Sukses

Dubes Lyudmila: Tak Satu pun Negara Muslim Dukung Sanksi terhadap Rusia Terkait Operasi Militer di Ukraina

... Konsep baru kami dalam Concept of Foreign Policy (2023) menyatakan bahwa interaksi bersahabat dengan peradaban Islam adalah salah satu prioritas utama kami," ujar Dubes Rusia untuk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Konflik Rusia dan Ukraina belum usai, bahkan dilaporkan masuk ke babak baru setelah adanya serangan drone di Moskow dan serangan terbaru di negara pimpinan Volodymyr Zelensky.

Sementara itu, sanksi demi sanksi telah dijatuhkan oleh negara Barat merespons tindakan Rusia yang tak kunjung mengakhiri upaya perang tersebut.

Di sisi lain, "tidak ada satu pun negara Muslim yang bergabung atau mendukung sanksi terhadap Rusia," kata Duta Besar (Dubes) Federasi Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam keterangan pers yang dikutip Rabu (17/5/2023).

Dubes Lyudmila Vorobieva mengatakan negara Muslim berarti bagi negaranya. "Negara-negara Muslim sangat penting bagi Rusia," imbuhnya.

"Tidak ada satu pun negara Muslim yang bergabung atau mendukung sanksi terhadap Rusia atau mendukung konsep isolasi Rusia setelah dimulainya operasi militer khusus di Ukraina. Solidaritas seperti itu antara Rusia dan negara-negara Muslim didasarkan pada konvergensi nilai-nilai tradisional dan saling pengertian," papar Lyudmila Vorobieva.

"Kami punya potensi besar untuk kerjasama lebih lanjut," tambahnya lagi.

Dalam keterangan tertulis dari Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia, diperkirakan ada 20-30 juta Muslim yang tinggal di Rusia.

"Tahun lalu kami merayakan 100 tahun sejak kedatangan Islam ke Rusia, dan konsep baru kami dalam Concept of Foreign Policy (2023) menyatakan bahwa interaksi bersahabat dengan peradaban Islam adalah salah satu prioritas utama kami," jelas Dubes Lyudmila.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sanksi Baru ke Rusia: Penetapan Batas Harga hingga Larangan Impor Diesel

Pada Februari lalu, sanksi terhadap bahan bakar diesel dan produk minyak sulingan lainnya diterapkan ke Rusia. Langkah ini untuk memangkas ketergantungan energi pada Moskow dan mengurangi pendapatan Kremlin dari bahan bakar fosil sebagai hukuman atas invasi Ukraina.

Larangan tersebut datang bersamaan dengan penetapan batas harga US$ 100 per barel pada penjualan diesel Rusia ke negara ketiga seperti China dan India, yang bertujuan menghindari kenaikan harga secara mendadak dan juga membatasi pendapatan Rusia.

Diesel adalah kunci ekonomi karena digunakan untuk menggerakkan mobil, truk pengangkut barang, peralatan pertanian, hingga mesin pabrik. Harga diesel telah meningkat karena pulihnya permintaan setelah pandemi COVID-19 dan keterbatasan kapasitas penyulingan, berkontribusi terhadap inflasi barang-barang lainnya di seluruh dunia.

Sanksi baru menciptakan ketidakpastian tentang harga meski 27 negara Uni Eropa menemukan pasokan diesel baru dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan India untuk menggantikan pasokan dari Rusia, yang pada satu titik mengirimkan 10 persen dari total kebutuhan diesel Eropa. Namun, perjalanan pengiriman dari negara-negara tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama.

Sebelumnya, Barat juga telah memberlakukan sanksi berupa penetapan batas harga sebesar US$ 60 per barel untuk minyak mentah Rusia. Sanksi tersebut mulai berlaku pada Desember 2022.

Baik batas harga diesel dan minyak mentah berpotensi diperketat.

"Begitu kita menetapkan batas harga, kita dapat menekan harga Rusia dan menolaknya, menolak uang (Presiden Vladimir) Putin untuk perang tanpa lonjakan harga yang akan merugikan ekonomi Barat dan ekonomi berkembang," kata Thomas O'Donnell dari Wilson Center yang berbasis di Washington seperti dikutip dari AP, Senin (6/2).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.