Sukses

Kebijakan Tahan Harga BBM Bagai Pisau Bermata Dua

Perkembangan kondisi saat ini berbeda dengan kondisi pada semester II 2014 sampai akhir 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah perlu berhati-hati dengan kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) murah. Saat harga minyak mengalami kenaikan dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan BBM murah baik untuk menjaga daya beli masyarakat. Tetapi di sisi lain, kebijakan BBM murah akan menimbulkan beban fiskal.

"Karena berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara selisih harga penetapan dan harga keekonomian harus dibayar negara," kata Komaidi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (16/9/2018).

Komaidi mengungkapkan, berdasarkan perkembangan kondisi saat ini berbeda dengan kondisi pada semester II 2014 sampai akhir 2017, saat itu harga minyak berada pada tren yang rendah dan nilai tukar rupiah relatif stabil.

"Dengan kondisi saat itu, relevan jika pemerintah menerapkan kebijakan harga BBM murah," tuturnya.

Sedangkan saat ini, realisasi perkembangan harga minyak dan nilai tukar rupiah tercatat mengalami tekanan cukup jauh dari asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018.

Rata-rata harga minyak dunia pada Agustus 2018 tercatat sekitar USD 72,44 per barel, sementara asumsi APBN 2018 ditetapkan USD 48 per barel.

Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama Agustus 2018 tercatat sebesar 14.560 per dolar AS sementara asumsi APBN 2018 ditetapkan 13.400 per dolar AS.

"Dengan deviasi dua variabel utama yaitu harga minyak dan nilai tukar rupiah tersebut, harga BBM subsidi, harga BBM khusus penugasan, dan harga BBM umum sudah perlu disesuaikan," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perlu Lembaga Otonom Buat Hitung Harga BBM yang Ideal

Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menyatakan, perdebatan mengenai kenaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) memang dilematis. Meski begitu, ia menekankan pemerintah harus mengambil posisi yang jelas untuk kepentingan ini.

"Kita kan masih tabu ya ngomongin apakah BBM ini harus naik atau tidak. Kalau naik nanti dianggap tidak berpihak pada rakyat, padahal langkah ini perlu dilakukan untuk memperbaiki CAD," tuturnya seperti ditulis Liputan6.com. 

Fungsi pembentukan lembaga otonom tersebut ialah sebagai titik tengah dalam menentukan besaran subsidi energi dan harga jual BBM yang ideal baik dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta dari segi kemampuan rakyat. Pasalnya, menurut dia, persoalan harga BBM ini punya implikasi yang besar terhadap kinerja perusahaan-perusahaan BUMN.

"Untuk kepentingan jangka panjang, perlu dipertimbangkan membentuk lembaga otonom, ini benchmarknya sudah ada di negara lain. Selama ini yang memformulasikan harga BBM kan kementerian BUMN dan terbebani dengan subjektifitas politis jangka pendek," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Abra, kehadiran lembaga otonom dapat membantu menjembatani kepentingan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat. Terutama mengurangi risiko finansial bagi BUMN.

"Keuntungan Pertamina semakin mengecil akibat menanggung kebijakan populis pemerintah. Dengan adanya lembaga otonom, mereka bisa ambil posisi tengah, mempertimbangkan kedua kepentingan," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.