Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan ketidakpastian perekonomian global masih tetap tinggi. Hal itu dilihat dari inflasi dibeberapa negara maju masih tinggi, yang disebabkan oleh tekanan inflasi di sektor jasa, hingga meningkatnya harga minyak.
Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan masih tetap sebesar 2,7 persen dengan kecenderungan ekonomi Tiongkok yang melambat, sementara ekonomi Amerika Serikat yang semakin kuat.
Baca Juga
Perry mengungkapkan, perlambatan ekonomi Tiongkok disebabkan oleh permintaan domestik karena keyakinan konsumen, utang rumah tangga dan permasalahan di sektor properti di tengah penurunan kinerja ekspor akibat perlambatan ekonomi global.
Sementara itu, kuatnya ekonomi Amerika Serikat didukung oleh konsumsi rumah tangga, seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan tabungan di negara tersebut.
"Oleh karena itu, inflasi di negara maju masih tetap tinggi, karena berlanjutnya tekanan inflasi, dari inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja dan meningkatnya harga minyak," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (21/9/2023).
Menurutnya, perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama di Federal Funds Rate (FFR) Amerika Serikat, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan Global.
Bank Indonesia mmeperkirakan, Federal Funds Rate (FFR) masih akan menaikkan suku bunga pada November 2023. Sehingga menyebabkan tekanan aliran modal keluar dan tekanan pelemahan nilai tukar di negara-negara berkembang semakin tinggi.
"Kami melihat Federal Funds Rate (FFR) kemungkinan masih akan naik nanti di bulan November, akibatnya tekanan aliran modal keluar dan tekanan pelemahan nilai tukar di negara-negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respon kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global termasuk juga di Indonesia," pungkasnya.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Harga Minyak Dunia Susut Usai Suku Bunga The Fed Bertahan
Harga minyak turun sekitar 1% ke level terendah satu pekan setelah Federal Reserve AS mempertahankan suku bunga tidak berubah seperti yang diperkirakan sebelumnya. Meski bank sentral tetap memperketat sikap hawkishnya dengan proyeksi kenaikan suku bunga lebih lanjut pada akhir tahun.
Melansir laman CNBC, Kamis (21/9/2023), harga minyak dunia berjangka jenis Brent untuk pengiriman November turun 0,86% menjadi USD 93,53 barel.
Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Oktober turun 1,01% menjadi USD 90,28. Itu merupakan penutupan harga minyak terendah bagi Brent sejak 13 September.
Kontrak minyak WTI untuk bulan Oktober berakhir pada hari Rabu kemarin. harga minyak mentah berjangka WTI untuk bulan November, yang akan menjadi bulan depan berikutnya, turun sekitar 82 sen menjadi USD 89,66.
Meskipun terjadi penurunan harga, Brent secara teknis masih berada di wilayah overbought selama 14 hari berturut-turut, yang merupakan rekor terpanjang sejak tahun 2012.
Para pengambil kebijakan The Fed masih memperkirakan suku bunga acuan bank sentral akan mencapai puncaknya tahun ini pada kisaran 5,50%-5,75%. Angka ini hanya seperempat poin persentase di atas kisaran saat ini.
Kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.
“Kombinasi kenaikan suku bunga lebih lanjut, penguatan dolar dan tambahan kenaikan harga minyak akan meningkatkan kemungkinan resesi,” kata analis di penasihat energi Ritterbusch and Associates dalam sebuah catatan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Advertisement