Sukses

Hadapi Perubahan Iklim, Kementan Antisipasi Jaga Produktivitas Komoditas Perkebunan

Dampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu udara, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi terjadinya iklim ekstrim akan berpengaruh langsung pada sistem produksi pertanian.

Liputan6.com, Jakarta Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian karena aktivitas pertanian sangat tergantung pada matahari, udara, tanah dan air. Dampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu udara, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi terjadinya iklim ekstrim akan berpengaruh langsung pada sistem produksi pertanian.

Perubahan pola hujan dan pergeseran musim yang ekstrim diperkirakan akan menyebabkan lebih tingginya intensitas hujan pada musim penghujan dan semakin panjangnya musim kemarau. Hujan yang berlebihan sangat mungkin akan meningkatkan erosi, pencucian hara dan tanah longsor. Apabila air yang berlebih tidak dapat diserap oleh tanah di hulu akan meningkatkan aliran permukaan yang akhirnya menyebabkan banjir.

Sebaliknya musim kemarau yang kering akan menyebabkan cekaman kekeringan dengan jangka waktu lama. Perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim, akan menimbulkan resiko yang cukup besar bagi produksi dan produktifitas serta mutu hasil sektor pertanian, termasuk sub sektor perkebunan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus mendorong dan memacu jajaran di Kementerian Pertanian, untuk lebih giat dan sigap dalam penerapan teknologi pada sektor pertanian. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya melakukan adaptasi, antisipasi dan mitigasi musim tahun 2020, sehingga ketersediaan komoditas dan produktifitas tetap aman dan terjaga.

Menyikapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan melalui Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya melaksanakan strategi untuk mengantisipasi, mitigasi dan adaptasi di bidang pertanian khususnya pada usaha perkebunan dalam menghadapi perubahan iklim tersebut. 

Kegiatan mitigasi pada subsektor perkebunan adalah upaya yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan untuk mengurangi sumber emisi gas rumah kaca (GKR), sedangkan adaptasi adalah tindakan penyesuaian untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Emisi karbon pada subsektor perkebunan dapat diminimalisir dengan pemanfaatan limbah perkebunan, mengintegrasikan dengan ternak (kebun-ternak), mengurangi atau menggantikan pemanfaatan pestisida dan pupuk kimia dengan organik, mengurangi penggunaan herbisida dan pemanfaatan pohon pelindung sebagai penyerap karbon.

Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya Kresno Suharto, mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan memiliki kebijakan yaitu mendorong penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah perkebunan termasuk lahan kritis, gambut, DAS Hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga sesuai kaidah konservasi tahan dan air, Penerapan paket teknologi ramah lingkungan, Peningkatan pemanfaatan pupuk organik, pestisida nabati, agens pengendali hayati serta teknologi pemanfaatan limbah usaha perkebunan yang ramah lingkungan, Peningkatan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon, penyedia oksigen, dan peningkatan peran serta fungsi hidrologis, Penerapan pembukaan lahan tanpa bakar, Rehabilitasi kebun dan penyesuaian kebutuhan tanaman pelindung bagi komoditi tertentu yang membutuhkan dan Penerapan Teknik Budidaya yang baik (Good Agricultural Practices-GAP).

Adapun aplikasi model teknologi mitigasi dan adaptasi pada sub sektor perkebunan dimulai pada bulan Maret 2020. Pada bulan Agustus lalu (27/08), Aplikasi model teknologi mitigasi dan adaptasi telah dilaksanakan di Kelompok Tani Langgeng Tani II, Desa Tamanayu, kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. “Pembangunan perkebunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan produktifitas dapat dipertahankan sehingga mampu mengurangi kehilangan hasil akibat dampak perubahan iklim,” ujarnya.

Kresno Suharto menambahkan bahwa, tahapan pelaksanakan kegiatan mitigasi dan dampak perubahan iklim dimulai dengan kegiatan sosialiasi kepada steakholder perkebunan. Sarana input yang telah diberikan kepada kelompok tani/masyarakat pekebunan berupa Pembangunan kandang ternak, ternak rumah kompos dan embung serta pembinaan teknis terkait budidaya kopi hingga pasca panen.

Pada kesempatan yang sama saat melakukan kunjungan kerja, Direktur perlindungan perkebunan Ardi Praptono, memberikan apreasiasi kepada kelompok tani yang telah melaksanakan kegiatan dengan baik, semakin yakin jika kelompok tani telah sigap menghadapi perubahan iklim ini maka resiko kegagalan panen bisa diantisipasi dan produktivitas tetap terjaga. 

Kementerian Pertanian melalui Ditjen Perkebunan memberikan bantuan kepada Kelompok Tani Langgeng Tani II, Desa Tamanayu, kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, antara lain Ternak 25 ekor, Kandang ternak, Rumah kompos, Embung, Peralatan pertanian kecil dan alat pengolah pupuk organic (APPO).

Mustofa, selaku Sekretaris dari Kelompok Tani Langgeng Tani II, Desa Tamanayu, kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, berharap dengan adanya bantuan sarana input produksi dan pembinaan teknis dari BBPPTP Surabaya, maka Kelompok tani akan bertekat lebih giat lagi dalam mengelola kebun kopinya sehingga akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat/petani. Ternak yang diberikan Ditjen Perkebunan akan dikelola dengan baik sehingga dapat menambah kas kelompok tani, selain itu kotoran kambing akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pupuk untuk tanam kopi.

Selain itu juga, Lanjut Mustofa, untuk memanfaatkan embung yang telah diberikan oleh Ditjen Perkebunan, maka akan dimanfaatkan untuk budidaya ikan sehingga nanti dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini