Sukses

Trending Hashtag Percaya Diri jadi Penyandang Disabilitas, Apa Maksudnya?

Pada dasarnya, pembuatan hashtag tersebut dimaksudkan untuk mengundang penyandang disabilitas untuk mengekspresikan diri

Liputan6.com, Jakarta Pada November 2020, aktivis penyandang disabilitas Karli Drew dan Christ Hill memulai tagar Twitter baru #BeingDisabledDoesDefineMe (Menjadi difabel, itulah saya).

Pada dasarnya, hashtag tersebut dimaksudkan untuk mengundang penyandang disabilitas untuk mengekspresikan kebalikan dari yang telah umum kebanyakan orang pergunakan, 'My disability doesn't define me' (Disabilitas saya bukanlah diri saya; biasanya diungkapkan difabel untuk menginspirasi, menghancurkan stigma bahwa penyandang disabilitas tidak bisa apa-apa).

Benturan dua pandangan yang berlawanan tentang disabilitas ini perlu untuk ditelusuri, tidak hanya untuk pengamat non-disabilitas, tetapi juga untuk para penyandang disabilitas itu sendiri, dilansir dari Forbes.

Begitu banyak perdebatan dan kontroversi mengenai bahasa yang kita gunakan untuk berbicara tentang disabilitas bermula dari pertanyaan mendasar tentang penyandang disabilitas:

- Apakah saya difabel? Apakah saya bener-benar difabel atau tidak, apakah saya menganggap diri saya difabel?

- Haruskah saya menyebut diri saya difabel dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama? Atau haruskah saya memilih kata lain, yang tidak terlalu menstigmatisasi, tidak terlalu definitif, atau tidak membicarakannya sama sekali?

- Jika saya benar-benar merangkul disabilitas sebagai bagian dari identitas saya, apakah hal itu akan membatasi atau membebaskan saya?

- Apakah dengan jelas mengidentifikasi diri saya sebagai seorang difabel memberi saya akses yang cukup ke alat, dukungan, dan persahabatan sesama penyandang disabilitas untuk mengimbangi stigma yang menyertai label tersebut?

- Apakah disabilitas saya sebenarnya mendefinisikan saya? Apa artinya itu?

Berdasarkan prevalensinya di media populer dan diskusi kasual, penggunaan "disabilitas saya, bukanlah diri saya" ini masih menjadi kebijaksanaan konvensional yang dianggap sebagai pernyataan yang positif dan memberdayakan, yaitu bahwa penyandang disabilitas tidak membiarkan disabilitas mereka mendefinisikan mereka.

Pendekatan terhadap “pelabelan” disabilitas ini tampaknya sebagian didasarkan pada pembacaan kata “disabilitas” atau “disabilitas” yang sangat literal. Masuk akal untuk menyangkal difabel, jika menjadi difabel berarti tidak dapat melakukan apapun. "Jika disabilitas secara harfiah berarti benar-benar tidak berdaya dan stagnan, mengapa ada orang yang ingin melihat diri mereka sebagai penyandang disabilitas, apalagi diucapkan seperti itu oleh orang lain?" tulis seorang penulis lepas yang berfokus pada praktik, kebijakan, politik dan budaya disabilitas, Andrew Pulrang (22 tahun) dan merupakan penyandang disabilitas seumur hidupnya, dikuip dari Forbes.

Adapun Charis Hill menjelaskan, “Saya pikir karena banyak orang percaya bahwa disabilitas adalah hal yang buruk dan negatif yang harus diatasi oleh orang lain agar menjadi valid, saran bahwa Anda tidak harus menyesuaikan diri dengan stigma menjadi difabel adalah sesuatu seperti pujian… Ketika orang berkata, 'Disabilitas saya tidak mendefinisikan saya,' Saya membacanya sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari stigma umum yang didukung secara historis bahwa menjadi difabel membuat Anda berbeda dari orang lain.”

Karli Drew menambahkan, “Saya pikir mereka mencoba untuk mengatakan bahwa mereka lebih dari sekedar apa yang ditunjukkan disabilitas mereka. Saya memahami dan menghormati pendirian ini jika dikaitkan dengan para difabel tentang diri mereka sendiri.”

Jadi, frasa 'Disabilitas saya tidak mendefinisikan saya' juga dapat menjadi upaya untuk membedakan antara memiliki kondisi tertentu yang mengganggu , dan berada dalam kondisi umum ketidakmampuan, kelambanan, atau stagnasi, seolah mengungkapkan "saya punya disabilitas, tapi bukan berarti saya tidak bisa apa-apa karenanya".

Lalu mengidentifikasi diri sebagai penyandang disabilitas atau tidak juga mencerminkan perbedaan yang lebih mendasar dalam cara kita memahami disabilitas kita sendiri. Dalam penjelasan tradisional yaitu secara konkrit, disabilitas itu nyata dan sampai batas tertentu, mendefinisikan seseorang. Dan ini merupakan sesuatu yang harus diterima oleh penyandang disabilitas, dengan menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan apabila menerima keterbatasan yang dimiliki. Ini adalah argumen inti terkait kemampuan.

Adapun argumen lawannya yang populer adalah bahwa disabilitas hanyalah sebuah ide, tidak nyata, label yang menggambarkan ketidakmampuan kita. Jika kita dapat mengatasi dan dengan sengaja mengabaikan atau menyangkal disabilitas mendefinisikan ketidakmampuan kita, maka pada dasarnya kita tidak lagi disebut difabel.

Perpaduan yang lebih seimbang yang mendasari lebih banyak budaya dan aktivisme disabilitas modern adalah bahwa disabilitas merupakan realitas material konkrit dan identitas yang dibangun secara sosial. Dalam pandangan ini, status disabilitas tidak sepenuhnya mendefinisikan kita, tetapi itu mempengaruhi kita, dan mungkin akan selalu begitu. Label disabilitas saja cukup menjelaskan identitas, komunitas, dan pengalaman kita.

Perbedaan pandangan tentang disabilitas ini juga mempengaruhi cara kita menanggapi stigma kemampuan dan disabilitas.

Salah satu pendekatannya adalah melepaskan diri dari stigma disabilitas dengan menghindari atau menyangkal label disabilitas itu sendiri. Pendekatan lainnya adalah dengan menghilangkan stigma disabilitas, sekaligus merangkul disabilitas itu sendiri dan dengan sengaja mengubah makna “disabilitas” agar tidak terstigma.

Pendekatan kedua lebih diterima secara luas di kalangan penyandang disabilitas yang sangat terlibat dalam budaya dan aktivis disabilitas. Jangan heran, karena mengeksplorasi disabilitas dengan cara ini hampir membutuhkan semacam penyertaan terhadap disabilitas itu sendiri, baik sebagai fakta praktis kehidupan dan identitas sosial.

Namun, gambaran yang paling dipahami secara luas tentang penyandang disabilitas yang sukses dan terpuji adalah penyandang disabilitas yang mengatasi dan menyangkal disabilitas, menolak untuk mendefinisikan dirinya melalui disabilitasnya. Ini masih mendominasi citra dan keyakinan populer tentang disabilitas dan penyandang disabilitas. Inilah mengapa #BeingDisabledDoesDefineMe sangat signifikan. Tagar tersebut berusaha untuk membuka pintu ke cara yang sangat berbeda bagi penyandang disabilitas untuk lebih menyayangi diri sendiri.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tagar untuk memperjuangkan pandangan berbeda tentang disabilitas

Tagar dari cuitan Hill dan Drew di Twitter tersebut mengungkapkan kesederhanaan, ketulusan, dan kedalaman cara kebanyakan penyandang disabilitas saat ini menafsirkan makna disabilitas mereka. Tagar ini mengundang penyandang disabilitas untuk mengekspresikan rasa kepemilikan dan kebanggaan mereka atas disabilitas mereka.

"Saya ingin meyakinkan orang bahwa tidak apa-apa membiarkan disabilitas mendefinisikan Anda," kata Drew.

“Saya telah melihat orang-orang memposting foto diri mereka sendiri dengan itu untuk menunjukkan kebanggaan terhadap disabilitas dan saya telah melihat orang-orang menulis tweet yang kuat tentang betapa pentingnya disabilitas pada diri mereka,” kata Hill.

Drew mencatat bahwa bagi sebagian difabel, ini pertama kalinya mereka merangkul komunitas dan budaya seperti ini. Sementara bagi yang lainnya, ini adalah pengingat bahwa kita adalah bagian dari komunitas dan budaya yang luar biasa.

“Sungguh indah melihat tweet dari orang-orang di komunitas yang baru saja belajar tentang budaya dan komunitas disabilitas, yang secara tentatif memahami gagasan baru bagi mereka bahwa mereka dapat bersandar pada disabilitas mereka daripada melawan mereka,” tambah Hill.

Tagar ini mendapat respon positif dan dianggap menginspirasi. Pengambilan langkah seperti ini lebih dari sekedar ungkapan filosofis, karena mau bagaimanapun, akan sulit memisahkan atau bahkan menghapus diri dengan identitas diri, karena itu akan membuat diri menjadi tidak utuh, catat Hill. Karena penggunaan pemisahan identitas tersebut tidak selalu berhasil bagi banyak orang. Tidak semua penyandang disabilitas berpikiran sama tentang disabilitas.

Drew berkomentar, "Rasanya seperti mereka mengeluarkan realitas penyandang disabilitas kita sama sekali, atau menyiratkan kita perlu mengabaikan disabilitas kita untuk hidup."

"Kami menolak untuk hidup dalam stigma dan rasa malu ketika kami mengatakan siapa kami dan menolak untuk mengizinkan orang lain memilih narasi kami untuk kami," kata Hill. Drew menambahkan, “Merangkul disabilitas kita membuka lebih banyak penerimaan diri dan memungkinkan kita untuk menyoroti kualifikasi unik kita sendiri.”

Formulasi ini tidak berlaku untuk setiap penyandang disabilitas di setiap tahap kehidupan mereka. Tetapi resonansi dan tanggapan terhadap #BeingDisabledDoesDefineMe menunjukkan bahwa semakin banyak penyandang disabilitas sebagaimana yang diucapkan Hill, yang menyadari bahwa menjadi penyandang disabilitas benar-benar menentukan mereka dan bahwa mereka boleh bangga akan hal itu daripada malu olehnya.

Juga penting siapa yang menjelaskan disabilitas kepada kita dan dalam keadaan apa.

"Kebanyakan dari kita diperkenalkan dengan disabilitas kita oleh orang-orang yang bukan penyandang disabilitas. Ini dapat mencakup orang tua dan keluarga, dokter, terapis, guru, dan konselor, yang mereka pada dasarnya memiliki pandangan tersendiri tentang disabilitas, yang tidak selalu yang terbaik untuk kita untuk jangka panjang," tulis Pulrang, dikutip dari Forbes.

Beberapa penyandang disabilitas tidak pernah benar-benar terhubung dengan penyandang disabilitas lain, atau belajar tentang sejarah, budaya, atau aktivis disabilitas. Banyak orang lain hanya terhubung dengan hal-hal ini di kemudian hari. Bisa jadi karena mereka baru menjadi difabel di kemudian hari karena kecelakaan, penyakit, atau usia, atau karena mereka dibesarkan dengan disabilitas yang sebagian besar dipengaruhi oleh para lansia dan profesional non-disabilitas.

Pengaruh lain yang bahkan lebih sederhana tetapi sering diabaikan adalah kepribadian, keyakinan, dan nilai kita yang mendasarinya. Setiap orang memiliki kecenderungan atau cara berpikir yang alami dan mengakar, termasuk penyandang disabilitas. Beberapa orang terdorong untuk mengeksplorasi disabilitas mereka, sementara yang lain tidak peduli atau tidak terlalu mengkhawatirkan tentang identitas tersebut. Belum lagi jika membahas sisi politik dan ideologi yang nantinya pembahasan ini tidak akan ada habisnya.

Intinya, #BeingDisabledDoesDefineMe adalah pernyataan fakta sederhana bagi sebagian orang cacat. Bagi orang lain, ini adalah cara untuk memperlengkapi kembali cara kita memahami kecacatan kita sendiri. Mau yang manapun, itu adalah penting untuk kita semua mengesampingkan asumsi konvensional tentang disabilitas dan memperluas inklusivitas.

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.