Sukses

Hoaks Mempersulit India Kendalikan Penyebaran Covid-19

Pada pertengahan April 2021, jumlah kasus Covid-19 mulai meroket di India.

Liputan6.com, Jakarta - Hoaks dan misinformasi diduga menjadi biang keladi masifnya penyebaran virus corona Covid-19 varian baru di India. Tercatat pada Senin 3 Mei 2021, lebih dari 300 ribu orang terinfeksi Covid-19 di negara tersebut. Hal ini juga mempersulit pemerintah India dalam mengendalikan penyebaran Covid-19.

Pendiri Health Analytics Asia, Syed Nazakat mengungkapkan, tugas dari tenaga medis mereka menjadi lebih berat dengan maraknya berita yang tidak benar, teori konspirasi, dan informasi yang tidak diverifikasi yang beredar di platform media sosial.

Konten dalam pesan dan postingan ini berkisar dari asal gelombang kedua Covid-19 di India hingga kemanjuran vaksin dan saran untuk meningkatkan kekebalan dengan menggunakan pengobatan rumahan.

"Dari jumlah tersebut, informasi yang salah terkait kesehatan lebih umum dan beragam, diikuti oleh informasi yang salah terkait agama," ungkap Syed Nazakat dikutip dari dw.com, Rabu (5/5/2021).

"Sebagian besar informasi kesehatan yang salah berkaitan dengan pandemi dan itu juga, ketika negara ini juga berada di tengah-tengah upaya vaksinasi besar-besaran," tambah dia.

Pengamat dan aktivis mengatakan, pihak berwenang belum mengambil tindakan yang cukup untuk menghentikan informasi yang salah. Faktanya, beberapa tokoh masyarakat dan pejabat senior sendiri bertanggung jawab atas penyebarannya.

Pada pertengahan April 2021, ketika jumlah kasus Covid-19 mulai meroket, V K Paul, seorang pejabat senior pemerintah merekomendasikan agar orang berkonsultasi dengan praktisi terapi alternatif jika mereka memiliki penyakit ringan atau tanpa gejala.

Dia juga menyarankan orang untuk mengonsumsi "chyawanprash" (suplemen makanan) dan "kadha" (minuman herbal dan rempah-rempah) untuk meningkatkan kekebalan mereka.

Pernyataannya memicu kritik dari para dokter yang mengatakan, rekomendasi tersebut dapat mendorong orang untuk mencoba terapi yang belum teruji dan menunggu terlalu lama untuk mencari pertolongan medis.

"Ini mengherankan dan menyesatkan. Ini akan mendorong orang untuk duduk di rumah, meminum ramuan tersebut dan pada saat mereka sampai di rumah sakit, semuanya akan terlambat," kata mantan presiden nasional Asosiasi Medis India, Rajan Sharma. 

Apar Gupta, Direktur Eksekutif Internet Freedom Foundation, memiliki pandangan serupa.

"Ketika Anda memiliki otoritas publik yang mendukung permohonan seperti itu, jelas ada kurangnya rasa hormat terhadap sains. Menurut Anda apa efeknya terhadap mereka yang mengonsumsi media sosial?" ucap Gupta.

Para ahli percaya bahwa kepercayaan masyarakat yang rendah pada media arus utama dan minimnya literasi di media sosial menyebabkan penyebaran hoaks cepat dan meluas.

"Meningkatnya jangkauan media sosial semakin mengintensifkan krisis informasi yang salah," kata Gupta.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.