Sukses

Pengusaha Minta Insentif Pemerintah Fokus Pacu Daya Beli Masyarakat

Pemerintah harus memberikan insentif yang fokus atau langsung dirasakan oleh konsumen.

Liputan6.com, Jakarta - Hingga Mei 2020 realisasi belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga (K/L) baru Rp843,9 triliun atau 32,3 persen dari alokasi APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara-Perubahan) 2020 yang sebesar Rp2.613,8 triliun.

Selain bergantung dengan belanja K/L, sejatinya pemerintah perlu memberikan insentif fiskal yang fokus memacu daya beli. Memang pemerintah telah merilis beberapa insentif untuk menjaga daya beli masyarakat seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang berlaku untuk 1.062 bidang industri namun hingga saat ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Danang Girindrawardana mengatakan, untuk mendongkrak daya beli, masih ada langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Salah satunya dengan memberikan insentif yang fokus atau langsung dirasakan oleh konsumen. Sebagai konsumen, ada dua jenis pungutan negara yang berpengaruh langsung ke daya beli masyarakat, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai.

Danang mengatakan, PPN selama ini berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Karena itu, pembebasan PPN akan berdampak cukup besar terhadap penerimaan negara. Di sisi lain, pembebasan PPN dapat membantu menjaga daya beli masyarakat. Karena itu, Danang menilai stimulus ini dapat dipertimbangkan setidaknya untuk tiga bidang.

Pertama, PPN antar korporasi pada rantai pasokan alias supply chain. Selama ini, perusahaan yang membeli pasokan dari perusahaan lain untuk proses produksi juga dikenakan PPN.

Insentif PPN yang ditanggung pemerintah untuk korporasi, khususnya bagi sektor UKM (usaha kecil dan menengah) akan mengurangi ongkos produksi. Sehingga, produsen bisa menjual produknya dengan harga yang lebih murah.

"Ini akan berimbas langsung ke konsumen," kata Danang, Rabu (17/6).

Kedua, PPN di logistik. Biaya logistik yang ditanggung pengusaha selama ini cukup besar, rata-rata mencapai 27 persen dari total biaya produksi. Dari biaya logistik tersebut, ada juga PPN yang harus ditanggung korporasi. PPN di sektor logistik ini tentu berpengaruh terhadap penurunan ongkos logistik yang dapat berdampak kepada harga jual ke konsumen.

Ketiga, PPN di tingkat konsumen akhir. Pemerintah juga bisa memberikan insentif PPN yang ditanggung pemerintah untuk kategori barang tertentu. Menurut Danang, tidak semua produk atau jasa bisa dibebaskan PPN-nya. Sebaiknya, hanya produk atau jasa tertentu saja seperti jasa pendidikan dan jasa transportasi yang krusial buat masyarakat.

Produk seperti pulsa dan internet bisa juga diberikan insentif PPN karena menjadi bagian penting dalam proses pendidikan yang belakangan mulai dijalankan dari rumah. Tak hanya itu, produk dengan eksternalitas negatif yang lebih rendah seperti mobil listrik atau produk inovatif lainnya yang menghadirkan alternatif lebih baik bagi konsumen juga bisa diberikan insentif PPN.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Insentif Pajak

Danang mengatakan, dibutuhkan kajian mendalam mengenai kategori barang dan jasa apa yang bisa diberikan insentif PPN. Yang jelas, pemberian insentif oleh pemerintah ini diharapkan membantu daya beli masyarakat sehingga mendorong transaksi ekonomi lebih bergairah.

"Insentif PPN bisa diberikan dalam jangka waktu tertentu di masa pemulihan ekonomi, dan jangan terlalu besar sehingga tidak merusak keuangan negara," kata Danang.

Selain PPN, pungutan atau jenis pajak yang berpengaruh langsung ke konsumen adalah cukai. Berbeda dengan PPN, pungutan cukai bukan hanya ditujukan sebagai sumber pendapatan negara namun lebih untuk mengatur perilaku konsumsi masyarakat.

Karena itu, menurut Danang, insentif untuk pungutan cukai bisa saja menjadi alternatif untuk stimulus ekonomi bagi beberapa industri, khususnya yang bisa berinovasi untuk dapat mengurangi dampak negatif atas produk yang kena cukai. Selain mendorong daya beli masyarakat, hal ini juga dapat mengatur pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik.

Pemerintah tidak perlu membebaskan cukai namun bisa memformulasikan kebijakan tertentu agar tidak ada kenaikan yang berlebihan. Ini bisa dilakukan namun secara terbatas, misalnya dalam waktu satu tahun.

Dengan demikian, perusahaan bisa mempertahankan kinerjanya sehingga tidak terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) pada pekerja. Dengan adanya insentif yang tepat maka harapannya dapat memacu daya beli masyarakat yang berujung pada kestabilan ekonomi.

 

3 dari 3 halaman

PPN dan Cukai

Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengamini, insentif PPN maupun cukai penting diberikan dalam masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.

Sehingga, masyarakat tidak menanggung beban terlalu tinggi dan daya belinya tetap terjaga. Dengan begitu, industri bisa tetap berjalan dan tidak terjadi PHK besar-besaran.

Namun, Marwan mengingatkan, pemberian insentif ini harus dikaji lebih jauh. Menurut Marwan, penting juga untuk melakukan evaluasi terkait program stimulus dan insentif yang telah diberikan pemerintah selama ini.

"Jangan sampai ada banyak stimulus dan insentif namun program dan implementasinya tidak berjalan. Kalau itu yang terjadi berarti harus ada restrukturisasi kelembagaan di tim ekonomi,” tutup Marwan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.