Sukses

Pindah dari Desa ke Kota, Awas Berat Badan Naik

Faktor lingkungan menjadi salah satu penyebab mengapa seseorang mengalami obesitas atau setidaknya, kenaikan berat badan dengan cepat

Liputan6.com, Jakarta Faktor lingkungan menjadi salah satu hal yang harus diwaspadai dalam mencegah kenaikan berat badan dan obesitas. Sulit disangkal bahwa mereka yang tinggal di kota lebih rentan untuk terkena masalah terkait dengan masalah ini.

Dalam penelitiannya, dr. Dicky Levenus Tahapary, ahli endokrinologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa orang yang pindah dari desa ke kota memiliki lingkar perut dan berat badan yang terus bertambah.

"Kami meneliti orang-orang yang pindah dari pedesaan ke Jakarta dan membandingkannya dengan orang yang tetap tinggal di daerah pedesaan," kata Dicky di Salemba, Jakarta, ditulis Kamis (11/4/2019).

Mereka menemukan, setiap satu tahun menetap di Jakarta, lingkar perut seseorang bisa bertambah setengah sentimeter. Tidak hanya itu, indeks massa tubuh masyarakat juga bertambah sebanyak 0,15.

"Artinya faktor lingkungan berperan penting. Gaya hidup berubah, lingkungannya berubah, ada stres dan segala macam," kata Dicky menambahkan.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hidup untuk Makan

Salah satu faktor yang menyebabkan orang lebih rentan terkena obesitas atau penyakit terkait lainnya adalah perubahan kehidupan, serta tidak lepas dari perkembangan teknologi seperti pemesanan makanan secara daring.

"Kalau dulu kita harus sekarang harus makan untuk hidup, sekarang kita hidup untuk makan," tambah Dicky.

Menurutnya, ini sangat berpengaruh dalam pola makan masyarakat.Apabila dahulu masih membutuhkan usaha untuk mencari bahan makanan atau paling tidak datang ke tempat makan, dengan penggunaan ponsel makanan bisa datang dengan sendirinya.

Kondisi inilah yang dirasa menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara energi yang dikeluarkan dengan energi yang dimasukkan dalam tubuh.

 

3 dari 3 halaman

Keseimbangan Energi Masuk dan Keluar

Dicky mengambil salah satu contoh penelitian di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sana banyak mengonsumsi nasi tetapi tidak ada yang terkena diabetes. Hal ini karena mereka bekerja secara aktif di perkebunan dengan durasi 8 jam per hari.

"Kalau kita di sini terpakai 4 jam, itupun hanya kena macet," kata Dicky.

Maka dari itu, Dicky menegaskan bahwa dibutuhkan keseimbangan antara energi yang masuk dan keluar. Apabila seseorang banyak makan, maka dia juga harus mengeluarkan energinya dengan lebih banyak.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.