Sukses

Faisal Basri: Selamatkan Nyawa Itu Bisa Selamatkan Ekonomi

Faisal Basri mengkritisi sikap pemerintah yang lebih mementingkan penanganan ekonomi ketimbang pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Faisal Basri mengkritisi sikap pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mementingkan penanganan ekonomi ketimbang pandemi Covid-19. Padahal menurutnya, ekonomi juga dapat terselamatkan jika pemerintah telah memitigasi penyebaran pandemi.

"Jangan anggap remeh, ekonomi sangat bergantung pada penanganan covid. Jadi jangan dibalik-balik, ekonomi dulu baru covid belakangan. Save a life itu save economy," cibirnya dalam sesi diskusi publik online, Jumat (10/7/2020).

Faisal Basri melihat bahwa pemerintah saat ini masih menjalankan bisnis dan perekonomian seperti biasa. Dalam kasus ini, ia sependapat dengan Jokowi bahwa pemerintah memiliki sense of crisis yang rendah.

Namun begitu, Faisal Basri menegur Jokowi agar tidak mengeluh terus. Dia menilai mantan Walikota Solo tersebut memiliki kuasa tertinggi untuk memperbaiki keadaan.

"Tapi apa yang dikeluarkan pak Jokowi? Perpres Nomor 1 2020 yang sekarang jadi Undang-Undang tanpa perubahan oleh DPR, UU Nomor 2 2020, bukan tentang emergency plan menangani covid. Itu adalah untuk menjaga stabilitas sektor keuangan. Jadi wajar kalau penanganan covid ini amburadul," cibirnya.

Oleh karenanya, ia mengajak seluruh pihak untuk saat ini berfokus mengatasi pandemi Covid-19. Jika wabah teratasi, maka perbaikan ekonomi kemudian akan mengikuti.

"Jadi ayo seluruh sumber daya kita upayakan untuk mengatasi covid dulu. Semakin amburadul semakin tidak jelas prospek ekonominya. Jadi prasyarat mutlak," imbuh Faisal Basri.

 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Faisal Basri: Penanganan Corona Tak Jelas, Gerak Ekonomi Sulit Diprediksi

Sebelumnya, Ekonom senior Faisal Basri mengaku sulit memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa penyebaran wabah virus Corona (Covid-19) saat ini. Itu lantaran ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah dalam menangani pandemi ini.

"Saya melihat juga untuk Indonesia, sebetulnya kita amat sulit memprediksi Indonesia, karena penanganan covid-nya enggak karu-karuan," kata dia dalam sesi bincang-bincang online bersama Katadata, Jumat (24/4/2020).

Faisal kemudian mengeluhkan masyarakat yang seolah abai dengan imbauan untuk melakukan social dan phsycal distancing di masa pandemi Corona ini. Terlebih pemerintah juga masih setengah-setengah dalam menegakan aturan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kawasan DKI Jakarta.

"Kemarin kebetulan saya ke rumah orang tua kok macet di Pancoran. Seperti tidak ada apa-apa. Jadi kita tidak pernah bisa tahu puncaknya kapan, dan ongkosnya semakin besar," seru dia.

Dia sangat menyayangkan kondisi seperti ini terjadi, sebab Indonesia tak punya banyak modal untuk menopang ekonomi untuk masa pasca krisis ini.

"Kita tidak punya kemampuan untuk mem-back up ekonomi kita supaya tidak turun terlalu tajam. Karena kita tidak punya kemewahan seperti yang dimiliki Amerika, menggelontorkan dana untuk insentif kemarin USD 484 miliar. Total stimulus USD 2,3 triliun, belum USD triliun digelontorkan The Fed untuk meningkatkan stimulus likuiditas," tuturnya.

Hal berikut yang ia kritik yakni terkait paket stimulus melawan corona sebesar Rp 405,1 triliun. Berdasarkan data perubahan APBN 2020, anggaran belanja negara naik Rp 73,4 triliun.

"Jangan dilihat defisit APBN pemerintah yang naik 5,8 itu sebagai suatu stimulus. Bukan. Defisit 5,8 itu lebih disebabkan karena penerimaannya anjlok. Jadi peningkatan belanja itu cuman Rp 73,4 triliun. Penerimaan negaranya anjlok Rp 472 triliun. Jadi praktis tidak ada stimulus sebetulnya kalau dilihat dari magnitude tambahan dari APBN itu," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.