Sukses

Stinney, Bocah Termuda yang Dihukum Mati dengan Kursi Listrik

Hukuman yang dijatuhkan padanya bertolak dari sifat rasis para penegak hukum. Di kemudian hari, bocah itu terbukti tak bersalah.

Liputan6.com, Jakarta - Di zaman modern, masalah SARA adalah topik yang menarik untuk diperdebatkan dan diperjuangkan, termasuk di Amerika Serikat (AS). Namun, pada zaman dulu, negara tersebut merupakan salah satu negara yang amat rasis.

Dulu, hukum di AS hanya berpihak pada mereka yang berkulit putih. Sementara bagi yang berkulit hitam, perlakuan rasis sering mereka rasakan. Termasuk dalam kisah bocah bernama George Stinney yang dihukum mati dengan kursi listrik.

Stinney yang merupakan anak laki-laki Afrika Amerika yang tinggal di Alcolu, Carolina Selatan. Alcolu merupakan sebuah kota pabrik kecil yang dibagi menjadi dua oleh rel kereta api. Warga kulit hitam tinggal di salah satu sisi, sementara warga kulit putih di bagian lain.

Pada tahun 1944, Stinney yang berusia 14 tahun tengah bermain di pinggir jalan dengan adiknya. Ketika itu, dua bocah perempuan kulit putih, Betty Juni Binnicker dan Mary Emma Thames, lewat dan menanyakan pada Stinney di mana mereka dapat menemukan bunga maypops. Stinney pun memberi tahu arah menuju tempat yang mereka tuju.

- 

Hari itu, kedua bocah perempuan itu tidak pulang ke rumah. Esoknya, mayat mereka ditemukan di selokan berlumpur di sisi kota tempat warga kulit hitam tinggal. Keduanya menderita luka kepala yang parah. Tidak butuh waktu lama, kecurigaan polisi mengarah pada Stinney dan temannya.

Beberapa jam kemudian, teman Stinney dibebaskan sementara interogasi terhadap anak laki-laki itu diteruskan. Dalam waktu satu jam, deputi kepolisian mengumumkan bahwa Stinney mengakui kejahatan tersebut.

Menurut polisi, Stinney mengaku ingin berhubungan badan dengan Betty, tapi ia juga tak ingin Mary pergi. Stinney pun membunuh kedua gadis yang melawan ajakannya itu. Ia memukul kedua anak perempuan berkulit putih itu dengan balok dan membuangnya di selokan.

Sehari setelah diinterogasi, Stinney didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama berdasarkan pengakuan yang diriwayatkan oleh deputi. Hingga persidangan, ia tak diperbolehkan melihat orang tuanya.

Pada tanggal 24 April 1944, sidang berlangsung di Clarendon County Courthouse. Ada lebih dari 1.000 orang yang mengikuti persidangan, tapi tak satu pun yang berkulit hitam diizinkan masuk, termasuk keluaga Stinney.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hukuman Mati

Hanya butuh waktu satu hari, semua juri berkulit putih sepakat memberi vonis bersalah Stinney. Pada saat itu, hukum di Carolina menyatakan siapa pun yang berusia di atas 14 tahun adalah orang dewasa. Stinney pun dianggap sebagai orang dewasa dan dijatuhi hukuman mati di kursi listrik. Padahal, tidak ada bukti fisik yang mengaitkan Stinney dengan pembunuhan tersebut.

Pada 16 Juni 1944, Stinney melangkah ke ruang eksekusi. Karena tubuhnya yang kecil, ia mesti duduk di atas Alkitab agar kursi listrik bisa pas di tubuhnya. Ia pun menjadi orang termuda yang dieksekusi di AS pada abad ke-20.

Kasus Stinney dibuka kembali pada Januari 2014 setelah seorang sejarawan lokal meneliti kasus tersebut. Bukti-bukti baru pun dipresentasikan dalam sidang pengadilan, termasuk kesaksian saudara Stinney yang mengklaim bahwa bocah itu bersama mereka pada saat perkiraan waktu pembunuhan.

Pada tanggal 17 Desember 2014, hakim membatalkan pengakuan Stinney. Hakim juga mengatakan bahwa pengadilan Carolina Selatan telah gagal memberikan keputusan yang adil pada tahun 1944. Ya, Stinney hanyalah korban dari hukum yang tidak adil karena perbedaan warna kulit belaka.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.