Sukses

AS Ajukan Proposal Gencatan Senjata untuk Akhiri Perang di Yaman

AS memberikan rincian rencana perdamaian yang ditengahi PBB, yang ditujukan untuk mengakhiri perang di Yaman.

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Amerika Serikat, pada Selasa 30 Oktober 2018 waktu setempat, telah memberikan rincian rencana perdamaian yang ditengahi PBB yang ditujukan untuk mengakhiri perang di Yaman.

Sebagai langkah awal, rencana itu akan dimulai dengan ikrar gencatan senjata selama 30 hari, dan dalam kurun waktu tersebut, diselenggarakan dialog damai di Swedia antara pihak yang berkonflik dalam perang Yaman: koalisi Arab Saudi-Uni Emirat dan pemerintahan Yaman yang didukungnya, dengan, kelompok Houthi.

Menteri Pertahanan AS James Mattis menambahkan bahwa Arab Saudi dan sekutu-sekutunya siap untuk sebuah kesepakatan gencatan senjata serta perdamaian. Ia menambahkan bahwa pembicaraan antara Koalisi pimpinan Saudi dan pemberontak Houthi sedang diatur oleh utusan khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, demikian seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (31/10/2018).

"Tiga puluh hari dari sekarang, kami ingin melihat semua orang berada di meja perdamaian, melakukan gencatan senjata, melakukan penarikan kembali pasukan dari perbatasan," kata Mattis.

"Itu akan memungkinkan utusan khusus PBB, Martin Griffiths, yang sangat baik, yang tahu apa yang dia lakukan, untuk mengumpulkan mereka di Swedia. Itulah satu-satunya cara kita akan menyelesaikan ini."

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, mengeluarkan pernyataan sekitar tiga jam kemudian, mengusulkan syarat-syarat spesifik untuk gencatan senjata.

"Saatnya adalah untuk penghentian permusuhan, termasuk serangan misil dan drone dari daerah yang dikuasai Houthi ke Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Selanjutnya, serangan udara koalisi harus berhenti di semua daerah berpenduduk di Yaman," kata Pompeo.

"Konsultasi substantif di bawah utusan khusus PBB harus dimulai November ini di negara netral, untuk menerapkan langkah-langkah membangun kepercayaan guna mengatasi isu-isu mendasar dari konflik, demiliterisasi perbatasan, dan memperketat pengaturan penggunaan semua senjata besar di bawah pengawasan internasional," tambah Pompeo.

Dialog damai pernah direncanakan pada September 2018, namun, gagal dilakukan karena perwakilan Houthi menolak hadir tanpa adanya jaminan hasil bahwa pasukan mereka yang terluka dapat kembali ke kantung pertahanan dengan selamat.

Baik Koalisi Arab Saudi dan Houthi yang didukung Iran belum mengadakan pembicaraan selama beberapa tahun terakhir.

Karena kegagalan untuk mengadakan pembicaraan pada bulan September, utusan PBB Martin Griffiths telah meluncurkan rencana perdamaian baru yang dibangun di atas langkah-langkah membangun kepercayaan termasuk membuka kembali bandara di ibukota, Sana'a, pertukaran tahanan dan pembayaran gaji pegawai negeri.

Konflik tiga tahun telah menelan lebih dari 10.000 jiwa dan menyebabkan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Upaya Saudi dan Uni Emirat untuk mencekik perekonomian di daerah-daerah yang dikuasai Houthi mengancam memicu kelaparan, yang menurut PBB bisa menjadi yang terburuk di dunia selama seratus tahun.

Amerika Serikat sendiri merupakan pendukung Saudi dalam perang Yaman dengan memberikan pasokan bahan bakar sebesar 20 persen untuk pesawat koalisi --yang melakukan bombardir udara di kantung-kantung pertahanan Houthi dan dilaporkan menewaskan warga sipil.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perubahan Kebijakan Usai Kasus Pembunuhan Jamal Khashoggi?

Politisi AS, Jeremy Konyndyk, menyarankan Washington DC mulai panik tentang apa yang bisa terjadi di Yaman dan berkembangnya oposisi kongres atas dukungan AS terhadap Saudi dalam perang Yaman. Itu mungkin dipicu atas kasus pembunuhan Arab Saudi Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul.

"Utusan PBB Martin Griffiths berada di DC minggu lalu dan pengarahannya pasti telah mengubah perspektif pejabat AS. Mereka bergerak cepat untuk memberinya ruang berjalan," kata Konyndyk dalam serangkaian tweet.

"Tidak ada negara yang menginginkan bencana kelaparan sebagai warisan pemerintahannya, dan terutama itu sangat terkait dengan kebijakan Saudi di Gedung Putih."

Hasil investigasi atas pembunuhan Jamal Khashoggi juga berpotensi berdampak pada penarikan dukungan Inggris untuk keterlibatan Arab Saudi dalam perang di Yaman, kata Menteri Negara Inggris Urusan Timur Tengah, Alistair Burt

Berbicara pada hari Selasa, Alistair Burt mengatakan kepada House of Commons itu "bukan pertanyaan tidak sah" untuk menanyakan apakah penyelidikan akan mengungkapkan sesuatu tentang karakter rezim di Riyadh dan bahwa ini akan berdampak pada perang di Yaman, di mana Saudi terlibat pada tahun 2015.

Para diplomat Barat juga enggan untuk menarik koneksi di depan umum, tetapi, mengakui Arab Saudi telah dilemahkan oleh perannya dalam pembunuhan Jamal Khashoggi, dan begitu juga rentan terhadap tekanan Barat untuk berdamai di Yaman.

Sementara itu, menteri pertahanan AS, James Norman Mattis, tidak mengatakan tindakan apa yang akan diambil pemerintah AS jika pihak yang bertikai tidak menyetujui gencatan senjata atau menghadiri pembicaraan.

Amerika, bersama dengan Inggris dan Perancis, memasok sebagian besar senjata untuk koalisi Saudi, tetapi, telah menolak untuk mengekang aliran senjata dalam menghadapi korban sipil dalam jumlah yang besar, penggunaan blokade koalisi, serta pengekangan ekonomi lainnya untuk memangkas wilayah yang dikendalikan Houthi --di mana sebagian besar warga sipil tinggal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.