Sukses

Kematian Akibat COVID-19 Rendah, Jepang Miliki Kekebalan Superior?

Kasus meninggal karena COVID-19 di Jepang tidak bertambah sebanyak negara lain menimbulkan banyak teori, salah satunya Jepang memiliki kekebalan superior.

Liputan6.com, Jepang - Mengapa kasus meninggal karena COVID-19 di Jepang tidak bertambah sebanyak negara lain? Hal ini memicu tanda tanya dan menimbulkan spekulasi. Mulai dari perilaku warga hingga klaim kekebalan superior.

Seperti dikutip dari BBC, Rabu (8/7/2020), Jepang tidak memiliki angka kematian terendah untuk COVID-19 karena Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Vietnam masih angka kematian yang lebih rendah daripada Jepang.

Namun, pada awal 2020, Jepang mengalami penurunan kasus kematian dibawah rata-rata. Ini terlepas dari kenyataan bahwa pada bulan April, Tokyo mengalami sekitar 1.000 "kematian berlebih ' yang diduga karena COVID-19. Namun, untuk tahun ini secara keseluruhan, ada kemungkinan bahwa kematian secara keseluruhan akan turun dibandingkan 2019.

Ini sangat mengejutkan karena Jepang memiliki banyak sekali kemungkinan yang membuatnya rentan terhadap COVID-19. Di tambah Jepang tidak pernah meneliti pendekatan energik untuk menangani virus seperti yang dilakukan oleh beberapa tetangganya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Apakah ada Sesuatu yang Istimewa Tentang Jepang?

Pada puncak wabah di Wuhan bulan Februari, ketika rumah sakit kota kewalahan dan dunia memblokir para pelancong dari Tiongkok, Jepang menjaga perbatasan tetap terbuka.

Ketika Virus Corona jenis baru menyebar, dengan cepat diketahui bahwa COVID-19 adalah penyakit yang membunuh terutama orang tua. Hal itu secara besar-besaran diperkuat oleh orang banyak.

Per kapita, Jepang memiliki lebih banyak lansia daripada negara lain. Penduduk Jepang juga padat hingga kota-kota besar. Greater Tokyo memiliki 37 juta orang, dan bagi sebagian besar dari mereka satu-satunya cara untuk bepergian adalah dengan moda transportasi kereta yang terkenal di kota ini.

Lalu ada penolakan Jepang untuk memperhatikan himbauan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk "menguji, menguji, menguji". Bahkan sekarang, total tes PCR Jepang hanya 348.000, atau sekitar 0,27% dari populasi Jepang.

Jepang juga tidak melakukan lockdown besar besaran seperti Eropa.

Meskipun pada awal April, pemerintah menyatakan ‘keadaan darurat’. Tetapi di Jepang permintaan tinggal di rumah bersifat sukarela. Bisnis yang tidak penting diminta ditutup, tetapi tidak ada hukuman hukum bagi yang menolak.

Banyak strategi pencegahan COVID-19 yang dilakukan, seperti di Selandia Baru dan Vietnam, yang menggunakan strategi yang sulit seperti menutup perbatasan, lockdown ketat, pengujian skala besar dan karantina yang ketat, tetapi lagi lagi Jepang tidak melakukan itu.

Namun, hanya lima bulan setelah kasus COVID-19 pertama dilaporkan, Jepang memiliki kurang dari 20.000 kasus yang dikonfirmasi dan kurang dari 1.000 kematian. Keadaan darurat cepat pulih, dan kehidupan dengan cepat kembali normal.

Raksasa telekomunikasi Softbank melakukan pengujian antibodi pada 40.000 karyawan. Hasil menunjukkan bahwa hanya 0,24% yang terpapar Virus Corona COVID-19. Bahkan pengujian acak yang dilakukan terhadap 8.000 orang di Tokyo dan dua prefektur lainnya menunjukkan tingkat paparan yang ternyata lebih rendah.

Ketika Jepang mengumumkan pencabutan ‘keadaan darurat’ akhir bulan lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe berbicara dengan bangga tentang "Model Jepang", menunjukkan  bahwa negara-negara lain harus belajar dari Jepang.

Wakil Perdana Menteri Taro Aso mengatakan bahwa itu tergantung pada "kualitas unggul" orang Jepang. Karena komentarnya yang terkenal tersebut, ia mengatakan telah diminta oleh para pemimpin negara lain untuk menjelaskan kesuksesan Jepang.

"Saya memberi tahu orang-orang ini: 'Antara negara Anda dan negara kami, mindo (tingkat orang) nya berbeda.' Dan itu membuat mereka langsung terdiam."

Tetapi tetap tidak heran bahwa banyak orang Jepang, dan beberapa ilmuwan, berpikir ada sesuatu tentang Jepang yang berbeda - yang disebut "Faktor X" yang melindungi penduduk dari COVID-19.

 

3 dari 5 halaman

Apakah Jepang Memiliki Kekebalan Khusus?

Profesor Universitas Tokyo, Tatsuhiko Kodama - yang mempelajari bagaimana pasien Jepang bereaksi terhadap virus - mempercayai bahwa sebelum COVID-19, Jepang mungkin pernah menderita virus yang serupa dengan COVID-19 yang bisa meninggalkan "pengalaman kekebalan” pada penduduk Jepang

Dia menjelaskan bahwa ketika virus memasuki tubuh manusia, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang patogen. Ada dua jenis antibodi - IGM dan IGG. Cara mereka merespons dapat menunjukkan apakah seseorang pernah terkena virus sebelumnya, atau yang serupa.

"Dalam infeksi virus primer (baru), respons IGM biasanya didahulukan," jelasnya. "Lalu respons IGG muncul sesudahnya. Tetapi dalam kasus sekunder (paparan sebelumnya) limfosit sudah memiliki memori, dan hanya respons IGG yang meningkat dengan cepat." Jadi, apa yang terjadi dengan pasiennya?

"Ketika kami melihat hasil tesnya, kami terkejut pada semua pasien karena respon IGG datang lebih cepat dari respon IGM yang lemah. Sepertinya mereka sebelumnya terkena virus yang sangat mirip."

Dia berpikir ada kemungkinan virus seperti SARS telah beredar di wilayah tersebut sebelumnya, yang menyebabkan tingkat kematian yang rendah, tidak hanya di Jepang, tetapi di sebagian besar China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Asia Tenggara.

Hal ini membuat timbulnnya beberapa skeptisme. "Saya masih belum yakin akan bagaimana virus semacam itu dapat dibatasi untuk Asia," ungkap Profesor Kenji Shibuya, direktur Kesehatan Masyarakat di Kings College, London dan mantan penasihat senior pemerintah.

Profesor Shibuya tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan regional dalam kekebalan atau kerentanan genetik terhadap Covid. Tapi dia curiga dengan kemungkinan "Faktor X" yang menjelaskan perbedaan angka kematian.

Orang Jepang mulai mengenakan masker wajah lebih dari 100 tahun yang lalu selama pandemi flu 1919 (flu spanyol) dan mereka tidak dinyatakan berhenti. Jika seseorang merasa batuk atau pilek di sini, diharapkan mengenakan masker untuk melindungi orang-orang sekitar.

"Saya pikir masker tidak hanya bertindak sebagai penghalang fisik, tetapi itu juga berfungsi sebagai pengingat bagi semua orang untuk berhati-hati.” kata Keiji Fukuda, spesialis influenza dan direktur Sekolah Kesehatan Masyarakat di Universitas Hong Kong.

4 dari 5 halaman

Jepang Menemukan Metode Pencegahan Lebih Awal

Dalam menangani pandemi, Jepang juga menemukan dua pola penting di awal pandemi. Pertama, Kazuaki Jindai, seorang peneliti medis di universitas Kyoto, mengatakan data menunjukkan lebih dari sepertiga infeksi berasal dari tempat yang sangat mirip. "Data kami menunjukkan bahwa banyak orang yang terinfeksi telah mengunjungi tempat-tempat musik yang kami tahu itu adalah tempat yang harus dihindari orang."

Kedua, tim menemukan bahwa penyebaran infeksi turun ke sebagian kecil dari mereka yang membawa virus. Sebuah studi awal menemukan sekitar 80% dari mereka dengan Sars-CoV-2 tidak menulari orang lain - sementara 20% memberikan penularan. Penemuan ini menyebabkan pemerintah meluncurkan kampanye peringatan nasional orang untuk menghindari:

  • Ruangan tertutup dengan ventilasi buruk
  • Tempat-tempat ramai dengan banyak orang
  • Kurangi kontak seperti percakapan tatap muka. 

"Saya pikir itu mungkin bekerja lebih baik daripada hanya memberitahu orang untuk tinggal di rumah," kata Dr Jindai. Meskipun tempat kerja tidak dimasukkan dalam daftar, diharapkan 3 meetode tersebut akan memperlambat penyebaran dan lebih sedikit kematian. Karena Dr. Jindai berfikir bahwa itu mungkin bekerja lebih baik daripada hanya memberitahu orang untuk tinggal di rumah.

Namun, beberapa saat setelah itu diterapkan, pada pertengahan Maret infeksi di Tokyo melonjak dan kota itu tampak seperti sedang menuju pertumbuhan eksponensial, seperti Milan, London dan New York. Pada titik ini masih belum diketahui apakah Jepang menjadi pintar atau beruntung,

5 dari 5 halaman

Pemerintah Mengajukan, Masyarakat Mendengarkan

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menemukan orang dengan kondisi medis yang mendasarinya seperti penyakit jantung, obesitas dan diabetes enam kali lebih mungkin dirawat di rumah sakit jika mereka menderita COVID-19 dan 12 kali lebih mungkin meninggal.

Jepang memiliki tingkat penyakit jantung koroner dan obesitas terendah di negara maju. Namun, para ilmuwan bersikeras bahwa tanda-tanda vital semacam itu tidak menentukan segalanya. "Perbedaan fisik semacam itu mungkin memiliki beberapa efek tetapi saya pikir itu bukan utama. Kami telah belajar dari Covid bahwa tidak ada penjelasan sederhana untuk fenomena saat ini. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap hasil akhir,” kata Prof Fukuda.

Lalu apakah fakta bahwa Jepang sejauh ini telah berhasil menjaga agar infeksi dan kematian tetap rendah, tanpa memastikan atau memerintahkan orang untuk tinggal di rumah, menunjukkan jalan ke depan? Jawabannya adalah ya dan tidak.

Tidak ada "Faktor X" yang seperti dicurigai. Kunci utamanya ternyata sama seperti di tempat lain, hal itu bergantung pada bagaimana memutus rantai penyebaran. Di Jepang, pemerintah dapat mengandalkan publik untuk mematuhinya.

Meskipun tidak memerintahkan secara resmi kepada masyarakat untuk tinggal di rumah, secara keseluruhan mereka melakukannya. "Itu beruntung tetapi juga mengejutkan," kata Prof Shibuya. "Lockdown ringan di Jepang tampaknya memiliki efek yang nyata. Orang-orang Jepang menurutinya meskipun tidak ada aturan kejam."

Jepang meminta orang untuk berhati-hati, menjauh dari tempat-tempat ramai, memakai topeng dan mencuci tangan - dan pada umumnya, itulah yang dilakukan kebanyakan orang.

 

Reporter: Vitaloca Cindrauli Sitompul

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.