Sukses

Dianggap Mencemari Danau Toba, Ini Kata Warga Pemilik Keramba Jaring Apung

Warga pemilik keramba mengaku siap dibina asal pemerintah tidak mematikan mata pencaharian mereka

Liputan6.com, Simalungun - Budi daya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan mata pencaharian utama bagi penduduk sekitar Danau Toba. Tampaknya kebijakan pengurangan KJA mesti dikaji ulang. Meski dituduh sebagai penyebab utama pencemaran Danau Toba, nyatanya banyak faktor lain yang mempengaruhi pencemaran tersebut, seperti limbah peternakan babi, aktivitas rumah tangga dan perhotelan, serta penebangan hutan di daerah resapan danau.

Terlebih dengan luas sekitar 1.130 km persegi, faktanya luas keseluruhan KJA yang terdapat di Danau Toba hanyalah 0,03% dari keseluruhannya. Melarang warga budidaya ikan dengan KJA sama saja dengan mematikan mata pencaharian mereka.

 

 

Robin Hutahaean (36), salah satu petani ikan di Kecamatan Haranggaol Horison menjelaskan bahwa daerahnya merupakan sentra budidaya ikan dengan KJA yang ada di Kabupaten Simalungun. Menurut dia, daerah mereka bukanlah tempat wisata seperti daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Warga di Haranggaol Horison awalnya merupakan petani bawang, namun sejak penyakit tanaman menyerang, warga memutuskan untuk budidaya ikan sebagai mata pencaharian.

"Sekitar 85 persen warga di sini bergantung pada KJA. Kalau kami dilarang melakukan budidaya ikan, bagaimana kami hidup?" tukas dia.

Ia menambahkan bahwa sebenarnya warga ingin dibina oleh pemerintah. Warga juga tak masalah daerah mereka berdampingan dengan tempat wisata.

"Tapi pada kenyataannya, tak pernah ada wakil dari pemerintah yang serius berdialog dengan kami. Membina kami. Lalu tiba-tiba KJA kami ingin dimusnahkan."

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Hal ini diamini petani ikan lainnya, Hotjon Haloho, yang juga merupakan generasi kedua dalam keluarganya yang berbisnis ikan. Menurut dia, warga Haranggaol bahkan memiliki kesepakatan sendiri untuk tidak menambah jumlah KJA yang ada karena dianggap dapat merusak lingkungan. Aturan budidaya yang dilontarkan pemerintah tanpa berdialog dengan warga hanya membuat mereka trauma.

"Daerah yang menjadi sentra budi daya ikan biasanya memang tidak cocok menjadi tempat wisata. Seperti di sini, dikelilingi perbukitan tapi tak bisa ditanami. Kami takut seperti di Rantau Prapat. Jadi tempat wisata, tapi warga sekitar cuma menjadi penonton sejak investor masuk."

 

Lebih jauh, ia meminta pemerintah mendukung dan memperhatikan warga yang mata pencahariannya dari budidaya ikan KJA. Terlebih karena perekonomian mereka lebih baik sejak berbudi daya ikan.

"Kami siap diberi pajak dan ditata. Tapi jangan disuruh tutup, Pak."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.