Sukses

Presidensi G20 Indonesia Dimulai, Pejabat Dunia Gelar Pertemuan di Bali

Indonesia telah menjadi Presidensi G20 hingga 2022. Indonesia jadi negara berkembang pertama di dunia yang menjadi Presidensi G20.

Liputan6.com, Bali Indonesia telah menjadi Presidensi G20 hingga 2022. Indonesia jadi negara berkembang pertama di dunia yang menjadi Presidensi G20.

Sebagai rangkaian acara G20, pada hari ini, Kamis (9/12/2021), sejumlah pejabat negara-negara G20 berkumpul di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Nusa Dua, Bali.

Mereka akan menghadiri High Level Meeting perdana, yaitu Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD). Acara ini juga akan dihadiri oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

"Selain itu, pejabat dunia yang akan hadir seperti Menteri Keuangan Italy dan Menteri Keuangan India," kata Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia, Dody Zulverdy di Bali.

Finance adn Central Bank Deputies Meeting menjadi rangkaian acara Forum G20 khususnya Jalur Keuangan atau Finance Track. Pertemuan ini akan membahas rumusan hal yang akan diangkat dalam acara puncak yaitu KTT G20 pada Oktober 2022.

FCBD akan berlangsung selama dua hari yakni 9-10 Desember 2021 dan akan dihadiri oleh delegasi dari 20 negara anggota G20 dan lembaga internasional seperti World Bank, IMF, OECD, dan lainnya. Pertemuan akan digelar secara hybrid baik luring (offline) dan daring (online) dalam waktu bersamaan.

Perlu diketahui, dalam Presidensi G20 di Indonesia, FCBD akan diselenggarakan tiga kali. Setelah pertemuan pada dua hari ke depan, dua pertemuan lainnya akan digelar pada Februari dan Juli 2022.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sederet Misi Indonesia Jadi Presidensi G20

Presidensi G20 Indonesia akan memfokuskan bahasan pada tiga topik inti, yakni masalah kesehatan, perubahan iklim dan pembiayaannya, serta pentingnya perpajakan internasional. Tiga ini jadi fokus diantaranya banyaknya diskusi yang akan dilakukan sepanjang gelaran G20.

Mengangkat tema Recover Together, Recover Stronger, Indonesia memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan global. Pada aspek kesehatan, Indonesia akan mendorong penyebaran merata tingkat vaksinasi ke negara berkembang dan negara miskin.

“Karena kita gak mungkin recover kalau tidak bersama, Karena kalau tidak semua, banyak negara dengan vaksinasinya sudah cukup satu negara di afrika vaksinasinya tidak cukup, lahir varian baru. seperti sekarang omicron, tidak mungkin kita tak recover together,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di webinar Presidensi G20, Manfaat bagi Indonesia dan Dunia, Senin (6/12/2021).

“Inilah pesan supaya semua negara melihat ini, berarti vaksin harus merata,” kata dia.

Artinya, vaksinasi tak hanya dilakukan di negara-negara maju, bahkan bukan hanya terkait distribusinya ke negara berkembang dan negara miskin, tapi juga bagaimana mengatur agar tingkat vaksinasi bisa merata secara global.

Febrio menyebut, saat ini banyak negara maju, misalnya di belahan dunia di Eropa yang mengalami surplus vaksin. Sementara itu, di negara Afrika tingkat vaksinasinya bahkan belum menyentuh 10 persen.

“Indonesia cukup berada di tengah-tengah karena kita cukup early dalam menghandle masalah ini. saat ini untuk mengejar vaksinasi 70 persen itu sekitar early next year, sekitar awal 2022,” katanya.

Masih di masalah kesehatan, Febrio menyebut bakal ada pembahasan mekanisme mengenai kedepannya kesiapan global menghadapi pandemi. Untuk itu, indonesia perlu menggalang kekuatan bersama negara anggota G20 dengan tingkat perekonomian yang lebih dari 80 persen perekonomian dunia.

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Topik kedua yang dibahas adalah mengenai Climate Change atau perubahan iklim serta komitmen pembiayaannya. Mengenai agenda ini, Febrio menyebut Indonesia telah berperan karena telah menyampaikan rencana penurunan emisi sebesar 29 persen per 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional.

“Tapi dalam konteks ini, yang namanya sustainable development, transisi energy untuk menuju net zero itu tidak mudah, bagaimana koordinasi untuk mengatasi climate change ini tidak mudah. Karena bagaimana untuk mengatur kenaikan suhu global 1,5 atau 2 derajat celcius itu barang publik yang harus kita jaga secara global,” kata dia.

“Kalau kita mau mengedepankan agenda ini tadi saya ulangi, untuk indonesia, untuk negara berkembang dan untuk global. Karena indonesia terkena dampak serius dari climate change,” imbuhnya.

Febrio menyebut, Indonesia sebagai negara kepulauan akan sangat terdampak dengan adanya perubahan iklim ini. Dengan perubahan yang terjadi, akan ada banyak bencana alam yang terjadi dan permukaan laut akan semakin meninggi yang juga mengancam daerah pesisir Indonesia.

“Apa yang harus kita lakukan? Retorika soal ini sudah panjang, mari kita lakukan proyek green lalu kita minta, kita tagih dan bicarakan komitmen semua negara untuk biayai proyek yang sustainable yang berdampak positif bagi peningkatan emisi global,” tuturnya.

Perpajakan Internasional

Lebih lanjut, ia menilai topik ketiga yang dibahas terkait perpajakan internasional jadi yang juga penting. Hal ini telah dilakukan bertahun-tahun antara negara anggota G20 dan OECD. Febrio menjabarkan mulai dari Presidensi G20 di Italia telah disepakati dua pilar.

“Pilar 1 itu terkait bahwa negara pasar dari perusahaan multinasional, walaupun dia tidak punya existing Badan Usaha Tetap (BUT) di negara tersebut, harusnya negara pasar mempunyai hak untuk memajaki perusahaan-perusahaan yang sifatnya multinasional. Itu sudah disepakati dan akan ditandatangani di presidensi kita di sekitar Juli 2022. Ini jadi satu milestone untuk hak pemajakan dari negara pasar,” tuturnya.

Sementara itu untuk Pilar kedua akan mengatur tentang minimum pengambilan pajak atau minimum tax rate. Harapannya, selama ini perusahaan yang berusaha menghindari pajak dengan pergi ke negara-negara tertentu untuk mendapatkan pajak yang lebih murah.

“Itu tidak akan terjadi lagi, nah sehingga hak pemajakan dan tax base kita akan lebih baik kedepannya walaupun kita dalam konteks globalisasi dan nanti ada digital economy,” tukasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.