Sukses

3 Alasan Tahun 2018 Jadi Zona Bahaya bagi Filipina

Pasca meletusnya Perang Marawi, Filipina akan menghadapi tantangan yang lebih menegangkan pada tahun 2018. Kenapa demikian?

Liputan6.com, Manila - Tahun 2017 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi Filipina. Negara itu telah menghadapi masalah keamanan dan politik yang krusial. Meski demikian, hukum yang berlaku di sana sangat tegas dan tidak pandang bulu.

Ambilah contoh pemberantasan peredaran narkoba atau perang narkoba Filipina. Saat dilantik menjadi presiden 30 Juni 2016, Rodrigo Duterte menerapkan aturan yang mengharuskan pengedar narkoba ditembak mati di manapun pelaku berada. Hukum baru ini menuai banyak kecaman karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Dalam dua pekan pertama masa kepresidenan Rodrigo Duterte, lebih dari 100 pengedar narkoba tewas, 1.844 ditangkap dan 66.000 pemakai dan pengedar narkoba menyerahkan diri. Pada Agustus 2016, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 1.800 dibunuh, 5.400 ditangkap, serta 565.805 pengedar dan pemakai menyerahkan diri kepada kepolisian.

Selain hukum "tembak di tempat bagi pengedar dan pengguna narkoba", Filipina juga pernah mengalami krisis keamanan di Marawi, kota Muslim di pulau Mandano. Selama lima bulan lamanya, pertempuran terjadi antara pasukan keamanan pemerintah Filipina dan para militan yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (NIIS), termasuk kelompok Maute dan jihad Salafi Abu Sayyaf.

Lalu, bagaimana Filipina di tahun 2018? Mengapa banyak pengamat yang menyatakan bahwa tahun ini adalah zona berbahaya bagi negara tersebut? Berikut alasannya, seperti dikutip dari Deutsche Welle, Senin 1 Januari 2018.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Duterte Hanya Bertindak Berdasarkan Nalurinya

Satu kata yang patut disematkan untuk Filipina saat ini yaitu "menantang". Kata ini diucapkan oleh mantan dekan Ateneo School of Government dari Ateneo de Manila University, Tony Lavina, yang memandang lanskap politik Filipina tahun lalu sebagai sesuatu hal ekstrem.

"Presiden Duterte memerintah seperti walikota. Tidak ada rencana, tidak ada visi jangka panjang. Dia hanya bergantung pada naluri diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemicu yang bisa menghilangkan nyawanya," kata La Vina.

Sebelum menjadi presiden, Duterte adalah walikota Davao City yang menjabat selama lebih dari 20 tahun. Karena itulah, La Vina memprediksi kediktatoran Duterte akan terbentuk secara formal selama ia menjabat. Konstitusi lama dihapuskan dan konstitusi baru akan diterapkan untuk menanamkan kekuasaan tanpa batas Duterte dan sekutunya.

"Sebuah kediktatoran tidak akan pernah berakhir dengan baik, karena itulah saya memperkirakan 2018 sebagai 'zona berbahaya'," imbuh Vina.

3 dari 4 halaman

2. Keamanan yang Rapuh

Sejarawan militer dan ahli keamanan nasional Jose Antonio Custodio mengaitkan kerusuhan di Filipina dengan kebijakan keamanan "scatterbrain" milik pemerintah.

"Situasi di Filipina tidak pernah seburuk ini sebelum pemerintahan Duterte. Sekarang, Mindanao telah hancur. Oportunis seperti komunis dan China mengambil keuntungan dari kekacauan ini," kata Custodio.

Ia mencatat, pemerintah telah salah fokus lantaran terlalu berpacu dengan "perang melawan narkoba". Ini menyebabkan salah perhitungan dan menimbulkan ancaman keamanan yang lain.

"Itulah mengapa militer dibutakan oleh Maute yang mengambil alih Marawi," imbuh Custodio.

Pada bulan Mei, kelompok Maute dan Abu Sayyaf -- kelompok militan yang terkenal karena menculik dan memenggal kepala korbannya di Filipina selatan -- menyerbu Marawi.

Militer Filipina, yang lebih terbiasa berperang di rimba, kocar-kacir saat ditugaskan di wilayah asing untuk melawan musuh yang sangat terorganisir dengan baik. Butuh waktu lima bulan bagi pasukan militer untuk membebaskan Marawi.

Pengepungan tersebut menunjukkan bahwa ekor dari ekstremisme telah sampai ke Asia Tenggara. Bahkan ada yang menganggap bahwa kini Marawi menjadi destinasi yang seksi bagi jihadis. Senada dengan pernyataan ini, Custodio menekankan bahwa peperangan Marawi membuat militer Filipina terdesak.

"Ada laporan bahwa orang-orang Maute melakukan konsolidasi, oleh karenanya kota-kota lain di Mindanao menjadi terancam," ucap Custodio.

"Apabila muncul serangan lain, maka ini akan menjadi bencana bagi militer Filipina, mengingat mereka masih dalam masa-masa pemulihan dari kerugian fisik dan meteril," lanjutnya.

Jika situasi politik memburuk, kata Custodio, maka imbasnya akan menjalar terhadap situasi ekonomi di Filipina.

4 dari 4 halaman

3. Demokrasi di Ambang Kehancuran

Analis politik Richard Heydarian setuju bahwa krisis Marawi secara langsung telah menguji keberanian Duterte.

"Bagaimana bisa sebuah kelompok yang terinspirasi oleh ISIS membuka jalan, menimbun senjata dan mengambil alih sebuah kota? Peperangan Marawi adalah kegagalan besar dari janji Duterte yang katanya ingin membawa perdamaian," tegasnya.

Ketika kampanye perang melawan narkoba digencarkan, Heydarian melihat pembunuhan remaja berusia 17 tahun bernama Kian delos Santos. Ia tertembak secara tak sengaja oleh polisi yang sedang mengamankan aksi demo terkait perang melawan narkoba Duterte.

"Pembunuhan Delos Santos mengakibatkan penurunan pamor Duterte," ucap Heydarian.

Dalam konteks ini, Heydarian melihat gaya otoriter pemerintahan Duterte seperti kediktatoran tahun 1970-an dan 80-an.

"Oposisi tidak memiliki kejelasan narasi dan Duterte menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pilihan yang tepat. Demokrasi Filipina jelas berada di ambang kehancuran," katanya menyimpulkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini