Sukses

Peneliti: Remaja yang Gemar Main Gadget Tidak Bahagia

Penelitian ini dilakukan oleh San Diego State University dan University of Georgia. Gadget dinilai buat remaja tidak bahagia.

Liputan6.com, New York - Sebuah penelitian yang baru-baru ini dirilis menyebut, teknologi dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama bagi remaja. Hasil penelitian tersebut juga menemukan, remaja yang menghabiskan banyak waktu pada gadget atau gawai mereka cenderung tidak bahagia.

Dikutip dari laman AsiaOne, Kamis (25/1/2018), penelitian ini dilakukan oleh tim riset dari San Diego State University dan University of Georgia.

Tim riset mengumpulkan data terhadap survei yang dilakukan kepada 1,1 juta siswa SMA di Amerika Serikat yang gemar menghabiskan waktu dengan perangkat digital mereka.

Rata-rata, mereka yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan gadget, seperti mengirim SMS, bermain gim atau sosial media, dikatakan kurang bahagia.

Ini dibandingkan dengan mereka yang mengambil bagian dalam kegiatan non-gadget seperti olahraga, membaca koran, dan interaksi sosial tatap muka.

Salah seorang tim riset, Jean M Twenge mengomentari temuan tersebut dan mengatakan bahwa aktivitas dengan gawai membuat orang tidak bahagia.

"Meskipun penelitian ini tidak dapat menunjukkan sebab-akibat, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan media sosial lebih banyak mengarah pada ketidakbahagiaan," ujar Twenge.

Studi tersebut juga menemukan adanya penurunan kepuasan dan kebahagiaan remaja. Hal ini dianggap buruk karena pada 2012, persentase remaja AS yang menggunakan gawai meninggal jadi 50 persen.

"Sejauh ini, perubahan terbesar dalam kehidupan remaja antara tahun 2012 dan 2016 adalah peningkatan jumlah waktu yang mereka habiskan untuk media digital," jelas Twenge.

"Kemunculan gadget adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk penurunan psikologis pada remaja," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Survei: Instagram Adalah Medsos Terburuk untuk Kesehatan Mental

Pada Juni 2017, sebuah survei yang dilakukan kepada hampir 1.500 remaja dan dewasa muda menyebut, Instagram adalah media sosial terburuk bagi kesehatan mental dan kesejahteraan.

Platform tersebut juga disebut terkait dengan tingkat kecemasan, depresi, bullying, dan Fear of Missing Out (FOMO) -- ketakutan bahwa orang lain sedang mengalami kejadian menyenangkan, di mana ia tidak merasa terlibat.

Survei #StatusOfMind yang dipublikasi Royal Society for Public Health Inggris, terdapat lima media sosial yang masuk ke dalam survei. Jika diurutkan dari yang terburuk, medsos tersebut adalah Instagram, Snapchat, Facebook, Twitter, dan You Tube.

Studi sebelumnya mengatakan bahwa anak muda yang menghabiskan lebih dari dua jam sehari di situs media sosial, lebih cenderung mengalami tekanan psikologis.

"Melihat teman-teman terus-menerus berlibur atau menikmati malam luar biasa membuat anak muda merasa kehilangan saat yang lain menikmati hidup," laporan #StatusOfMind menyatakan. "Perasaan ini bisa meningkatkan sikap membandingkan dan putus asa."

Dikutip dari Time, unggahan di media sosial juga bisa menetapkan harapan yang tidak realistis dan menciptakan perasaan tidak mampu dan rendah diri.

"Instagram dengan mudah membuat anak perempuan dan wanita merasa seolah-olah tubuh mereka tidak cukup baik karena orang menambahkan filter dan mengedit gambar mereka agar mereka terlihat 'sempurna'," tulis salah satu responden.

 

3 dari 3 halaman

Timbulkan Depresi dan Kecemasan

Penelitian lain telah menemukan bahwa semakin banyak media sosial yang dimiliki dewasa muda, semakin besar kemungkinan mereka merasa depresi dan cemas.

Untuk mengurangi dampak berbahaya media sosial pada anak-anak dan orang dewasa awal, Royal Society meminta perusahaan media sosial melakukan perubahan. Laporan tersebut merekomendasikan adanya peringatan berupa pop-up yang bertuliskan 'penggunaan berat' di dalam aplikasi -- sekitar 71 persen responden survei mengatakan bahwa mereka akan mendukungnya.

Mereka juga merekomendasikan agar perusahaan menemukan cara untuk menyoroti saat foto seseorang telah dimanipulasi secara digital, serta mengidentifikasi dan menawarkan bantuan kepada pengguna yang dapat menderita masalah kesehatan mental.

Pemerintah juga dapat berperan dengan mengajarkan penggunaan media sosial yang aman di sekolah-sekolah. Bagi para profesional yang bekerja dengan pemuda, dapat dilatih dalam penggunaan media digital dan sosial untuk penelitian lebih lanjut mengenai dampak media sosial terhadap kesehatan mental.

Royal Society berharap dapat memberdayakan orang dewasa untuk menggunakan jejaring sosial dengan cara yang dapat melindungi dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Meski memiliki dampak negatif, ada beberapa manfaat yang didapatkan dari media sosial, seperti menampilkan identitas dan ekspresi diri, serta membangun komunitas dan dukungan emosional.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini