Sukses

HEADLINE: 11 Pangeran Arab Saudi Ditangkap demi Amankan Takhta?

Putra Mahkota Arab Saudi menabuh genderang perang lawan korupsi. Perbaiki citra kerajaan atau langkah agresif menuju takhta?

Liputan6.com, Riyadh - Penangkapan besar-besaran dilakukan badan anyar yang dipimpin Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman, Sabtu malam, 4 November 2017. Sekali ciduk, 11 pangeran, empat menteri yang masih menjabat, dan belasan eks anggota kabinet pemerintahan terjaring.

Pemberantasan korupsi jadi alasan penangkapan para elite. Namun, sejumlah analis beranggapan, itu adalah dalih menuju takhta. 

"Pangeran Bin Salman mungkin berdalih ia tengah melawan korupsi. Namun, penangkapan terhadap menteri, eks anggota kabinet, dan para pangeran senior akan mengejutkan para pemerhati isu Arab, yang akan menganggap langkah itu sebagai sebuah konsolidasi kekuasaan," kata David Ignatius, pemerhati politik asal Amerika Serikat sekaligus kolumnis untuk The Washington Post.

Salah satu figur ternama yang ditangkap adalah Pangeran Alwaleed Bin Talal, cucu pendiri Saudi, Abdulaziz al-Saud, dan keponakan raja yang menjabat saat ini, Salman Bin Abdulaziz al-Saud.

Dengan bendera King Holding Company, Alwaleed, yang pernah masuk dalam daftar orang terkaya dunia versi Forbes itu, diketahui memiliki investasi di sejumlah perusahaan ternama asal Amerika Serikat. Sebut saja Twitter, Apple, News Corporation, Citigroup, hotel Four Seasons, Ratona Group, dan perusahaan layanan berbagi transportasi Lyft.

Ada satu nama lagi yang penangkapannya mengejutkan. Ia adalah Pangeran Miteb bin Abdullah, Kepala Garda Nasional Arab Saudi.

Ayah Pangeran Miteb adalah almarhum Raja Abdullah, yang juga pernah memimpin Garda Nasional dan mengubahnya menjadi pasukan yang kuat dan bergengsi.

Tugas utama Garda Nasional adalah melindungi Dinasti Al Saud yang berkuasa, mengamankan tempat-tempat suci yang penting di Mekah dan Madinah, juga ladang-ladang minyak yang membuat Arab Saudi dijuluki negara petrodolar.

Pangeran Miteb pernah dianggap sebagai pesaing takhta. Pelengserannya sebagai pimpinan Garda Nasional bahkan sudah dianggap sebagai upaya menyingkirkan rival terberat sang putra mahkota.

Penggulingan Pangeran Miteb dilakukan hanya tiga bulan setelah Pangeran Mohammed bin Nayef disingkirkan dari garis suksesi sekaligus dari jabatannya sebagai menteri dalam negeri. Sebelumnya, dialah yang menyandang gelar putra mahkota.

Usai dua pangeran tersingkir, kendali bidang keamanan kini ada di tangan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. 

Hanya dalam dua tahun, Mohammed bin Salman menjelma jadi sosok sentral. Tak hanya berstatus putra mahkota, ia juga menjabat sebagai wakil perdana menteri--di bawah sang ayah yang juga menjabat sebagai PM--dan menteri pertahanan. Semua posisi bergengsi itu didapatnya di usia muda, yakni 32 tahun.

Seperti dikutip dari The New York Times, kekuasaannya yang menggurita tentu saja memicu resistensi di dalam maupun luar keluarga kerajaan. Pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota bahkan tak disetujui secara bulat oleh para bangsawan. Ia melewati sekitar 36 pangeran lain yang dianggap mampu memerintah Arab Saudi.

Dalam sistem suksesi Arab Saudi, kekuasaan diberikan secara bergiliran antara anak-anak dan keturunan pendiri kerajaan, Raja Abdulaziz atau Ibn Saud sejak kematiannya pada 1953.

Itu mengapa, pemilihan raja Arab Saudi dilakukan dengan mengedepankan primus inter pares alias musyawarah daripada monarki absolut. 

Namun, sejarah mencatat, dua raja dilengserkan secara paksa. Raja Saud bin Abdulaziz al Saud digulingkan pada 1964. Sementara, Raja Faisal bin Abdul Aziz dibunuh keponakannya sendiri. Itu artinya, sistem suksesi yang mengedepankan stabilitas "boleh" dilanggar.

Sejumlah dugaan menyebut, Raja Salman yang kini berusia 81 tahun bisa jadi mundur dalam waktu dekat, dengan alasan kesehatan. Atau, ia bisa saja mangkat.

Manuver Mohammed bin Salman diduga untuk memuluskan jalannya menuju takhta. Bisa jadi, ia ingin menyingkirkan bibit-bibit perlawanan. "Sang pangeran muda hendak menggenggam kekuatan eksekutif itu secara agresif demi mendorong agendanya," ucap David Ignatius.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Manuver Berisiko Sang Putra Mahkota

Sebelas pangeran yang dibekuk dilaporkan ditahan di Ritz Carlton, Riyadh. Mereka tak ditahan di penjara biasa seperti halnya rakyat kebanyakan. Seperti dilaporkan AP, lima hotel mewah lainnya juga dijadikan lokasi penahanan sementara bagi para menteri dan pejabat.

Ritz Carlton di ibu kota Arab Saudi tak bisa di-booking tamu hingga 1 Desember 2017, mengindikasikan bahwa proses penyelidikan di hotel mewah itu bisa berlangsung berminggu-minggu.

Sementara itu, satu pangeran yang tak masuk daftar mereka yang ditangkap, tewas dalam kecelakaan udara, Minggu, 5 November 2017.

Seperti dikutip dari BBC, Pangeran Mansour bin Muqrin, yang menjabat sebagai Wakil Gubernur Provinsi Asir, sedang bepergian bersama sejumlah pejabat ketika helikopter yang membawa mereka jatuh. Total, delapan orang tewas.

Pangeran Mansour bin Muqrin adalah putra Muqrin bin Abdulaziz al Saud, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi yang menjabat dalam waktu singkat, Januari hingga April 2015.

Posisi Muqrin kala itu digeser oleh saudara tirinya, Salman bin Abdul Aziz al Saud yang kini menjadi Raja Arab Saudi.

Belum ada keterangan terkait penyebab kecelakaan yang terjadi dekat perbatasan Yaman itu. Namun, kematian tragis sang pangeran berdekatan dengan momentum gonjang-ganjing yang terjadi di Arab Saudi.

Sejumlah analis menilai, Pangeran Mohammed bin Salman alias MBS sedang mengambil pilihan berisiko. Meski, tak semua pertaruhannya berujung untung.

Keputusannya sebagai menteri pertahanan, untuk berperang di Yaman, melawan pemberontak Houthi yang disokong Iran, tak membuat kerajaannya lantas aman.

Sebuah rudal balistik yang ditembakkan dari Yaman mengarah ke Bandara Internasional Riyadh pada Sabtu 4 November 2017. Beruntung, misil itu berhasil dicegat.

Keputusan memblokade Qatar juga tak berpengaruh baik pada Saudi.

Penangkapan sejumlah elite diperkirakan akan berpengaruh pada kebijakan ambisius Vision 2030 yang ia tawarkan.

Seperti dikutip dari NDTV, dalam hal ekonomi, perusahaan riset Capital Economics mengatakan bahwa penangkapan tersebut dapat memicu "pukulan" jangka pendek terhadap perekonomian Arab Saudi.

Senada, Mirabaud Securities dari Jenewa memperingatkan, penahanan sejumlah elite, termasuk penangkapan Pangeran Alwaleed--yang telah menginvestasikan dana miliaran dolar ke perusahaan di seluruh dunia--dapat menakut-nakuti sektor swasta dalam jangka pendek. Bahkan, bisa mengintensifkan pelarian modal dari Arab Saudi.

Agenda Vision 2030 yang ditawarkan pangeran muda Arab Saudi itu beragam, mulai dari diversifikasi ekonomi yang tak mengandalkan sektor migas, menggencarkan pengaruh dan kebijakan politik internasional negara di kawasan Timur Tengah, serta reformasi aspek sosial di dalam Saudi, semikian seperti dikutip dari The Economist.

Di sektor ekonomi, Vision 2030 memiliki agenda untuk mendiversifikasi, memprivatisasi, dan memodernisasi perekonomian Arab Saudi. Salah satu upaya dalam kebijakan itu adalah merancang skema pendanaan dan investasi asing selama 15 tahun senilai US$ 2 triliun.

Vision 2030 juga akan menginisiasi National Transformation Programme, sebuah reformasi strategi ekonomi. Salah satu programnya ditandai dengan penjualan saham perusahaan minyak nasional Arab Saudi Aramco sebesar 5 persen senilai US$ 600 miliar.

Hasil penjualan 5 persen saham Aramco akan dikembangkan di sektor perumahan mewah dan industri. Diprediksi, pengembangan sektor itu mampu meraup keuntungan hingga sekitar US$ 1 triliun.

Sektor ekonomi lain yang akan dikembangkan adalah berbasis pada ketenagakerjaan, pariwisata, dan industri militer. Sejumlah aspek itu diyakini oleh MBS akan meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pemasukan dari sektor industri minyak.

Selain itu, pria kelahiran 1985 itu menginisiasi upaya untuk membatasi peran polisi syariah Arab Saudi dan memperluas kapabilitas perempuan di ranah publik. Salah satunya membolehkan kaum Hawa untuk mengemudi, suatu langkah yang dinilai sebagai usaha untuk merombak tradisi guna mengubah Saudi yang lebih moderat dan didukung oleh banyak golongan pemuda Saudi, kelompok melek literasi, dan media.

Membalik 180 derajat kondisi di Saudi mulai dari ekonomi hingga gaya hidup sosial diperkirakan akan menjadi pekerjaan yang "susah-susah gampang" bagi Pangeran Mohammed bin Salman.

Sulit karena, tak semua petinggi rezim saat ini, yang sebagian besar masih berhaluan konservatif dengan nilai religius yang kental, sepemahaman dengan Bin Salman. Di sisi lain, kaum muda Arab Saudi diperkirakan ada di pihaknya.

Melibas yang Melawan?

Tak hanya berisiko dalam hal ekonomi, apa yang dilakukan MBS berpotensi menciptakan oposisi yang akan melawannya.

"Pemecatan dan penahanan menunjukkan bahwa Pangeran Mohammed, alih-alih membentuk aliansi, justru mempererat cengkeraman tangan besinya ke keluarga kerajaan, militer, dan garda nasional, yang dianggap sebagai penentang reformasi yang dilakukannya sekaligus terhadap perang di Yaman," kata James M. Dorsey, pakar Timur Tengah sekaligus pengajar di Nanyang Technological University, Singapura, seperti dikutip dari AP.

Sementara, analis asal Amerika Serikat, Liam Denning, menulis apa yang dilakukan oleh Pangeran Mohammed bin Salman adalah tanda bahwa dirinya tengah mendobrak dua aspek kemapanan (establishment) di Saudi.

"Pertama adalah memerangi kemapanan di dalam Saudi sendiri. Monarki dan pemerintah harusnya menyadari, bahwa Pangeran Bin Salman tengah menabuh genderang perang terhadap mereka," tulis Denning seperti dikutip dari Economic Times.

Kedua, lanjut Denning, adalah upaya putra mahkota untuk mendobrak struktur religius-konservatif di Saudi dan mengubahnya menjadi negara yang lebih moderat.

Dan salah satu cara yang dilakukan olehnya adalah dengan menggoyah pondasi yang menyusun struktur tersebut, yakni para pangeran "kelas teri" di dalam monarki, sheikh, dan ulama di penjuru Saudi, yang kerap mengkritik monarki.

Dalam sebuah pidato beberapa pekan lalu, Mohammed bin Salman berjanji akan menerapkan Islam yang "moderat dan terbuka" di negaranya. Janji itu diutarakan sang pangeran saat berbicara dalam sebuah konferensi bisnis akbar di Riyadh pada Selasa, 24 Oktober 2017.

"Singkatnya, putra mahkota tengah mencoba melawan kemapanan struktur religius Saudi yang sesungguhnya sudah mulai melemah," kata Stephane Lacroix, pakar kajian Islam di Science Po, the Paris Institute of Political Studies, seperti dikutip dari The New York Times.

"Sebagian besar sheikh dan ulama konservatif tidak senang dengan apa yang tengah terjadi. Namun mereka dalam posisi dilematis, mempertahankan persekutuan dengan monarki adalah hal yang penting. Jika mereka melawan, mereka akan kalah," tambahnya.

Di sisi, alumni King Saud University itu tak dinilai bermain cantik. "Penangkapan kedua putra Raja Abdullah, Pangeran Miteb dan Turki, merupakan kesalahan fatal. Hal itu justru membahayakan Raja Salman," kata seorang sumber kepada Asia Times.

Meski para pangeran telah dibungkam, tentara diyakini menyimpan amarah atas penangkapan para komandan mereka. "Dia (putra mahkota Arab Saudi) harus memenjarakan semua anggota angkatan bersenjata. Hanya dengan cara itu dia bisa merasa aman."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.