Sukses

Terungkap, Sering Makan di Luar Ternyata Buruk bagi Kesehatan

Sering makan di luar, menurut penelitian ilmiah, berbahaya bagi kesehatan, termasuk bersantap di restoran.

Liputan6.com, Seattle - Konon, terlalu sering menyantap makanan di luar dapat meningkatkan asupan gula dan lemak yang tidak sehat. Pernyataan itu diperkuat oleh sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa ada alasan lain mengapa hal ini benar-benar bersifat buruk, yakni sebuah ancaman kesehatan berjuluk phthalates.

Dilansir dari CNN pada Jumat (30/3/2018), phthalates adalah bahan kimia berbahaya yang ditemukan di ratusan produk konsumen, termasuk parfum, semprotan rambut, sampo, serta plastik yang digunakan dalam pemrosesan dan pengemasan makanan.

Konsumsi bahan kimia ini telah dikaitkan dengan cacat lahir pada bayi, serta masalah perilaku dan obesitas pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa.

Paparan berlebih bahan kimia ini di uterus, dapat mengubah perkembangan saluran reproduksi laki-laki, yang mengakibatkan penurunan yang tidak lengkap dari satu atau kedua buah zakar.

Para ilmuwan juga menduga bahwa bahan kimia ini dapat mengganggu hormon, dan dapat memicu masalah kesuburan. Temuan ini telah diteliti pada mereka yang mengalami obesitas, asma, masalah neurologis, masalah kardiovaskular, dan bahkan kanker.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Environment International pada Rabu, 28 Maret 2018, menemukan bahwa tingkat phthalate pada menu makanan di restoran, kafetaria, dan gerai makanan cepat saji terbukti 35 persen lebih tinggi dari produk pangan dalam kemasan.  

"Phthalates adalah jenis bahan kimia sintetis yang dikenal bisa menjadi pengganggu endokrin, yang berarti mempengaruhi hormon dalam tubuh," kata Dr Sheela Sathyanarayana, seorang profesor kesehatan anak di Seattle Children's Hospital dan University of Washington.

Mereka yang makan malam di luar, mungkin terpapar dengan bahan kimia melalui makanan yang telah bersentuhan dengan kemasan plastik, kata Ami Zota, asisten profesor kesehatan pada George Washington University.

"Gagasan utamanya adalah, bahwa makanan yang dibuat di restoran dan kafetaria mungkin bersentuhan dengan bahan-bahan yang mengandung ftalat, sebagian karena sebagian porsi makanan dibuat di lokasi yang terdesentralisasi," kata Zota.

Mennurut Zota, sub-bagian phthalates yang paling berdampak bagi kesehatan adalah plasticizer, yang kerap digunakan untuk melunakkan plastik.

Bahan tersebut dapat ditemukan pada kemasan makanan, sarung tangan makan, dan juga peralatan makan berbahan plastik.

Studi ini mengandalkan data yang dikumpulkan antara 2005 dan 2014 dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional, yang diselenggarakan setiap dua tahun oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS.

Ini termasuk 10.253 orang yang ditanya tentang kebiasaan makan mereka selama 24 jam terakhir, dan yang memberikan sampel urin untuk mengevaluasi tingkat phthalate dalam tubuh.

Para peneliti menemukan bahwa sekitar dua pertiga responden mengaku makan setidaknya satu kali sehari sebelumnya. Mereka yang makan malam juga memiliki kadar phthalate metabolites yang lebih tinggi dalam urin.

Keterkaitan ini konsisten di semua usia, jenis kelamin dan etnis. Akan tetapi, dampak terkuat terjadi di kelompok remaja yang sering menyantap makanan di luar. Mereka memiliki tingkat ftalat 55 persen lebih tinggi daripada mereka yang makan di rumah.

 

Simak video tentang sensasi makan malam romantis di ketinggian 50 meter berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengembangan dari Penelitian Serupa yang telah Dilakukan Sebelumnya

Ini bukan tingkat phthalate pertama yang dikaitkan dengan sumber makanan. Pada 2016, Zota memimpin penelitian yang menunjukkan hubungan antara paparan phthalate dan restoran cepat saji.

Studi baru ini memperluas penelitian tersebut, dengan menunjukkan bahwa hubungan tetap ada, bahkan ketika makan di tempat-tempat lain, seperti restoran dan kafetaria.

"Kami pertama kali menggunakan metodologi ini untuk fokus pada makanan cepat saji, dan menemukan beberapa asosiasi yang mencolok antara konsumsi makanan cepat saji baru-baru ini dan paparan phthalate," kata Zota.

"Dan sekarang, kami memperluas itu untuk melihat apakah temuan itu unik untuk makanan cepat saji, atau bagaimana mereka dibandingkan dengan gerai makanan lain, yang mungkin mencerminkan jenis lain dari pengolahan makanan dan sistem manufaktur?" lanjutnya menjelaskan.

Tahun lalu, sebuah laporan menemukan konsentrasi tinggi phthalates dalam menu mac n cheese yang disajikan di restoran, dan mendorong pengaturan tambahan bahan kimia dalam makanan.

Meskipun FAO telah serius memantau tingkat phthalates dalam sejumlah kosmetik, hal tersebut tidak diterapkan sama baiknya pada produk makanan atau minuman.

Sementara itu, kabar baiknya adalah bahwa lama phthalate mengendap di dalam tubuh, rata-rata tidak lebih dari satu hari.  

"Makanan rumahan dapat menjadi cara yang baik untuk mengurangi gula, lemak dan garam yang tidak sehat, dan hal ini mungkin tidak memiliki banyak phthalates yang berbahaya sebagai makanan restoran,"saran Zota.

"Hal penting lainnya adalah bahwa bahan kimia ini ada di mana-mana di lingkungan," tambahnya.

"Jadi, untuk benar-benar mengurangi paparan terhadap bahan kimia berbahaya ini, kita perlu perubahan sistemik terhadap bagaimana makanan kita diproduksi dan diangkut, dan itu akan membutuhkan perubahan dalam kebijakan serta solusi berbasis pasar."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.