Sukses

Berencana Jatuhkan Sanksi Rp 5 Triliun Terkait Impor ke Indonesia, AS Mengaku Siap Berdialog

Dubes Amerika Serikat mengatakan, pemerintah AS siap berdialog dengan pemerintah RI untuk menyelesaikan sengketa impor yang tengah menjadi kemelut antara kedua negara.

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan, pemerintah AS siap berdialog dengan pemerintah RI untuk membahas dan menyelesaikan sengketa impor yang tengah menjadi kemelut antara kedua negara.

Sebelumnya, dalam dokumen yang dipublikasikan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berbasis di Jenewa pada 6 Agustus 2018, AS meminta organisasi multilateral itu untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta (setara Rp 5 triliun).

Permintaan itu, menurut alasan AS, disebabkan karena Indonesia tak melaksanakan putusan WTO yang memenangkan gugatan Negeri Paman Sam terkait kebijakan pembatasan impor yang diterapkan oleh Jakarta.

Lewat gugatan itu, AS mendesak Indonesia untuk melonggarkan kebijakan impornya agar produk ekspor dari Negeri Paman Sam bisa masuk ke Tanah Air. Desakan itu muncul, di tengah upaya pemerintah RI yang tengah mengejar swasembada pangan dan melepaskan ketergantungan dari impor produk asing.

AS menggugat Indonesia melalui WTO pada 2013, karena Jakarta menerapkan pembatasan impor terhadap sejumlah produk hortikultura dan peternakan --yang menjadi andalan ekspor Amerika ke Indonesia.

Kebijakan itu, klaim Washington, merugikan keuntungan ekspor AS ke Indonesia hingga sebesar US$ 350 juta per tahun 2017. Nominal itu kemudian dijadikan retaliasi oleh AS dalam mengusulkan sanksi terhadap Indonesia via mekanisme WTO.

"Jumlah itu sesuai dengan total nilai kerugian kami ketika Indonesia mulai menerapkan kebijakan itu," kata Dubes AS untuk RI Joseph Donovan di Jakarta, Jumat (10/9/2018).

Melanjutkan komentarnya terkait situasi tersebut, Donovan mengatakan, "Kami menyadari bahwa Indonesia masih berusaha menegosiasikan isu itu di WTO ... Namun di sisi lain, kami siap bekerjasama dan berdialog langsung dengan Indonesia untuk menyelesaikan isu tersebut di tengah berlangsungnya proses negosiasi di WTO."

Di sisi lain, seperti dikutip dari rilis resmi Kementerian Perdagangan RI, pemerintah Indonesia "berencana akan melakukan konsultasi dengan AS guna menjelaskan secara lebih rinci langkah-langkah yang telah diambil Pemerintah. Pihak AS telah memberikan indikasi kesediaannya untuk melaksanakan konsultasi bilateral sebelum keputusan final AS diambil apakah akan melakukan retaliasi (sanksi) atau tidak."

Dirjen Kemendag: Indonesia Telah Mematuhi Mandat WTO

Pada kesempatan dan waktu terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, sejak mendapat keputusan sidang Indonesia sebenarnya sudah mengubah beberapa aturan yang dianggap merugikan Amerika Serikat.

Beberapa aturan tersebut antara lain Peraturan Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian sesuai waktu yang dijanjikan.

"Selanjutnya apakah mereka sudah puas dengan perubahan yang kita lakukan tentu itu harus disampaikan oleh WTO," ujarnya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Selasa 7 Agustus 2018.

Oke melanjutkan, perubahan-perubahan aturan kebijakan impor itu sebenarnya sudah disampaikan kepada WTO. Saat ini Indonesia masih menunggu hasil pertimbangan dan penilaian organisasi perdagangan dunia tersebut, "Apakah dianggap telah memenuhi keputusan yang ditetapkan WTO atau belum," tutur dia.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Latar Belakang Sengketa Impor

Sebelumnya, pada 9 November 2017 lalu, Pengadilan Banding WTO (Appelate Body World Trade Organization) memutuskan tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya, tidak konsisten dengan aturan GATT 1994 (The General Agreement on Tarrifs and Trade 1994).

Kebijakan pembatasan impor Indonesia, menurut AS, dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) GATT mengenai penghapusan terhadap pembatasan jumlah impor (General Elimination on Quatitative Restriction).

WTO meminta Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan impornya sampai 22 Juli 2018. Meski telah melakukan berbagai peninjauan, AS selaku penggugat merasa hal itu tak cukup, dan akhirnya mengajukan rencana sanksi Rp 5 triliun pada 6 Agustus 2018.

Menyikapi hal tersebut, Perwakilan Tetap RI di PBB Hassan Kleib mengatakan dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com pada 7 Agustus 2018:

"Pihak AS masih melihat ada beberapa yang belum sesuai klausul dan karenanya meminta diadakan sidang di Badan Penyelesaian Sengketa WTO (DSB) sesuai permintaan nya tanggal 2 Agustus 2018 tersebut."

"RI tentunya akan kembali menjelaskan berbagai perubahan (revisi berbagai peraturan importasi) yang telah dilakukan sejak adanya keputusan akhir Panel dan Appellate Body WTO --yaitu pada 22 Juli 2018."

WTO sendiri, melalui Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) sendiri telah memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk meninjau kembali klausul-klausul yang diusulkan dalam mandat WTO.

"Para pihak memberitahu DSB bahwa mereka telah sepakat bahwa Indonesia akan memiliki lebih banyak waktu untuk membuat perubahan hukum yang diperlukan untuk mematuhi rekomendasi dan keputusan DSB," demikian seperti dikutip dari keterangan tertulis WTO.

"Dengan demikian, Amerika Serikat dan Selandia Baru tidak akan memulai proses lebih lanjut sehubungan dengan ukuran pada kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik sampai 19 bulan sejak tanggal adopsi laporan dalam sengketa ini, yaitu hingga 22 Juni 2019."

Ini menjadi ombak baru dalam upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan impor komoditas tersebut dari negara asing. Di sisi lain, Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, dianggap oleh negara asing pengekspor pangan sebagai pasar impor yang menguntungkan.

Pada kurun periode yang sama ketika AS mulai mengajukan gugatan ke WTO, Kementerian Pertanian RI (Kementan) mengalokasikan sebesar Rp 23,8 triliun untuk program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengungkapkan, anggaran tersebut akan dipakai untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas rempah-rempah.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga diberikan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu dialokasikan untuk benih dan pupuk tanaman perkebunan, seperti rempah-rempah, tanaman semusim, tanaman penyegar, dan tanaman tahunan.

Akan tetapi, kebijakan swasembada pangan yang diterapkan oleh Indonesia, acap kali dijadikan 'prekursor' bagi negara asing --terutama yang mengandalkan ekspor komoditas pangan ke RI-- untuk 'menggoyah' Jakarta lewat WTO.

Selain AS dan Selandia Baru yang mengajukan gugatan resmi ke WTO, ada belasan negara lain yang 'ikut menunggangi' persengketaan tersebut, antara lain: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India, Singapura dan Thailand.

Seperti dikutip dari laman resmi WTO, masing-masing negara itu, telah mengajukan konsultasi kepada Indonesia sejak kurun 2014-2017 agar Tanah Air melakukan peninjauan kembali atas kebijakan pembatasan impor tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.