Sukses

OPINI: Donald Trump Pasca-Gedung Putih, Pedang Bermata 2 yang Bikin Politik AS Tetap Semarak

Para pendukung Donald Trump terprovokasi pidato sang presiden di depan Capitol Building menyerbu masuk ke ruang rapat.

Oleh Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Pilpres AS 2020 sudah mendekati tahap akhir. Pada 7 Januari pukul 03.40 waktu AS atau jam 15.40 WIB, seluruh anggota Kongres Amerika Serikat yakni para Senator dan Anggota DPR selesai menggelar rapat gabungan dan mensahkan Electoral College, yakni perolehan suara elektoral pada Pilpres 2020. Wakil presiden Mike Pence selaku pemimpin rapat mengumumkan pasangan Joe Biden-Kamala Haris resmi menjadi pemenang pilpres 2020 yang akan dilantik pada 20 Januari.

Rapat gabungan ini biasanya hanya formalitas dan berlangsung sekitar 90 menit. Tapi kali ini sangat berbeda. Rapat berlangsung hingga hampir 15 jam, karena 12 Senator dan 140 Anggota DPR Partai Republik menentang pengesahan Electoral College dari Arizona, Pennsylvania dan Georgia sebelum adanya audit.

Rapat gabungan ini juga diwarnai drama kerusuhan dan vandalisme. Para pendukung Trump yang terprovokasi oleh pidato sang presiden di depan Capitol Building menyerbu masuk ke ruang rapat gabungan. Beberapa perusuh bahkan masuk dan merusak ruang kerja Ketua DPR Nancy Pelosi.

Trump Kalah di Pilpres, Kasus di Pengadilan, dan Upaya Politik di Swing States

Pengesahan akhir Electoral College yang di luar kebiasaan dan diwarnai aksi protes massa serta tindak kekerasan ini berpangkal dari kekalahan Trump di pilpres bulan November lalu. Trump tidak saja kehilangan Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania yang pada 2016 menjadi benteng Partai Demokrat atau "Blue Wall", tapi ia juga kalah di Arizona dan Georgia yang pada dua dekade terakhir dimenangkan capres Partai Republik.

Trump tidak terima dengan kekalahan tersebut dan menuduh pilpres di swing states diwarnai kecurangan dari pihak Partai Demokrat. Trump kemudian membawa kasus sengketa pilpres tersebut ke pengadilan dengan berbagai bukti dan saksi mata yang mendukung klaim mereka.

Hasilnya? Trump kalah dalam hampir 60 kasus di pengadilan negara bagian dan federal, pengadilan banding, hingga Mahkamah Agung negara bagian dan federal. Proses hitung ulang manual di Georgia memang mengurangi marjin keunggulan Biden sebanyak 1779 suara, namun Joe Biden tetap menang. Sementara hitung ulang di tiga wilayah (county) di Wisconsin membuat pihak Biden justru bertambah 87 suara.

Kekalahan telak di pengadilan tidak menyurutkan upaya Trump dan para pendukungnya untuk menjegal kemenangan Biden. Salah satunya dengan merayu gubernur Georgia dan Arizona serta petinggi Partai Republik dari Michigan dan Pennsylvania untuk mempengaruhi legislature (gabungan anggota Senat dan DPR negara bagian) di keempat negara bagian pro-Partai Republik untuk mengganti Electoral College pilihan Partai Demokrat dengan ‘pro-Trump’. Namun tindak ilegal ini kandas karena gubernur Georgia Brian Kemp dan Arizona Dough Ducey serta petinggi Partai Republik di Michigan dan Pennsylvania menolak rayuan Trump.

Trump dan para pendukungnya ternyata pantang menyerah. Jaksa Agung Negara Bagian Texas yang pro-Trump, Ken Paxton, serta 17 Jaksa Agung negara bagian lain dan 106 anggota DPR AS, meminta Mahkamah Agung menganulir hasil pilpres di Wisconsin, Pennsylvania, Michigan dan Georgia. Tapi tindakan yang melanggar 'unggah-ungguh' sistem federal ini ditolak mentah-mentah Mahkamah Agung dengan keputusan mutlak. Artinya, tidak satupun dari tiga Hakim Agung yang diangkat Trump—Neil Gorsuch, Brett Kavanaugh, dan Amy Barret—berpihak pada Trump.

Penolakan para anggota Kongres pro-Trump di rapat gabungan merupakan upaya terakhir Trump dan para pandukungnya untuk menganulir hasil Pilpres 2020. Meski didukung lebih dari 150 anggota Kongres Partai Republik, upaya pamungkas Trump dan CS untuk menjegal Biden dipastikan gagal karena Partai Demokrat menguasai mayoritas kursi DPR, sedangkan sebagian besar Senator Partai Republik tidak mendukung tindakan inkonsitusional.

Namun, tingginya dukungan terhadap upaya inkonstitusional yang sia-sia ini menyiratkan arti penting: Donald Trump sangat ditakuti dan akan menentukan arah politik partai setelah meninggalkan Gedung Putih.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Trump Merupakan Capres Partai Republik dengan Perolehan Suara Tertinggi

Pada pilpres 2020, Trump berhasil meraih 76,22 juta suara. Ini adalah angka rekor untuk capres dari Partai Republik, meskipun Biden akhirnya menjadi pemenang dengan 81,28 juta suara. Rekor suara Partai Republik pada pilpres 2016 adalah 65,85 juta suara, yang juga diraih Trump. Bandingkan dengan perolehan suara Mitt Romney, John McCain dan George W. Bush yang hanya dalam kisaran 60 juta.

Menurut data exit poll CNN dan The Washington Post, Trump didukung 94% pemilih Partai Republik, lebih tinggi dari Ronald Reagan yang meraih 93% dukungan. Selain itu, meski kerap dituduh rasis, Trump mendapat 26% suara pemilih non-Kulit Putih, salah satu yang tertinggi untuk capres Partai Republik sejak exit poll pilpres dimulai pada 1976. Trump hanya kalah dari George W. Bush pada 2004 yang meraih 28% suara non-Kulit Putih.

Meski Trump kalah, perolehan 74,22 juta suara memberi dampak positif terhadap pemilihan Senator dan Anggota DPR. Dengan adanya Trump di atas kertas pada pemilu 2020, Partai Republik hanya kehilangan satu kursi di Senat. Bahkan di DPR, Partai Republik meraih tambahan 15 kursi, selisih 10 kursi dengan Partai Demokrat. Pada periode sebelumnya, Partai Republik kalah 36 kursi dari Partai Demokrat.

Trump Menjadi Andalan Partai Republik Meraih Mayoritas di DPR pada 2022

Jika pilpres AS digelar 4 tahun sekali, maka pemilu DPR dilakukan setiap 2 tahun. Jadi pertarungan selanjutnya setelah pilpres 2020 adalah midterm election atau pemilu sela 2022. Menurut Geoffrey Skelley dari FiveThirtyEight, catatan sejarah midterm election sejak Perang Dunia II menunjukkan, partai yang menguasi Gedung Putih rata-rata kehilangan 27 kursi di DPR pada pemilihan ini.

Pada midterm election 2010, Biden sebagai wakil presiden Barack Obama sempat menyaksikan Partai Demokrat kehilangan 60 kursi DPR dan merasakan dampak serius memerintah tanpa dukungan suara mayoritas di DPR. Ini berbuntut pada ancaman government shutdown berkali-kali dari Partai Republik, membuat tingkat kesukaan publik terhadap Obama terus turun, menurut kolom Harry Enten di The Guardian.

Saat ini, Partai Demokrat hanya unggul 10 kursi di DPR, maka mayoritas Partai Demokrat di DPR berada dalam ancaman. Dengan mengandalkan kekuatan Trump yang didukung 94% pemilih Partai Republik dan memiliki 88 juta pengikut di Twitter, Partai Republik berharap bisa mengulang kesuksesan midterm election 2010 di 2022, yakni merebut mayoritas suara di DPR dan Senat dengan selisih kursi signifikan.

Dengan polaritas politik yang jauh lebih kuat di Kongres selama dan pasca-Trump, pemerintahan Biden bisa menjadi 'bulan-bulanan' DPR Partai Republik melalui berbagai tuduhan, yang bukan tidak mungkin berujung pada impeachment presiden seperti yang dialami Trump pada 2019.

Trump Menjadi Capres Terkuat untuk 2024

Meski Trump masih berupaya menjegal Biden untuk berkuasa dua periode, namun dalam komunikasi pribadinya dengan para penasihat seperti dilansir dari The Washington Post, Trump sudah menyatakan rencananya pasca-Gedung Putih yakni tetap eksis sebagai tokoh sangat berpengaruh di dunia politik dan media. Trump juga menyiratkan akan kembali maju menjadi capres Partai Republik pada 2024.

Ini adalah hal yang langka dalam politik AS, tapi pernah terjadi sebelumnya. Presiden ke-22 dan ke-24 Grover Cleveland adalah presiden AS yang memerintah dua periode tidak secara berturut-turut. Demikian juga Presiden ke-8 Martin Van Buren yang sempat kalah di pemilihan ulang dan maju lagi di periode berikutnya, meski gagal terpilih.

Menurut penulis senior dan analis CNN Harry Enten, dengan tingkat dukungan pemilih Partai Republik 94% pada pilpres lalu—angka tertinggi sejak era exit poll dimulai—dan approval rating pasca-pilpres mencapai 87% dan 90% di kalangan pemilih Partai Republik menurut dua poling Gallup, Trump merupakan presiden yang kalah dalam pemilihan ulang, tapi mendapat dukungan konstituen partai terkuat dalam sejarah politik AS modern.

Dengan fakta itu, Enten menyebut Trump sebagai calon paling diunggulkan (front-runner) jika maju lagi pada 2024. Kalaupun tidak maju, Trump bakal menjadi 'kingmaker' yang menentukan di midterm election 2022 dan Pemilu 2024.

"Media tahu, dia [Trump] tidak diragukan lagi akan menjadi kingmaker Partai Republik pada 2022 dan 2024. Mereka tahu, Trump adalah pahlawan politik bagi puluhan juta warga AS," kata Laura Ingraham, pembawa acara Fox News.

Dengan berbagai alasan ini, bisa dipahami jika 12 senator dan 104 anggota DPR Partai Republik rela menentang pengesahan kemenangan Biden di kongres pada sidang bersama 6 Januari. Mengabaikan fakta Trump kalah dalam puluhan kasus pengadilan yang memperkarakan tuduhan kecurangan pilpres yang diajukan pihaknya. Demi restu Trump, mereka juga mengesampingkan panduan konstitusi bahwa kuasa memilih presiden AS ada di tangan electoral college yang sudah disahkan para gubernur seluruh negara bagian, serta sidang bersama Kongres yang sifatnya hanya pengesahan terakhir formalitas dari pilpres ke pilpres.

 

3 dari 3 halaman

Trump Sebagai 'Pemersatu' Partai Demokrat untuk Memuluskan Agenda Biden-Harris

Dalam bukunya "Why We’re Polarized", Ezra Klein, pendiri Vox Media dan juga kolumnis di The New York Times, menyebutkan bahwa dibandingkan Partai Republik yang relatif homogen, keberagaman Partai Demokrat menjadi kelemahan tersendiri. Partai Republik sangat fokus pada konstituen Kulit Putih, Kristen dan konservatif, sedangkan konstituen Partai Demokrat terdiri dari koalisi Kulit Putih liberal dengan kelompok Kulit Hitam, Hispanik dan Asia, yang menganut Kristen, Katolik, Yahudi, Islam, Budha, ateis dll.

Jadi jika pemilih Partai Republik relatif mudah dipersatukan dan dimobilisasi pada midterm election atau pilpres dengan situasi politik-ekonomi-sosial yang 'normal', maka menyatukan dan memobilisasi konstituen Partai Demokrat yang beragam membutuhkan situasi politik-ekonomi-sosial yang 'tidak normal'. Dalam situasi politik-ekonomi-sosial 'normal', sulit bagi Barack Obama yang merupakan keturunan Kulit Hitam menjadi presiden AS pada 2008, dengan 74% pemilihnya adalah kaum Kulit Putih dan 13% Kulit Hitam menurut CNN Exit Poll.

Tapi kekecewaan masyarakat AS terhadap agenda perang George W. Bush hingga kondisi ekonomi yang carut marut, membuat Obama mampu membangun koalisi Kulit Putih liberal dengan kelompok Kulit Hitam, Hispanik dan Asia yang kuat sehingga akhirnya unggul di pilres 2008 dengan 52,9% suara popular dan 365 suara electoral, serta pilpres 2012 dengan perolehan suara yang agak turun.

Ketika Hillary Clinton maju menjadi capres Demokrat pada 2016 setelah mengalahkan Bernie Sanders di primary, 'koalisi pelangi' Obama kocar-kacir. Sebagian pemilih Obama menyeberang ke kubu Partai Republik, capres partai ketiga atau memilih golput, sehingga Trump yang tidak diunggulkan terpilih menjadi presiden dengan selisih kurang dari 400.000 suara di Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Florida dan North Carolina, yang pada pilpres 2008 dan 2012 dimenangkan Obama.

Pada pilpres 2020, pasangan Biden- Harris juga akan sulit menang dalam situasi 'normal'. Biden adalah penganut Katolik yang merupakan 'agama minoritas' di AS dan Harris adalah keturunan Kulit Hitam dan Asia, dua ras minoritas di AS. Tapi situasi politik-ekonomi-sosial tahun 2020 'tidak normal', di mana mayoritas warga AS tidak suka keakraban Trump dengan Rusia atau Korea Utara, lalu masalah COVID-19 yang menggoyang ekonomi AS dan menganggurnya puluhan juta warga. Belum lagi retorika politik Trump yang menimbulkan gejolak rasial di mana-mana.

Kondisi ini membuat 'the impossible pair' Biden-Harris menang pada Pilpres November 2020. Dengan fakta ini, tekad Trump untuk terus aktif di politik pasca-Gedung Putih, baik sebagai upaya untuk kembali maju menjadi capres di 2024 atau sekadar menjadi 'kingmaker' di 2022 dan 2024, bisa menjadi pedang bermata dua. Pada satu sisi, aktivitas Trump melalui sosial media, Political Action Committee maupun media (Trump TV seperti banyak dirumorkan, atau program TV rutin di Fox News, Newmax dan One America News Network) mampu memobilisasi pemilih konservatif, sehingga Partai Republik bisa menguasasi Senat dan DPR AS pada midterm election 2022 dan mengantarkan Trump atau capres Partai Republik lain yang didukung Trump menjadi pemenang pilpres 2024.

Di sisi lain, kehadiran Trump di kancah politik AS akan menjadi 'bogeyman' yang mempersatukan semua fraksi Partai Demokrat, seperti yang terjadi pada pilpres kali ini. Dilihat dari berbagai sisi, Pilpres 2020 menjadi referendum bagi kepemimpinan Trump menciptakan rekor dalam hal tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) yang mencapai 66,7% tertinggi dalam 120 tahun, dengan jumlah pemilih menembus 150 juta dan dana kampanye pilpres mencapai US$4 miliar, jauh di dana kampanye pilpres-pilpres sebelumnya yang tidak pernah menyentuh US$2 miliar.

"Suka tidak suka, Presiden Donald Trump telah membuat warga AS sangat peduli dengan politik. Sepanjang sejarah AS, belum pernah ada politisi [seperti Trump] yang memiliki pengaruh sekuat itu," ujar Harry Enten dari CNN.

Tapi saya perlu menambahkan satu catatan: Kekalahan 2 Senator Partai Republik petahana dari Georgia, Kelly Loeffler dan David Purdue, dalam run-off elections yang menurut banyak pihak gara-gara Trump dan penyerbuan ruang rapat Kongres dan vandalism yang dilakukan para fans berat presiden di Capitol Building hari ini bisa menjadi cacat politik serius yang akan menurunkan 'nilai jual' Trump setelah tidak menjabat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.