Sukses

Go-Jek Sulit Lepas Saham ke Publik, Ini Kata Konsultan Keuangan

Langkah PT Go-Jek Indonesia untuk menjadi perusahaan publik atau emiten kini tengah terhambat karena aturan yang ditetapkan OJK dan BEI.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah PT Go-Jek Indonesia untuk menjadi perusahaan publik atau emiten kini tengah terhambat karena aturan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku regulator pasar modal dalam negeri.

Dalam regulasi tersebut, start-up dan UMKM diproyeksikan meraup keuntungan dalam kurun waktu 1-2 tahun sebelum bisa melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO).

Managing Partner of Valuation BDO Indonesia Panca Arief Jatmika mengatakan, hambatan tersebut terhitung wajar, karena pihak regulator masih memikirkan kelayakan jangka panjang suatu perusahaan untuk dapat 'go-public'.

"Kalau start-up tergolong perusahaan baru. Perusahaan baru pasti investasi dan pengeluarannya besar, sementara labanya masih belum banyak menghasilkan atau merugi," ujar dia di sela-sela acara 'Road to Go Public Gathering With BDO Indonesia' di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Ketika ditanya apakah pihak regulator dapat mengubah kebijakan tersebut, ia menuturkan itu semestinya bisa dilakukan dengan memakai penilaian jangka pendek. Dia turut memakai perbandingan peraturan di Amerika Serikat. Perusahaan yang tercatat belum meraih keuntungan diperkenankan untuk IPO.

"Nanti regulator dapat memantau sendiri, itu semua tergantung regulator. Diharapkan  mereka mau mengkaji kemungkinan itu. Jadi itu bisa dinilai juga dengan cara relative valuation, atau perhitungan jangka pendek," jelas dia.

Sebelumnya, Presiden Go-Jek Andre Soelistyo mengeluhkan soal aturan IPO di Indonesia. Ia menilai regulasi itu mengekang pertumbuhan perusahaan 'muda' dengan historical financial yang masih dibangun seperti PT Go-Jek Indonesia.

"Di luar negeri, IPO lebih fleksibel, apakah perusahaan harus profit atau perusahaan bisa memiliki kelas saham yang berbeda. Itu mungkin wacana dari kami agar regulator bisa build flexibility," kata Andre.

Sementara itu, terkait BUMN yang hendak melakukan IPO, Panca menilai positif hal tersebut. Menurut dia, beberapa BUMN sudah layak untuk bisa menawarkan saham perdananya.

"Ya sebetulnya BUMN jUga sudah lama, company-nya sudah ada yang menarik. Tentunya itu sudah cukup baik untuk melakukan IPO," ungkap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mau Go Public, Perusahaan Dapat Potongan Pajak

Suatu perusahaan kini semakin dipermudah untuk melakukan penawaran saham perdana atau atau initial public offering (IPO). Terbaru, perusahaan yang telah berhasil 'go-public' atau menjadi emiten akan dibebankan Pajak Penghasilan (PPh) badan lebih rendah.

Head of Tax BDO Indonesia Irwan Kusumanto mengatakan, perusahaan publik yang memenuhi persyaratan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat memperoleh PPh sebesar 5 persen.

"PPh yang dikenakan kepada emiten akan dikurangi, dari 25 persen menjadi 20 persen," ucap dia di Gedung BEU, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Sebelum mendapat pengurangan PPh, dia menyatakan, ada persyaratan yang harus dilakukan perusahaan, yaitu setoran saham minimal 40 persen dari sedikitnya 300 pemegang saham.

"Setidaknya, 40 persen saham disetor, dimiliki oleh paling sedikit 300 pemegang saham. Masing-masingnya memegang kurang dari 5 persen," tutur dia.

"Persyaratan itu juga harus dipenuhi paling tidak 183 hari dalam waktu satu tahun anggaran," tambah dia.

Namun begitu, Irwan menyebutkan, hal itu tidak berlaku bagi Wajib Pajak (WP) yang penghasilannya bersifat final.

"Contohnya perusahaan konstruksi dan perusahaan pelayaran, atau anak perusahaan dari perusahaan yang sudah go-public," ungkapnya.

Mendapat Persetujuan DJP

Sebelum dikenakan pengurangan pajak, Irwan menyebutkan dua perusahaan berstatus perseroan terbatas (PT) yang akan digabung juga dapat tidak dikenakan PPh, dengan mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

"Syaratnya, perusahaan yang mengambil alih memiliki kerugian pajak yang lebih rendah, serta tidak boleh mengkompensasi kerugiannya untuk perusahaan yang dilebur," jelas dia.

"Mereka juga harus memenuhi persyaratan bisnis serta melunasi seluruh hutang pajak, dengan memperoleh surat keterangan fiskal dari DJP untuk tiap badan usaha terkait," tambahnya.

Selain itu, Irwan melanjutkan, perusahaan yang akan melakukan pemekaran (spin-off) unit bisnis ke WP baru tidak dikenakan PPh dengan beberapa syarat, seperti melakukan pengujian business purpose test untuk spin-off.

"Kualifikasi dari spin-off itu mencakup WP yang hendak IPO, emiten yang mau memekarkan bagian dari asetnya, atau perusahaan baru yang akan IPO," tukas dia.

Agar tidak dikenai pajak, perusahaan harus melakukan IPO dalam kurun waktu satu tahun setelah mendapat persetujuan DJP tentang spin-off. "Dapat diperpanjang sampai tiga tahun," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.