Sukses

Kisah Masjid di Paris yang Selamatkan Ratusan Kaum Yahudi dari Pembantaian

Sebuah masjid berdiri di ibu kota Prancis, Grande Mosquée de Paris. Tempat itu menjadi saksi peristiwa sejarah berlatar sengitnya Perang Dunia II.

Liputan6.com, Paris - Tak banyak yang tahu, ada masjid di Paris, Prancis. Grande Mosquée de Paris, demikian rumah ibadah itu dikenal, terletak di Latin Quarter, hanya selemparan batu dari museum sejarah alam.

Masjid tersebut dibangun pada 1926, pasca-Perang Dunia I, sebagai simbol penghargaan dan ucapan terima kasih atas jasa pasukan infanteri yang berasal dari wilayah koloni Prancis. Kala itu, sekitar 10 ribu orang dari mereka gugur dalam perang melawan Jerman, termasuk dalam Pertempuran Verdun yang berlangsung lama dan brutal di Front Barat.

Rumah ibadah yang memiliki menara setinggi 33 meter itu diresmikan oleh Presiden Gaston Doumergue pada 15 Juli 1926. Ahmad al-Alawi, pendiri aliran sufi Darqawiyya Alawiyya, memimpin salat jemaah pertama di sana.

Tak hanya menjadi tempat salat, Masjid Raya Paris juga dioperasikan sebagai institut, menawarkan dukungan dan bantuan pada muslim yang tinggal atau mengunjungi ibu kota Prancis.

Seperti dikutip dari The Vintage News, Rabu (7/3/2018), masjid tersebut juga pernah dipimpin oleh Si Kaddour Banghabrit. Ia yang berasal dari keluarga terkemuka di Andalusia, menuntut ilmu di sebuah madrasah di Aljazair dan melanjutkan ke University of al-Karaouine.

Banghabrit pernah menjadi asisten penerjemah di Legation of France, kemudian ia pindah ke Tangier, sebuah kota besar di Moroko. Di sana, pria itu bertugas sebagai penghubung antara pejabat Afrika Utara dan Kementerian Luar Negeri Prancis.

Pada 1916, ia dikirim ke Hijaz, Arab Sadi untuk membantu memfasilitasi haji, memastikan kesejahteraan umat muslim yang beribadah di Tanah Suci.

Tugasnya difokuskan pada jemaah dari Afrika Utara. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah memprakarsai Society of Habous dan the Holy Places of Islam, yang memastikan bahwa muslim Afrika Utara diakomodasi dengan baik dan diurus selama ibadah.

Saat Si Kaddour Banghabrit memimpin Grande Mosquée de Paris, Perang Dunia II baru saja menjelang.

Prancis jatuh ke tangan musuh. Banghabrit pun tergerak untuk menyelamatkan warga kota, tak hanya muslim, tapi juga kaum Yahudi.

Atas nama kemanusiaan, ia terlibat langsung membantu ratusan orang Yahudi yang terancam dibantai, dengan membuat dokumen palsu yang menyatakan mereka sebagai muslim. Salah satu yang selamat adalah penyanyi Aljazair terkemuka, Alim Halali.

Tanpa bantuan sosok mulia itu, kaum Yahudi niscaya akan ditangkap dan dijebloskan ke kamp konsentrasi.

Keluarga-keluarga Yahudi diberikan akomodasi dan perlindungan oleh masjid. Dalam kondisi gawat, mereka akan disembunyikan di bangunan bawah tanah rumah ibadah itu, menanti dokumen palsu, yang akan membawa mereka ke "zona bebas", menyeberangi Laut Tengah ke Maghreb.

Kebanyakan kaum Yahudi dibawa ke masjid oleh partisan Aljazair, yang kebanyakan adalah pekerja.

Para partisan tersebut juga bertugas menyelamatkan dan melindungi pasukan penerjun payung Inggris.

Hingga saat ini, belum jelas berapa jumlah orang Yahudi yang berlindung di balik dinding Masjid Raya Paris. Ada yang menyebut 500 hingga 1.600 orang.

Kisah mulia tentang apa yang dilakukan oleh pemimpin masjid di Paris kala menyelamatkan sesama manusia, menjadi inspirasi sebuah film berjudul Les Hommes Libres atau Free Men -- Orang-Orang Merdeka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejarah yang Nyaris Terlupakan...

Kisah muslim yang menyelamatkan Yahudi dari holocaust, seperti dikutip dari The New York Times, bukan sesuatu yang mustahil.

Kala itu, awal 1940-an, Prancis adalah rumah bagi populasi besar orang Afrika Utara, termasuk ribuan Yahudi Sephardik.

Orang-orang Yahudi berbicara bahasa Arab dan berbagi banyak tradisi dan kebiasaan sehari-hari dengan orang-orang Arab. Mereka tak makan babi, para prianya sama-sama wajib disunat. Nama pun nyaris sama.

Grande Mosquée de Paris yang megah serupa benteng dengan tembok kokoh. Fungsi utamanya untuk salat. Namun, rumah ibadah itu juga mirip oasis, di mana para pengunjung diberi makan dan pakaian, bisa mandi, serta beristirahat.

Benjamin Stora, sejarawan yang menjadi konsultan film Les Hommes Libres mengatakan, tayangan tersebut adalah sebuah pengingat.

"Tak banyak orang yang tahu bahwa muslim membantu Yahudi. Masih banyak kisah yang bisa diutarakan dan ditulis," kata dia.

Film yang disutradarai oleh Ismael Ferroukhi digambarkan sebagai fiksi yang terinspirasi oleh kejadian nyata.

Aktor veteran Prancis, Michael Lonsdale, memerankan Benghabrit yang melakukan manuver cerdas agar pihak Nazi tak curiga. Caranya, dengan menawarkan tur masjid ke para perwira Jerman dan istri-istri mereka.

Sementara, catatan sejarah tentang kejadian tersebut tak lengkap. Apalagi, bantuan kepada kaum Yahudi tak diberikan secara terorganisasi oleh pihak masjid. Salah satu kesaksian diberikan oleh Albert Assouline, Yahudi asal Afrika Utara yang melarikan diri dari sebuah kamp penjara Jerman.

Ia mengklaim bahwa lebih dari 1.700 pejuang perlawanan -- termasuk orang-orang Yahudi dan sejumlah kecil muslim dan Kristen -- menemukan tempat berlindung di gua-gua bawah tanah masjid.

Assouline juga mengatakan bahwa pemimpin masjid memberikan dokumen yang menyelamatkan banyak kaum Yahudi.

Dalam bukunya Among the Righteous yang terbit pada 2006, Robert Satloff, Direktur Washington Institute for Near East Policy, mengungkapkan kisah tentang orang-orang Arab yang menyelamatkan kaum Yahudi selama era holocaust. Ia menyertakan cerita tentang masjid di Paris.

Pemimpin Grande Mosquée de Paris pada 2011, Dalil Boubakeur mengonfirmasi bahwa lebih dari 100 orang Yahudi diberikan dokumen palsu untuk selamat.

Boubakeur menunjukkan salinan dokumen Kementerian Luar Negeri tahun 1940 dari Arsip Prancis.

Dokumen itu menyebut, otoritas pendudukan menduga personel masjid mengirimkan surat identitas muslim palsu kepada orang Yahudi. "Imam tersebut dipanggil, dengan cara yang mengancam, untuk mengakhiri praktik semacam itu," kata dokumen tersebut.

Masjid Paris menolak memberikan izin untuk pembuatan film apa pun di sana. "Ini adalah tempat ibadah," kata Boubakeur dalam sebuah wawancara, seperti dikutip dari The New York Times. "Salat digelar lima kali sehari. Kegiatan syuting film pasti akan mengganggu."

Sebuah film dokumenter televisi 1991, Une Résistance Oubliée: La Mosquée de Paris oleh Derri Berkani dan buku anak-anak berjudul The Grand Mosque of Paris: A Story of How Muslims Saved Jews During the Holocaust yang terbit pada 2007 juga menyingkap kisah serupa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini