Sukses

Ini 3 Peristiwa Sains Paling Menarik Sepanjang Maret 2019

Apa saja peristiwa sains paling menarik sepanjang Maret 2019?

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang bulan Maret 2019, banyak laporan tentang fenomena sains yang terjadi di Bumi ini, bahkan Alam Semesta. Para ilmuwan juga telah membeberkannya dalam situs ilmu pengetahuan Live Science agar bisa diakses publik.

Ada sedikitnya 3 peristiwa sains yang dinilai paling menarik yang pernah dikabarkan pada bulan lalu. Mulai dari penemuan meteor 'hantu' yang meledak di atas Laut Bering hingga rahasia yang terkuak di Gunung Everest.

Berikut rangkuman ihwal sains paling fenomenal selama Maret tahun ini, yang diwartakan oleh Live Science dan dikutip pada Senin (1/4/2019). 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Meteor Hantu

Sebuah meteor menembus atmosfer Bumi dan meledak di atas Laut Bering. Insiden lolosnya batu angkasa yang terjadi pada 18 Desember 2018 itu menghasilkan ledakan besar yang menghasilkan bola api raksasa. Tak ada satu pun teleskop di dunia yang mendeteksi kedatangannya.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, menyebut meteor tersebut diperkirakan berdiameter 10 meter dan beratnya mencapai 1.500 ton. Objek sebesar itu lolos dari pantauan teleskop astronom saat melaju dengan kecepatan mencapai 115.200 kilometer per jam dan meledak di ketinggian 25 kilometer di atas permukaan laut.

Kekuatan ledakanya mencapai 173 kiloton TNT atau 10 kali lipat energi bom atom 'Little Boy' yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima pada 1945.

Meski daya ledaknya terhitung luar biasa, namun ukuran meteor tersebut lebih kecil dari batuan angkasa yang jadi fokus NASA dalam program pemindaian langitnya.

NASA mengawasi objek-objek dekat Bumi (near-Earth objects) yang punya kisaran diameter 460 kaki atau 140 meter atau lebih besar -- yang mampu membinasakan seluruh negara bagian AS jika sampai menubruk Bumi di titik di mana Negeri Paman Sam berada.

Meski demikian, NASA berhasil mengabadikan meteor di atas Laut Bering tersebut. Dua instrumen pada satelit Terra -- Moderate Resolution Imaging SpectroRadiometer (MODIS) dan Multi-angle Imaging SpectroRadiometer (MISR) -- menangkap penampakan ledakan itu.

Ekor dan bola api meteor yang meledak di atas Laut Bering pada 18 Desember 2018. Tidak ada yang melihat ledakan itu terjadi, tetapi satelit Terra NASA menangkap pemandangan ini. (NASA)

Jejak meteor terlihat di bagian atas foto berupa garis gelap. Di kanan bawah gambar adalah awan oranye dari udara super panas yang diciptakan oleh ledakan itu.

Ukuran meteor yang meledak di atas Laut Bering, juga wilayahnya yang terpencil, menjelaskan mengapa foto penampakannya baru terkuak belakangan.

Menurut NASA, bola api yang dipicu ledakan meteor tersebut adalah yang terbesar yang teramati sejak 2013. Namun, hal tersebut tak menimbulkan ancaman bagi manusia karena insiden tersebut terjadi di wilayah tak berpenghuni.

Manajer program pengamatan objek dekat Bumi NASA, Kelly Fast mempresentasikan ledakan meteor tersebut dalam Lunar and Planetary Science Conference di Texas pekan lalu.

3 dari 4 halaman

2. Jasad Bergelimpangan di Gunung Everest

Akhir-akhir ini, pemanasan global masih menghantui Bumi. Es dan gletser yang ada di Kutub Utara dan Kutub Selatan mulai mencair. Begitu pula dengan es yang ada di Gunung Everest. Oleh karena adanya pencairan tersebut, jasad para pendaki yang sebelumnya dilaporkan hilang, mulai terlihat.

"Akibat pemanasan global, lapisan es dan gletser meleleh dengan cepat. Kemudian jasad-jasad yang terkubur selama bertahun-tahun, kini bisa ditemukan," jelas mantan presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, Ang Tshering Sherpa, dikutip dari BBC, Minggu, 24 Maret 2019.

Hampir 300 pendaki gunung tewas di puncak sejak upaya pendakian pertama dilakukan. Dua pertiga jenazah pendaki diperkirakan masih terkubur di bawah salju. Sedangkan jasad- jasad yang ditemukan telah dipindahkan dari sisi gunung yang berlokasi di Tiongkok.

"Kami telah menemukan jenazah beberapa pendaki gunung yang meninggal dalam beberapa tahun terakhir, tetapi yang lama terkubur sekarang baru bisa ditemukan," imbuh Sherpa.

Otoritas dari Asosiasi Operator Ekspedisi Nepal (EOAN) menyampaikan, mereka menurunkan semua tali dari kamp yang berada lebih tinggi di Gunung Everest dan Lhotse pada musim pendakian. Upaya tersebut untuk memindahkan mayat pendaki.

Sementara itu, lebih dari 4.800 pendaki telah mendaki puncak gunung tertinggi di Bumi ini.

Pada tahun 2017, tangan seorang pendaki gunung yang tewas, terlihat di atas tanah di Camp 1. Pengelola ekspedisi mengerahkan pendaki profesional dari komunitas Sherpa untuk memindahkan jasad itu.

Pada tahun yang sama, mayat pendaki lain tampak di permukaan Gletser Khumbu. Area yang juga dikenal sebagai Air Terjun Khumbu itu adalah tempat sebagian besar mayat muncul dalam beberapa tahun terakhir, menurut para pendaki gunung.

Lokasi lain di Gunung Everest yang bermunculan mayat yakni daerah Camp 4, yang juga disebut South Col. Area ini relatif datar.

4 dari 4 halaman

3. Fosil Galaksi Bimasakti

Para astronom menemukan beberapa bintang tertua yang diketahui di Alam Semesta, yang hidup di dalam galaksi Bimasakti.

Dalam sebuah penelitian yang akan diterbitkan dalam edisi April 2019 pada jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, para peneliti menganalisis sekelompok bintang kuno dan redup bernama HP1, yang terletak sekitar 21.500 tahun cahaya dari Bumi di tonjolan pusat galaksi kit.

Dengan menggunakan pengamatan dari teleskop Gemini South dan arsip teleskop Hubble, para peneliti menghitung usia bintang-bintang sekitar 12,8 miliar tahun.

"Ini merupakan bintang tertua yang pernah kita lihat di galaksi mana saja," kata salah satu penulis studi, Stefano Souza, seorang kandidat doktoral di University of Sao Paulo, Brasil, dalam sebuah pernyataan.

Tonjolan Bimasakti --sebuah daerah berbentuk bulat dengan luas 10.000 tahun cahaya dan debu yang muncul dari piringan spiral galaksi-- diduga berisi beberapa bintang tertua di galaksi.

Penelitian sebelumnya telah mencoba membuktikan bahwa bintang-bintang kuno bersembunyi di tonjolan Bimasakti dengan mempelajari HP1 dan gugusan terdekat lainnya.

Tapi Souza dan rekan-rekannya menganalisis masalah dengan resolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya, berkat teknik pencitraan yang disebut optik adaptif --metode yang mengoreksi gambar ruang angkasa untuk menggambarkan distorsi cahaya dari atmosfer Bumi.

Dengan menggabungkan pengamatan ultra-definisi tinggi ini dan meninjau rekaman teleskop Hubble, tim mengklaim telah berhasil menghitung jarak bintang itu ke Bumi, bahkan untuk bintang paling redup dan paling tertutup debu di HP1.

Rentang tersebut membantu Souza dan krunya untuk menghitung kecerahan setiap bintang. Intensitas dan warna cahaya masing-masing bintang, pada gilirannya, akan mengungkapkan tipe bintang --apakah itu bintang kerdil atau bintang raksasa atau pancaran elemen yang lebih berat daripada hidrogen dan helium.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.