaman liar seperti matoa, jualing, bilaran tapah, racun ayam dan mundar yang berpotensi sebagai bahan bahan baku farmakope herbal.

"Tanaman-tanaman itu memiliki senyawa antioksidan untuk pengobatan kanker, jantung, dan sebagainya," ucap Kisworo.

Ia berharap, seluruh pihak terkait bisa mengantisipasi kondisi itu. Menurutnya harus ada aturan mengenai pengambilan akar obat sehingga tak sembarang orang bisa mengambilnya di hutan.

Selain itu Kisworo juga memberi masukan berupa budidaya agar tanaman herbal di hutan tetap lestari. Dia mencontohkan angrek hutan yang kini tak lagi diambil secara liar karena telah berhasil dibudidayakan.

Sementara ini, untuk menjaga kelestarian dan ekosistem bajakah, pemerintah provinsi setempat melarang pengiriman tumbuhan tersebut ke luar daerah. Langkah ini diambil agar bajakah juga tak dieksploitasi serampangan.

"Jangan sampai akar bajakah ini dieksploitasi begitu besar sehingga berdampak pada habitat," kata Sekda Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri. (ein)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.