Sukses

Laporan Keuangan Garuda Janggal, Menteri Rini Sebut Sudah Disetujui OJK

Menteri BUMN Rini Soemarno menuturkan, laporan keuangan Garuda Indonesia sudah disetujui OJK dan diaudit auditor akuntan publik.

Liputan6.com, Purwakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno buka suara seputar penolakan penandatanganan laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIIA) tahun buku 2018 oleh dua komisarisnya, yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.

Dia mengatakan, laporan keuangan tersebut telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, laporan itu juga telah diaudit oleh auditor akuntan publik terpercaya sebelum dinaikan.

"Itu yang saya enggak ngerti kenapa dipermasalahkan, karena secara audit sudah keluar dan itu pakai auditor akuntan publik yang independen dan sudah dikenal dan diregister terhadap OJK," ujar dia di Purwakarta, Jumat (26/4/2019).

"Sebelum kita RUPS kemarin itu OJK sudah harus menyetujui bahwa laporan keuangan kita itu benar dan memang bisa diterima. Dan itu sudah dilakukan," dia menambahkan.

Lebih lanjut, Rini juga mencibir anggapan dua komisaris yang mempertanyakan perolehan laba bersih GIIA yang berasal dari piutang. Menurut dia, hal itu wajar untuk dilakukan dan tidak melanggar aturan.

"Lah enggak apa-apa. Sama saja seperti begini, kita bikin kontrak ini orang ini yang punya wifi ini internasional, jadi apa yang dibukukan? Yang dibukukan itu kita punya kontrak," tutur dia.

Sebagai informasi, laporan piutang PT Garuda Indonesia Tbk itu berasal dari kontrak kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan on board WiFi. Nilai kontrak yang diteken pada Desember 2018 ini mencapai USD 239,94 juta.

Dia pun menegaskan, perolehan piutang tersebut tidak masuk ke dalam pendapatan operasional perseroan. "Dan memang itu dikatakan betul-betul dan jelas, bahwa ini pendapatan lain-lain. Jelas, bukan pendapatan operasional dari Garuda," pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

BEI Bakal Panggil Direksi Garuda Indonesia 30 April

Sebelumnya, Otoritas PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku sudah meminta penjelasan kepada manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) terkait perbedaan pendapatan antara pihak komisaris dan manajemen terhadap pembukuan laporan keuangan 2018.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, pihak bursa kini tengah berkoordinasi dengan perusahaan perihal masalah perbedaan pendapatan tersebut.

Dirinya pun menambahkan, BEI akan melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak Garuda pada 30 April 2019 ini, yaitu pada pekan depan.

"Untuk memperjelaskan nature transaksi atas pendapatan tersebut, bursa akan mengadakan hearing pada Selasa, 30 April ini," tuturnya di Jakarta, Jumat (26/4/2019).

Menambahkan, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi membenarkan bahwa otoritas bursa siap memanggil direksi Garuda pada pekan depan.

"Iya benar, minggu depan kita akan undang minta klarifikasinya atas perbedaan perlakuan akuntasinya," ujar dia.

Sementara itu, sejauh ini pihak BEI tengah mempelajari lebih lanjut terkait laporan keuangan perusahaan pelat merah tersebut.

"Terkait berita mengenai Laporan Tahunan Garuda tahun 2018, Bursa kini telah dan sedang mempelajari khususnya terkait dengan perjanjian dan pengakuan pendapatan," terang Nyoman.

 

3 dari 3 halaman

Dua Komisaris Tolak Pencatatan Laporan Keuangan Garuda pada 2018

Sebelumnya, laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada 2018 sedang menjadi sorotan. Dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk tidak setuju dengan pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 24 April 2019, dua komisaris yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menyampaikan keberatan dalam laporan di dokumen soal pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018. Komisaris ini mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd.

Seperti diketahui, pemegang saham PT Garuda Indonesia Tbk antara lain PT Trans Airways sebesar 25,61 persen, pemerintah Indonesia sebesar 60,53 persen dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 13,84 persen.

Dalam dokumen yang diterima media disebutkan kalau dua komisaris tersebut meminta masukan dan tanggapan kepada Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mengenai perlakuan akuntansi transaksi kerja sama Citilink dan Mahata.

Hal ini terkait perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018.

Dari kerja sama itu, perseroan akan mendapatkan pendapatan dari Mahata Aero Teknologi sebesar USD 239.940.000. Di antaranya sebesar USD 28.000.000 merupakan bagian hasil perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Namun, hal itu dinilai tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Dalam dokumen itu disebutkan pertimbangan hal itu tidak diakui dalam tahun buku 2018 dengan melihat pernyataan standar akuntansi keuangan nomor 23 (PSAK 23). Yaitu tidak dapat diakuinya pendapatan tersebut karena hal ini bertentangan dengan PSAK 23 paragraf 28 dan 29 yang berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 28, pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lai yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraph 28 jika (a) kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas. (b) jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.

Paragraf 29, royalti diakui dengan dasar akrual sesuai dengan subtansi perjanjian yang relevan.

Dalam lampiran PSAK 23 paragraf 20 lebih dijelaskan lagi dalam ilustrasi makna dari PSAK 23 paragraf 28 tersebut yaitu bahwa imbalan lisensi atau royalti akan diterima atau tidak diterima bergantung pada kejadian suatu peristiwa masa depan.

Dalam hal ini pendapatan hanya diakui jika terdapat kemungkinan besar bahwa imbalan atau royalti akan diterima. Keandalan dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Perjanjian Mahata ditandatangani 31 Oktober 2018, tapi hingga tahun buku 2018 berakhir, bahkan hingga surat ini dibuat, tidak ada satu pembayaran pun yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meski pun telah terpasang satu unit alat di Citilink.

Dalam perjanjian Mahata tidak tercantum term of payment yang jelas bahkan pada saat ini masih dinegosiasikan cara pembayarannya. Sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara dari pihak Mahata kepada perseroan. Padahal bank garansi atau instrumen keuangan yang setara merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable.

Komisaris menilai kalau pengakuan pendapatan dari perjanjian Mahata oleh perseroan sebesar USD 239.940.000 merupakan jumlah signifikan. Apabila tanpa pengakuan pendapatan ini perseroan akan alami kerugian sebesar USD 244.958.308.

"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perseroan membukukan laba sebesar USD 5.018.308," tulis Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, Komisaris Perseroan

Dampak dari dari pengakuan pendapatan tersebut, laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 menimbulkan “misleading” atau menyesatkan yang material dampaknya dari sebelumnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba, terlebih perseroan adalah perusahaan publik atau terbuka.

Adanya potensi yang sangat besar untuk penyajian kembali laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 yang dapat merusak kredibilitas perseroan.

Selain itu, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan perseroan baik PPh maupun PPN yang seharusnya belum waktunya. Hal ini dapat menimbulkan cashflow bagi perseroan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.