Sukses

Ricuh Pasca-Pengumuman Hasil Pilpres RI, Institusi Pendidikan Australia Resah

Kalangan pendidikan di Australia mengkhawatirkan dampak aksi 22 Mei di Indonesia, sehubungan dengan studi lapangan yang hendak mereka adakan.

Liputan6.com, Canberra - Aksi 22 Mei yang memprotes hasil pemilihan umum 2019 di Indonesia, turut menimbulkan rasa khawatir bagi beberapa pihak di Australia. Kegelisahan ini khususnya melanda institusi pendidikan terutama universitas atau sekolah yang memiliki program pertukaran pelajar ke Indonesia.

Beberapa sekolah telah merencanakan akan melakukan study tour ke Indonesia pada bulan Juni dan Juli 2019 mendatang, sebagaimana dilansir dari ABC Indonesia pada Jumat (24/5/2019).

Silvy Wantania, guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah Australia di kawasan Bachus Marsh, sekitar 60 kilometer dari ibu kota negara bagian Victoria Melbourne mengatakan 15 muridnya akan berpartisipasi dalam program study tour ke Indonesia. Tiga kota yang akan dikunjungi di antaranya adalah Jakarta, Yogyakarta dan Bali.

Namun saran perjalanan dari pemerintah Australia terkait kondisi Jakarta setelah kejadian pada tanggal 21 dan 22 Mei membuat beberapa orangtua siswa menjadi panik.

"Tadi malam saya tidak bisa tidur karena satu orangtua mengirim e-mail tentang travel warning dari pemerintah Australia yang mengatakan akan ada serangan teroris," ungkapnya.

Menurutnya, rasa panik tersebut muncul akibat kurangnya pengetahuan mereka akan Indonesia.

"Sebagian besar orangtua murid belum pernah ke Indonesia," kata guru yang sudah mengajar tiga tahun di sekolah tersebut.

"Jadi kalau di media melihat orang bakar mobil dan tembak-tembakan pasti takut. Sedangkan kita sebagai orang Indonesia pasti tahu kalau tetap ada daerah yang aman," lanjutnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Peminat untuk Belajar Bahasa Indonesia Berkurang

Menurut Silvy, konflik ini turut memengaruhi jumlah siswa yang berminat untuk belajar Bahasa Indonesia.

"Kalau sampai isu ini terus berkembang, tidak hanya trip ini yang akan terpengaruh, tapi seluruhnya, karena ini pun jumlah siswa yang belajar Bahasa Indonesia menurun lagi," tuturnya.

Kekhawatiran itu tidak hanya dirasakan di sekolah menengah.

Universitas Tasmania juga akan menyelenggarakan program studi lapangan di bidang lingkungan dan konservasi budaya tanggal 28 Juni sampai 12 Juli 2019 mendatang di Indonesia.

Program itu yang melibatkan 14 mahasiswa tersebut akan melakukan kunjungan ke Jakarta, Bali dan Sumatera.

Taufiq Tanasaldy, pengajar senior Studi Asia dan Studi Indonesia yang mengorganisir program tersebut gelisah karena program dua minggu tersebut terancam batal.

"Sudah pasti ada kekhawatiran. Karena dulu pada saat ada bencana alam saja program ini harus dipindahkan dan bahkan sempat dibatalkan. Apalagi kalau sudah masalah keamanan di jalan." katanya.

Dosen asal Indonesia yang sudah mengajar 10 tahun tersebut berharap agar pemerintah Indonesia dapat menjaga citra negara yang positif agar minat mahasiswa Australia terhadap Indonesia meningkat.

"Pemerintah Indonesia harus benar-benar menjaga kondisi dalam negeri, jangan sampai membuat potensi kunjungan mahasiswa malah dibatalkan," ungkapnya.

"Ini pasti akan berdampak karena mereka tidak akan mengirim atau merilis mahasiswa kalau daerahnya tidak aman."

3 dari 3 halaman

Monash University Terus Memantau Indonesia

Sementara itu, Monash University di Melbourne terus memantau perkembangan di Indonesia dengan seksama.

Hal itu disebabkan karena Monash memiliki program bernama Global Immersion Guarantee (GIG) dimana para mahasiswa tahun pertama di Jurusan Seni dan Studi Global dikirim ke Indonesia untuk belajar lebih jauh mengenai bahasa dan kehidupan di sana.

Yacinta Kurniasih sebagai salah satu penyelenggara GIG yakin bahwa program yang akan diadakan Januari 2020 masih akan tetap berjalan.

"Kami memonitor situasi tapi tetap optimistis akan mengirim mahasiswa dalam program GIG."

Program GIG Monash University baru dimulai di tahun 2018 dimana setiap tahunnya universitas tersebut akan mengirimkan ratusan mahasiswa untuk melakukan perjalanan ke Indonesia.

Sementara itu di media sosial seorang peneliti asal Indonesia yang sekarang bekerja di Universitas Melbourne menulis kekecewaannya soal kerusuhan di Jakarta yang dirasakan dampaknya terhadap kerjasama penelitian antara Indonesia dan Australia.

Karena adanya kerusuhan tersebut, Universitas Melbourne juga menaikkan peringatan perjalanan ke level 3.

"Para peneliti kampus disarankan tidak ke Indonesia. Kerjasama riset mandek dulu serta turunnya akan makan waktu."

"Mantaap.... semua berantakan, sudah capek-capek keliling 3 kota di Indo mengajak kerja sama riset." tulis peneliti tersebut di akun Facebooknya.

Pemerintah Australia sendiri sampai Kamis, 23 Mei 2019 masih mengeluarkan peringatan agar warganya berhati-hati bila melakukan perjalanan ke Indonesia, walaupun  situasi di ibukota Jakarta hari Kamis dilaporkan sudah tenang.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) di situsnya mengatakan Indonesia sedang dalam keadaan tidak aman.

DFAT menghimbau warganya untuk menghindari beberapa kawasan di Jakarta yang menjadi pusat bentrokan antara pengunjuk rasa dan pihak keamanan sebelumnya.

"Hindari tempat-tempat di mana ada protes, unjuk rasa karena peristiwa itu bisa berubah menjadi tindak kekerasan." kata DFAT.

Secara khusus DFAT menyebutkan bahwa daerah yang harus dihindari untuk dikunjungi di Indonesia adalah Poso di Sulawesi Tengah dan provinsi Papua.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini