Sukses

Antisipasi Perang Dagang, Pemerintah Diminta Perluas Pasar hingga Beri Insentif

Pemerintah disarankan untuk membuat sejumlah langkah agar perekonomian dalam negeri dapat terjaga saat ada perang dagang.

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, gejolak perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China yang terus memanas dapat membuat pertumbuhan ekonomi RI meleset dari target.

Adapun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan mencapai 5,3 persen.

Namun, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira beranggapan, efek perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi negara tertahan di angka 5 persen.

"INDEF prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini mentok di 5 persen atau dibawah asumsi makro APBN 5.3 persen. Kita harus bersiap hadapi situasi terburuk karena perang dagang ternyata tidak hanya menyasar China, tapi juga Meksiko, India dan Turki," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (13/6/2019).

Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah disarankan untuk membuat sejumlah langkah agar perekonomian dalam negeri dapat terjaga. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain memperluas pasar ekspor hingga memberi insentif lebih kepada pengusaha lokal.

Bhima menuturkan, perang dagang AS-China memiliki dampak cukup besar yang mempengaruhi kinerja ekspor komoditas perkebunan, tambang dan energi. Pergerakan harga komoditas juga masih terpantau rendah lantaran perang dagang turunkan permintaan.

Di sisi investasi, dia menambahkan, eskalasi perang dagang turut menambah risiko berinvestasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

3 Langkah

Demi mengatasi situasi pasar yang tidak baik ini, ia mengimbau Pemerintah untuk melakukan tiga langkah berikut. Pertama, yakni mempercepat penawaran paket insentif bagi investor yang mau relokasi pabrik milik China dan AS.

"Percepat tawarkan paket insentif bagi investor yang mau relokasi pabrik dari China dan AS. Pemerintah Vietnam sdah lebih dulu tawarkan paket insentif sehingga jadi pemenang dalam trade war," urai dia.

Selanjutnya, memperluas pasar ekspor ke negara non-tradisional dengan strategi kerjasama bilateral untuk turunkan tarif dan hambatan non-tarif. "Negara kawasan Afrika Utara, Eropa Timur dan Rusia sangat prospektif sebagai mitra perdagangan," sambungnya.

Terakhir, Bhima meminta agar para pengusaha lokal diberi banyak kemudahan dan insentif dalam melanjutkan usahanya selama perang dagang terus berlangsung.

"Berikan aneka kemudahan dan insentif bagi pengusaha lokal yang terdampak trade war. Misalnya diskon tarif listrik, gas untk industri, keringanan PPh (pajak penghasilan) badan selama perang dagang berlangsung, dan lain-lain," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Menkeu: RI Waspadai Risiko Ekonomi Global yang Semakin Nyata

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia harus semakin mewaspadai gejolak ekonomi global. Hal ini akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai.

Dalam pertemuan antar menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu kemarin, Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.

"Kemarin pertemuan G20 di Fukuoka Jepang, harapannya dengan pertemuan ini sebelum pertemuan tingkat leaders di Osaka pada akhir bulan ini diharapkan akan ada jembatan antara Amerika, China dan negara-negara lain. Tapi kalau kita lihat suasananya memang masih terasa bahwa posisi belum berubah. Dalam artian ketegangan internasional dari sisi retorika maupun action-nya masih sama. Bahkan ada kecenderungan lebih bold," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

Menurut Sri Mulyani, selama ini China ingin agar masalah perang dagang ini dilakukan secara multilateral sesuai dengan kerangka yang telah ada. Namun, AS lebih berharap masalah tersebut diselesaikan secara bilateral.

‎"Kemudian harapan-harapan di antara kedua belah pihak untuk saling adanya temuan dari sisi pemikiran policy-nya masih cukup jauh. China masih menganggap mereka melakukan apa yang telah diminta selama ini, tetapi dari AS menganggap itu belum cukup. Sehingga kita melihat dalam keseluruhan G20 ini risiko global itu terealisir (nyata)," ungkap dia.

Akibat ketegangan yang terjadi ini, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal tersebut seperti apa yang telah diproyeksikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

"Makanya IMF, OECD, World Bank, mengatakan dengan adanya risiko down site risk yang terealisir ini proyeksi output tahun ini menurun. Kalau di IMF 3,3 persen, sudah 0,5 persen lebih rendah dari original projection 2019. World Bank juga sama," kata dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.