Sukses

Peringkat Utang Naik Jadi Indikasi Ekonomi Indonesia Stabil

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, penilaian S&P merupakan indikasi Indonesia memiliki kondisi perekonomian yang terbilang stabil.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poors (S&P) meningkatkan peringkat  utang RI atau Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari BBB-/outlook stabil menjadi BBB/outlook stabil pada 31 Mei 2019.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, penilaian S&P merupakan indikasi Indonesia memiliki kondisi perekonomian yang terbilang stabil dalam merespons ketidakpastian ekonomi yang kini tengah bergejolak.

"Kita (Indonesia-red) baru diupgrade S&P. Itu berarti kita dianggap memiliki beberapa hal yang sifatnya positif. Dan dalam hal ini outputnya stabil," terangnya di Jakarta, Selasa (11/6/2019).

"Ini cukup membuat kita melihat dalam suasana kemarin terutama menjelang Pemilu tapi kebijakan makro kita dari Bank Indonesia (BI) maupun Kementerian Keuangan untuk menjaga stabilitas dan juga pertumbuhannya tetap terjaga," ia menambahkan.

Meski begitu, Sri Mulyani menekankan, Indonesia masih memiliki tugas besar yakni meningkatkan pendapatan per kapita negara agar dapat bersaing dengan negara-negara G20.

"Yang harus diperbaiki oleh kita semua adalah income perkapita kita dianggap masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok G20 kemudian sisi peningkatan basis pajak dan kita semua juga sepakat untuk meningkatkan itu," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

RI Perlu Waspadai Gejolak Ekonomi Global

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia harus semakin mewaspadai gejolak ekonomi global. Hal ini akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai.

Dalam pertemuan antar menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu kemarin, Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.

‎"Kemarin pertemuan G20 di Fukuoka Jepang, harapannya dengan pertemuan ini sebelum pertemuan tingkat leaders di Osaka pada akhir bulan ini diharapkan akan ada jembatan antara Amerika, China dan negara-negara lain. Tapi kalau kita lihat suasananya memang masih terasa bahwa posisi belum berubah. Dalam artian ketegangan internasional dari sisi retorika maupun action-nya masih sama. Bahkan ada kecenderungan lebih bold," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

Menurut Sri Mulyani, selama ini China ingin agar masalah perang dagang ini dilakukan secara multilateral sesuai dengan kerangka yang telah ada. Namun, AS lebih berharap masalah tersebut diselesaikan secara bilateral.

‎"Kemudian harapan-harapan di antara kedua belah pihak untuk saling adanya temuan dari sisi pemikiran policy-nya masih cukup jauh. China masih menganggap mereka melakukan apa yang telah diminta selama ini, tetapi dari AS menganggap itu belum cukup. Sehingga kita melihat dalam keseluruhan G20 ini risiko global itu terealisir (nyata)," ungkap dia.

Akibat ketegangan yang terjadi ini, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal tersebut seperti apa yang telah diproyeksikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

"Makanya IMF, OECD, World Bank, mengatakan dengan adanya risiko down site risk yang terealisir ini proyeksi output tahun ini menurun. Kalau di IMF 3,3 persen, sudah 0,5 persen lebih rendah dari original projection 2019. World Bank juga sama," kata dia.

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Sementara bagi Indonesia, hal ini juga harus menjadi perhatian khusus. Sebab, perang dagang dan ketegangan yang terjadi ini akan menekan perdagangan global yang akan berdampak kepada Indonesia.

"Yang harus kita waspadai juga adalah volume perdagangan internasional juga akan mengalami pelemahan, bahkan ini melemah terendah sejak krisis ekonomi 2008 yaitu hanya tumbuh 2,6 persen," jelas dia.

Selama ini, kata dia, ekonomi dunia tumbuh cukup sehat, di mana mana pertumbuhan perdagangan internasional dua kali lebih tinggi dari pertumbuhan dunia.

"Jadi kalau pertumbuhan dunia itu 3,3 persen, perdagangan bisa 5-6 persen, sekarang hanya tumbuh 2,6 persen. Artinya untuk Indonesia, kita akan melihat jika tantangan dari growth global yang melemah menjadi sangat nyata," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.