Sukses

AS Memulai Program Rudal Jarak Jauh Pasca-Keluar dari Perjanjian Nuklir Perang Dingin

Pemerintah AS dilaporkan tengah mengembangkan rudal jarak jauh, menyusul keluarnya negara itu dari perjanjian nuklir era Perang Dingin.

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan telah mulai membuat bagian-bagian rudal jelajah baru yang diluncurkan di darat, guna mengantisipasi berakhirnya perjanjian perang dingin yang melarang senjata tersebut.

Sebelumnya, pemerintahan Donald Trump menyatakan pada 1 Februari lalu, bahwa pihaknya tidak lagi terikat oleh perjanjian Nuklir Jangka Menengah (INF), dan akan mundur sepenuhnya pada Agustus nanti.

Keputusan itu, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (12/3/2019), merujuk pada penempatan rudal baru milik Rusia yang dikeluhkan AS selama lebih dari enam tahun, dan dituding sebagai pelanggaran perjanjian.

Sebulan setelah Amerika Serikat menyatakan keluar dari perjanjian era Perang Dingin itu, Presiden Rusia Vladimir Putin turut menangguhkan kewajiban serupa.

Michelle Baldanza, seorang juru bicara Pentagon, mengatakan pada hari Senin bahwa fabrikasi telah dimulai pada komponen-komponen untuk rudal jelajah peluncur darat (GLCM) yang baru, yang pertama kali dilaporkan oleh majalah Aviation Week.

Ini adalah pertama kalinya AS membuat senjata seperti itu sejak 1980-an ketika rudal jelajah dikerahkan di Eropa, menyusul ketegangan meningkat terhadap rudal SS-20 buatan Soviet.

Baldanza mengatakan bahwa dalam menanggapi pelanggaran Rusia terhadap perjanjian tersebut, kementerian pertahanan AS memulai "penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan perjanjian rudal konvensional yang diluncurkan di akhir 2017".

Dia menekankan bahwa rudal yang tengah diusahakan itu adalah konvensional, bukan nuklir.

Baldanza menambahkan bahwa karena AS sebelumnya telah mengamati perjanjian INF, maka pekerjaan penelitian berada pada tahap awal. Tetapi, ketika kini Gedung Putih tidak terikat oleh kewajiban INF, maka hal tersebut bergerak maju ke arah upaya pembangunan.

Dia mengatakan Amerika Serikat telah mulai membuat "komponen untuk mendukung pengujian pengembangan sistem ini", menambahkan bahwa pekerjaan tersebut "tidak akan konsisten dengan kewajiban kami di bawah perjanjian".

"Penelitian dan pengembangan ini dirancang untuk dapat diralat, jika Rusia kembali ke kepatuhan penuh dan dapat diverifikasi sebelum kami menarik diri dari perjanjian pada Agustus 2019," kata Baldanza.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Campur Tangan Sekutu

Selama beberapa tahun, Rusia membantah mengembangkan rudal jarak menengah, 9M729, tetapi setelah dibuktikan oleh intelijen AS tentang keberadaannya, Moskow berargumen bahwa jangkauannya di bawah 500 kilometer, sebagaimana yang disyaratkan dalam perjanjian INF.

Argumen itu tidak diterima oleh sekutu NATO yang mendukung pemerintahan Donald Trump, di mana mereka turut menyalahkan Rusia atas berakhirnya INF.

Thomas Countryman, mantan asisten menteri luar negeri untuk keamanan internasional dan nonproliferasi, mengatakan bahwa sangat mengecewakan ketika sekutu Eropa tidak memberikan tekanan lebih pada Rusia terkait pengembangan misilnya, sebelum Trump menarik diri dari INF.

"Tapi belum terlambat bagi Eropa untuk membuat proposal untuk menyarankan skenario pasca-INF," kata Countryman, ketua dewan Asosiasi Pengendalian Senjata di Washington.

Dia menambahkan bahwa perjanjian tersebut dapat dibuat untuk tidak menempatkan rudal Rusia dan AS di Eropa, atau berjanji untuk tidak membuat rudal jarak menengah baru yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

Senada dengan pernyataan di atas, Sergey Rogov, direktur institut untuk AS dan Kanada di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, mengatakan bahwa kembalinya rudal jarak menengah ke Eropa akan menciptakan situasi yang jauh lebih berbahaya daripada kebuntuan nuklir pada dekade 1980-an.

"Jika rudal baru AS dikerahkan di negara-negara Baltik atau Polandia, waktu terbang mereka ke Rusia adalah tiga atau empat menit," kata Rogov, berbicara pada Konferensi Kebijakan Nuklir Internasional Carnegie di Washington.

Dia menambahkan bahwa itu akan membuat sistem peringatan dini Rusia menanggapi secara berlebihan, memaksa Moskow untuk melakukan serangan balasan terhadap senjata AS, atau kembali ke sistem pertahanan perang dingin Perimeter, atau dikenal sebagai "Tangan Mati" karena memicu sebuah tanggapan nuklir otomatis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.