Sukses

Gas Beracun Ini Menjadi Penanda Kehidupan Alien di Angkasa Luar?

Mengapa gas beracun ini disebut bisa menjadi tanda kehidupan alien?

Liputan6.com, California - Para ilmuwan yang mencari tanda-tanda kehidupan alien dinilai harus memperhatikan karbon monoksida (CO), menurut sebuah studi baru yang dikutip dari Live Science, Minggu (24/3/2019).

Zat tersebut sangat beracun bagi manusia dan sebagian besar kehidupan hewan di Bumi, karena karbon monoksida mampu melekat erat pada hemoglobin sehingga mencegah protein dalam darah untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.

Gas itu biasanya tidak dinilai sebagai "biosignature" yang menjanjikan, unsur yang biasanya ditargetkan oleh para ahli astrobiologi dalam pencarian alien. Banyak peneliti menganggap CO sebagai anti-biosignature, karena merupakan sumber karbon dan energi yang tersedia di Bumi.

Namun, kali ini, para ahli mengklaim telah menemukan banyak CO di atmosfer planet ekstrasurya. Temuan ini disebut telah menyingkap anggapan yang menyebut bahwa tidak ada kehidupan lain di luar Bumi. Dalam hal ini, karbon monoksida ada di atmosfer zona exoplanet Proxima B yang mengorbit bintang katai merah (Red Dwarf) Proxima Centauri.

Tim ilmuwan juga menguji kandungan gas ini dalam dua model atmosfer planet yang berbeda. Pengujian dilakukan untuk melihat seberapa jauh gas karbon monoksida bisa berakumulasi.

Model pertama adalah atmosfer Bumi pada tiga miliar tahun lalu, di mana atmosfernya memiliki kandungan karbon monoksida yang lebih besar dibanding sekarang.

Model kedua adalah kondisi bintang katai merah seperti Proxima Centauri, yang kini juga memiliki kandungan karbon monoksida yang berlimpah.

Bintang Katai Merah Tipe-M. Kredit: NASA JPL-Caltech

"Kita tidak kaget kalau Proxima Centauri memiliki tingkatan kandungan karbon monoksida yang tinggi,” ujar ilmuwan Edwan Schwieterman.

"Bagaimana pun, (atmosfer Proxima Centauri) tidaka kan menjadi tempat yang baik bagi manusia atau hewan tinggal karena karbon monoksida yang terlalu banyak dapat mempersempit kemungkinan mereka untuk hidup.

Sementara itu, kehidupan mikroba adalah hal yang biasa di Bumi pada 3 miliar tahun lalu, tidak seperti keberadaan binatang (fosil paling awal dari organisme multisel berasal dari sekitar 600 juta tahun yang lalu).

Hasil riset tim menunjukkan bahwa karbon monoksida dapat terakumulasi dalam jumlah yang signifikan pada masa lalu, mencapai konsentrasi sekitar 100 bagian per juta (ppm), atau sekitar 1.000 kali lebih tinggi dari level saat ini.

"Itu berarti kita bisa mengharapkan adanya kandungan CO yang tinggi di atmosfer planet ekstrasurya yang mengorbit bintang seperti matahari kita," kata penulis utama studi ini, Timothy Lyons, seorang profesor biogeokimia di University of California, Riverside (UCR).

Para ilmuwan juga menerapkan model mereka pada sistem exoplanetary, khususnya yang berpusat pada katai merah, bintang-bintang kecil dan redup yang membentuk sekitar 75 persen dari populasi bintang di galaksi Bimasakti.

Tim menemukan bahwa planet katai merah yang dikatakan bisa dihuni manusia, konon mengandung banyak oksigen di atmosfernya yang didukung oleh tingkat CO yang tinggi. Faktanya, konsentrasi karbon monoksida pada dunia semacam itu bisa mencapai beberapa persen.

"Mengingat konteks astrofisika yang berbeda untuk planet-planet ini, kita seharusnya tidak terkejut ketika menemukan biosfer mikroba yang 'mempromosikan' karbon monoksida tingkat tinggi," tutur pemimpin penelitian Edward Schwieterman, seorang mahasiswa doktoral di Departemen Ilmu Bumi UCR.

"Namun, ini tentu bukan tempat yang baik untuk kehidupan manusia atau hewan seperti yang kita kenal di Bumi," tambahnya.

Studi baru tentang pencarian alien tersebut telah diterbitkan pada minggu lalu di The Astrophysical Journal.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alien Tembak Laser ke Lubang Hitam untuk Keliling Galaksi?

Seorang astronom di Columbia University, David Kipping, berhipotesis bahwa peradaban alien mungkin secara tidak kelihatan telah menavigasi galaksi Bimasakti.

Menurutnya, makhluk ekstraterrestrial ini menembak laser ke lubang hitam biner (lubang hitam kembar yang saling mengorbit) agar bisa berkelana di dalam galaksi ini.

"Saat ini, pesawat ruang angkasa sudah menavigasi tata surya kita menggunakan well gravitasi (tarikan gravitasi yang diberikan benda besar di angkasa luar) sebagai ketapel," katanya.

Pesawat ruang angkasa itu memasuki orbit di sekitar sebuah planet, melontarkan dirinya sedekat mungkin ke planet tersebut atau Bulan untuk menambah kecepatan, dan kemudian menggunakan energi tambahan ini untuk melakukan perjalanan lebih cepat menuju tujuan berikutnya.

Dengan melakukan hal itu, pesawat menyedot sebagian kecil dari momentum planet melalui ruang hampa, meskipun pengaruhnya sangat kecil sehingga hampir tidak mungkin untuk diperhatikan.

Prinsip dasar serupa juga beroperasi di well gravitasi yang intens di sekitar lubang hitam. Tidak hanya menikung jalur benda padat, pesawat asing itu juga menerangi dirinya sendiri.

Jika foton atau partikel cahaya memasuki wilayah tertentu di sekitar lubang hitam, maka itu akan melakukan satu sirkuit parsial di sekitar lubang hitam dan terlempar kembali ke arah yang sama persis.

Fisikawan menyebut daerah-daerah itu sebagai gravitational mirror atau "cermin gravitasi", sedangkan foton yang terlempar kembali dinamakan boomerang foton atau "foton bumerang."

Foton bumerang bergerak dengan kecepatan cahaya, sehingga alien tidak mengambil kecepatan apa pun dari perjalanan mereka di sekitar lubang hitam, melainkan energi. Energi ini lalu memanfaatkan bentuk peningkatan dari panjang gelombang cahaya.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal pracetak arXiv pada 11 Maret, Kipping mengusulkan bahwa pesawat antariksa antarbintang dapat menembakkan laser ke "cermin gravitasi" dari lubang hitam yang bergerak cepat dalam sistem lubang hitam biner.

Ketika foton baru itu diberi energi dari laser yang berputar balik, foton dapat menyerapnya dan mengubah semua energi ekstra menjadi momentum --sebelum menembakkan foton kembali ke cermin.

Sistem ini, oleh Kipping disebut sebagai Halo Drive. Dengan sistem ini, semua energi bisa saja disedot dari lubang hitam sebagai bahan bakar pesawat alien, meski akan memiliki batas.

Pada titik tertentu, pesawat akan bergerak begitu cepat menjauh dari lubang hitam sehingga tidak akan menyerap energi cahaya yang cukup untuk menghimpun kecepatan tambahan.

Sebuah peradaban alien mungkin menggunakan sistem seperti ini untuk menavigasi Bimasakti, tulis Kipping.

"Ada banyak lubang hitam di sana. Jika demikian, mereka mungkin menyedot begitu banyak momentum dari lubang hitam sehingga akan mengacaukan orbitnya, dan kita mungkin bisa mendeteksi tanda-tanda peradaban alien dari orbit eksentrik lubang hitam biner," Kipping menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.